POLITIK
HUKUM PIDANA
PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. PENDAHULUAN
Kejahatan tengah meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi
intensitas maupun kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap
keamanan dunia dan menghambat kemajuan negara, baik dari aspek sosial, ekonomi
maupun budaya. Mengingat kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya, maka wajar jika ada suatu ungkapan: kejahatan itu tua dalam usia, tapi muda dalam berita. Artinya,
sejak dulu hingga kini orang selalu membicarakan mengenai kejahatan, mulai dari
yang sederhana (kejahatan biasa) sampai kepada kejahatan-kejahatan yang sulit
pembuktiannya.
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini
menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan
perdagangan orang tidak lepas dari perkembangan tersebut, dan sehubungan dengan
konteks perdagangan orang dimaksud, pada tahun 1995 dalam konperensi PBB
mengenai the crime prevention and the
treatmen of offers yang diselenggarakan di Cairo, telah dibicarakan
tindakan-tindakan to combat transnational
crime, terrorism and violence against
women. Sehubungan dengan itu, dan terkait dengan combat transnational crime,
pada tahun 2000 di Palermo Itali diselenggarakan konferensi PBB mengenai Transnational Organized Crime, termasuk
di dalamnya adalah mengenai perdagangan orang, khususnya wanita dan anak.
Apa yang telah dibicarakan dalam Kongres PBB tersebut, merupakan respon
atas perkembangan kejahatan, baik dalam skala nasional maupun internasional,
termasuk kejahatan perdagangan orang, khususnya wanita dan anak sebagai salah
satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan perdagangan orang telah masuk
dalam kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal
Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya, yaitu the drug trafficking industry, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking in body parts, theft and smuggling of vehicles, money laundering,
Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat
internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang
ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious),
dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan
stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan
politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Di samping itu, memperangkap dan
bahkan memperbudak golongan-golongan masyarakat, khususnya wanita dan anak-anak
dalam melakukan pekerjaan ilegal di berbagai bidang, terutama sekali dalam
prostitusi.
Adapun tujuan
utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan
baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana
gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan
selanjutnya.
Dan, ini
tampaknya terkait dengan perubahan dalam bidang ekonomi global, yang telah
memberikan keuntungan bagi penjahat tingkat dunia, yaitu dengan memanfatkan
peningkatan arus barang, uang dan orang secara lintas batas, maka organisasi
kejahatan internasional telah memperluas jangkauan wilayah mereka dan hubungan
mereka dengan kekuasaan pemerintahan setempat.
Kejahatan perdagangan orang yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya
termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap
kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan
internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas,
sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar
crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan
menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.
Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan
korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Dan, sehubungan dengan itu, dalam United Nations Office on Drugs
and Crime, dinyatakan bahwa dari dusun-dusun Himalaya hingga kota-kota Eropah
Timur, orang-orang, khususnya wanita dan anak-anak, tergiur dengan prospek
pekerjaan dan bayaran yang tinggi, baik sebagai pembantu rumah tangga, pelayan,
maupun pekerja pabrik. Para pedagang tersebut mendapatkan wanita dan anak-anak
itu dengan cara menipu atau informasi bohong di antaranya melalui iklan-iklan.
Wanita dan anak-anak itu dipaksa bekerja sebagai pelacur.
Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut, dan sebagai
salah satu contoh, yaitu sebagaimana yang diberitakan oleh Media Indonesia
Online bahwa polisi berhasil membongkar sindikat penjual ABG (anak baru gede)
untuk dijadikan WTS (wanita tuna susila) dan menangkap tiga germo di lokalisasi
Teleju Pekanbaru pada hari Jum’at 28 Pebruari 2003. Tiga ABG yang berasal dari
Cianjur Jawa Barat itu, semula dijanjikan akan bekerja di Jakarta, tetapi
kenyataannya dijadikan WTS dan dijual dengan harga Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah) per orang. Polisi berhasil membongkar sindikat penjualan ABG tersebut
adalah berdasarkan informasi masyarakat dan laporan pers.
Adanya
sindikat penjualan manusia (ABG) tersebut menunjukkan bahwa kejahatan
terorganisasi itu (perdagangan wanita dan anak) sudah merambah ke Indonesia,
dan ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk menanggulanginya, baik pada
tataran perundang-undangan (kebijakan legislatif) maupun aparat pelaksananya
(kebijakan aplikasi/yudikatif dan kebijakan eksekusi/eksekutif).
Mengingat perbuatan perdagangan orang yang demikian itu, pada hakikatnya
merupakan kejahatan transnasional dan merupakan pelanggaran terhadap harkat dan
martabat manusia. Bahkan dalam UNODC dikemukakan bahwa perdagangan orang
merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan (human trafficking is a crime against humanity).
Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor: 58), tanggal 19 April 2007, sebagai upaya untuk memberikan perlindungan
hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada korban dan calon
korban agar tidak menjadi korban. Bahkan saat ini, Indonesia telah meratifikasi
United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 2009, tanggal
1 Januari 2009. Dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB tersebut, berarti
Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara global.
Mengingat pelaku tindak pidana perdagangan orang akan sangat berpotensi
bagi timbulnya korban, maka yang patut dipertanyakan: apakah Undang-undang No.
21 Tahun 2007 telah mengatur mengenai perlindungan korban tindak pidana
perdagangan orang? Karena dalam Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah
disebutkan bahwa ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana
perdagangan orang dilaksankan berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Jika demikian halnya, maka yang perlu
dipertanyakan lagi, apakah Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah cukup baik
dalam mengatur mengenai perlindungan korban.
B. PERLUASAN
SUBJEK HUKUM PIDANA
Sebelum menguraikan lebih lanjut
mengenai perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang, terlebih dahulu perlu
dikemukakan mengenai perluasan subjek hukum tindak pidana perdagangan orang.
Hal itu penting, mengingat adanya korban pasti ada pelakunya.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, Pasal 1 angka (4) merumuskan
bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan
tindak pidana perdagangan orang. Ini berarti subjek hukum pidana menurut
undang-undang ini, selain manusia alamiah (natural
person), juga manusia hukum (juridical
person). Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (6) dipertegas lagi: bahwa korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Namun, ketika Undang-undang No. 21 Tahun 2007
masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU) bahwa yang dimaksud dengan
setiap orang itu meliputi kelompk orang. Dan, dalam Pasal 1 angka (6) RUU dipertegas
lagi: bahwa kelompok orang adalah sekumpulan dua orang atau lebih baik yang terorganisasi maupun
tidak terorganisasi untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Walaupun, pengertian mengenai kelompok orang tersebut, masih belum
sesuai dengan Annex I UN Convention against
Transnational Organized Crime, yang memberi batasan dalam Article 2 tentang
Use of terms. Karena, dalam huruf (a)
dinyatakan bahwa kelompok kejahatan terorganisasi berarti sebuah kelompok yang
terstruktur (structured group) dari tiga
atau lebih orang. Sedangkan dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, kelompok orang dimaksud terdiri atas dua orang atau lebih.
Terlepas dari
perbedaan penyebutan jumlah dalam kelompok orang tersebut, akan tetapi pembuat
RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah mengetahui
bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan bagian dari kejahatan
terorganisasi. Karena itu, dalam Konsideran disebutkan: bahwa perdagangan orang
telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak
terorganisasi, baik baik bersifat antar Negara maupun dalam negeri, sehingga
menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan Negara, serta terhadap
norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Itu sebabnya, subjek hukum tindak pidana perdagangan orang diperluas, di
samping orang perseorangan, korporasi, juga kelompok orang. Dan dalam Pasal 16
RUU tersebut ditentukan: dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh
kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang
dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiganya). Setelah RUU itu disahkan menjadi undang-undang, ketentuan mengenai kelompok orang (group) dihilangkan. Akhirnya, yang diatur dalam
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 adalah orang perorangan, dan korporasi. Akan
tetapi, ketentuan Pasal 16 RUU masih tetap dipertahankan dalam Undang-undang
No. 21 Tahun 2007, yaitu dalam pasal dan redaksi yang sama. Sementara itu,
pengertian mengenai kelompok orang sudah dihilangkan dalam Undang-undang No. 21
Tahun 2007.
Selanjutnya, mengenai diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana
di samping orang perseorangan, tidak lepas dari upaya untuk mengantisipasi
perkembangan ke depan. Karena dalam RUU tentang KUHP telah diatur, bahwa: “Mengingat
kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan,
lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi
baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi
hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi,
…………..” (Penjelasan Umum Buku Kesatu, angka 4).
Mengingat korporasi adalah subjek hukum yang sifatnya non-badaniah,
maka perlu diketahui kapan suatu tindak pidana dikatakan telah dilakukan oleh
korporasi. Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, sudah diatur melalui Pasal 13
ayat (1): Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh
korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang
bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi,
baik berdasarkan hubungan kerja rnaupun hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Hal ini penting, jika tidak ada penentuan mengenai
kapan suatu tindak pidana perdagangan orang dapat dikatakan telah dilakukan
oleh korporasi, maka akan mengaburkan dalam hal dapat dipidananya korporasi. Di samping itu,
juga akan melemahkan tanggung jawab korporasi terhadap korban, jika pelakunya
adalah korporasi.
C. KEBIJAKAN
PERLINDUNGAN KORBAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 bahwa
perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang dilaksankan berdasarkan
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Jika demikian halnya,
maka yang perlu ditelusuri apakah Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah cukup
baik dalam upaya memberikan perlindungan korban.
Sebenarnya, UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan suatu
langkah yang positif dalam upaya Perlindungan Saksi dan Korban, yang selama ini
pengaturannya masih bersifat sektoral, maka dengan adanya upaya untuk
mengaturnya secara khusus dalam satu undang-undang boleh dikatakan sebagai
langkah maju dalam rangka perlindungan terhadap korban, dan itu sesuai dengan
amanat yang telah diletakkan dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan, sesuai pula dengan
kesepakatan masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam The United Nations Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban dalam
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 dapat dilihat dalam bagian konsideran huruf a
dan b, sebagai berikut:
a. bahwa
salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan
Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya
suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
b.
bahwa penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami
kesulitan karena tidak dapat mengihadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
Berdasarkan konsideran tersebut, yang merupakan semangat dibuatnya Undang-undang
No. 13 Tahun 2006 menunjukkan bahwa pembuat undang-undang berkehendak
menempatkan korban agar dapat ambil bagian dalam sistem peradilan pidana yang
selama ini telah termarginalkan, dan itu sejalan dengan yang telah dikemukakan
dalam Guide for Policy Makers dalam
rangka Implementasi Deklarasi PBB mengenai Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1999: 1),
bahwa in modern criminal justice system,
korban kejahatan dan korban penyalahgunaan wewenang, maka apa yang menjadi
haknya dapat dikatakan telah dilupakan orang.
Kendati telah ada upaya nyata untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap korban, akan tetapi yang masih perlu dipertanyakan: apakah
perlindungan korban yang terimplementasikan dalam Undang-undang No. 13 Tahun
2006 sesuai dengan konsep perlindungan korban. Pertanyaan ini mengemuka, karena
apabila memperhatikan beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006
tampaknya pembuat Undang-undang No. 13 Tahun 2006 masih bias dalam memahami
konsep tentang perlindungan korban dan kaitannya dengan akses korban dalam
sitem peradilan pidana, sehingga apa yang telah dinyatakan dalam bagian
konsideran tidak diimplementasikan secara konsisten dalam pasal-pasalnya.
Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 dinyatakan: Korban dalam pelanggaran HAM yang
berat, selain berhak atas hak sebagaimana diamaksud dalam Pasal 5, juga berhak
untuk mendapatkan :
a. bantuan medis;
dan
b. bantuan
rehabilitasi psiko-sosial.
Pencantuman “pelanggaran HAM yang berat” dalam Pasal 6 itu, demikian
juga dengan bentuk perlakuan yang berbeda dari korban kejahatan lainnya, sebagaimana
tercantum dalam huruf a dan b, barangkali tanpa disadari oleh pembuat UU bahwa
apa yang diatur dalam Pasal 6 telah menanamkan adanya diskriminasi dalam
memberikan perlindungan terhadap korban, temasuk korban tindak pidana
perdagangan orang. Apalagi dengan mencantumkan
“pelanggaran HAM yang berat”,
yang sebelumnya tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan “pelanggaran HAM yang
berat”.
Dibandingkan dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, dikemukakan bahwa untuk dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM
yang berat apabila melakukan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b Undang-undang No. 26 Tahun
2000. Bahkan dalam Pasal 8 ditentukan: Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.
membunuh anggota kelompok;
b.
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
c.
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d.
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e.
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ditentukan bahwa: Kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
a.
pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok
hukum internasional;
f.
penyiksaan;
g. perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h. penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid.
Sedangkan apa yang telah diatur dalam Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2006
masih tidak jelas kriterianya, tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan
pelanggaran HAM yang berat tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap korban
seharusnya diberikan kepada semua korban tanpa terkecuali, dan dalam Deklarasi
PBB mengenai Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power dikemukakan, apa yang dimaksud
dengan korban diberikan pengertian yang luas, yaitu seseorang baik secara
individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk fisik atau mental,
emosional, kerugian secara ekonomis atau pelemahan (impairment) substansial terhadap hak-hak mendasar lainnya, baik
dengan melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang merupakan
pelanggaran terhadap hukum pidana nasional atau norma-norma yang diakui secara
internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia (Handbook on Justice for
Victims, 1999: iv). Sedangkan pengertian
korban menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2006:
“korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Terkait dengan
ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tersebut, dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 2006 dikemukakan bahwa korban melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, berhak mengajukan ke pengadilan, berupa
hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Adanya ketentuan
demikian, selain tidak diatur kriteria mengenai pelanggaran HAM yang berat
sebagaimana telah diuraikan di atas, juga pemberian kompensasi kepada korban
yang dibebankan kepada Negara, justru akan melemahkan tanggung jawab pelaku
kepada korban. Di samping itu, dalam kondisi keuangan negara yang masih serba
sulit, seharusnya tidak lagi menempatkan negara pada posisi provider, tapi sebagai fasilitator.
Sebagai bahan
bandingan, dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, pada bagian
yang mengatur mengenai Compensation,
ditegaskan dalam Pasal 12 dan 13 yang menyebutkan
1. Pasal 12: When compensation is
not fully available from the offender or other
sources, States should endeavour to provide financial compensation to:
(a) Victims who have sustained significant
bodily injury or impairment of physical or mental health as a result of serious
crimes;
(b) The family, in particular
dependants of persons who have died or become physically or mentally
incapacitated as a result of such victimization.
2. Pasal 13: The establishment,
strengthening and expansion of national funds for
compensation to victims should be encouraged. Where appropriate, other
funds may also be established for this purpose, including in those cases where
the State of which the victim is a national is not in a position to compensate
the victim for the harm.
Berdasarkan ketentuan tersebut tampak, negara diposisikan sebagai
fasilitator, dan terkait dengan pemberian kompensasi kepada korban, tetap
menjadi tanggung jawab pelaku. Negara hanya sebagai penunjang, jadi bukan yang
utama.
Selanjutnya, di samping mengatur mengenai kompensasi, Undang-undang No.
13 Tahun 2006, juga mengatur mengenai restitusi dari pelaku kepada korban,
yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. Korban melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, berhak mengajukan ke pengadilan, berupa
hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana.
Adanya ketentuan itu merupakan implementasi dari konsep bahwa pelaku
juga harus bertanggung jawab kepada korban sebagai wujud dari ide perlindungan
yang berorientasi kepada korban nyata. Pencantuman ketentuan seperti itu,
sesuai dengan Deklarasi PBB mengenai Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yang telah
mengatur pemberian restitusi dari pelaku kepada korban, yaitu sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 11 yang berbunyi sebagai berikut :
1.
Pasal 8: Offenders or third parties responsible for their behaviour should,
where appropriate, make fair restitution to victims, their families or
dependants. Such restitution should include the return of property or payment
for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result
of the victimization, the provision of services and the restoration of rights.
2.
Pasal 9: Governments should review their practices, regulations and laws
to consider restitution as an available sentencing option in criminal cases, in
addition to other criminal sanctions.
3. Pasal
10: In cases of substantial harm to the environment, restitution, if ordered,
should include, as far as possible, restoration of the environment,
reconstruction of the infrastructure, replacement of community facilities and
reimbursement of the expenses of relocation, whenever such harm results in the
dislocation of a community.
4.
Pasal 11: Where public officials or other agents acting in an official
or quasi-official capacity have violated national criminal laws, the victim
should receive restitution from the State whose officials or agents were
responsible for the harm inflicted. In cases where the Government under whose
authority the victimizing act or omission occurred is no longer in existence,
the State or Government successor in title should provide restitution to the
victims.
Namun demikian, kendati Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No.
13 Tahun 2006 telah mengatur adanya tanggung jawab pelaku terhadap korban, akan
tetapi suatu hal yang perlu dipertanyakan: bagaimana jika pengadilan telah memutuskan
bahwa pelaku wajib memberikan restitusi kepada korban sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 7 ayat (2) ternyata kemudian tidak dilaksanakan atau tidak dipatuhi
oleh pelaku. Dalam kaitan ini apakah ada ketentuan yang memberikan sanksi
kepada pelaku tersebut. Jawabannya, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tidak
mengatur mengenai hal itu. Dengan tidak adanya ketentuan dimaksud justru
melemahkan apa yang sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. Hal itu dapat ditelusuri
pada ketentuan pidananya sebagaimana diatur dalam Bab V mulai dari Pasal 37
sampai dengan Pasal 43 Undang-undang No. 13 Tahun 2006, dan tidak satu pasal
pun yang mencantumkan ancaman pidana kepada pelaku dimaksud. Pasal-pasal
dimaksud, hanya mengatur sebagai berikut :
1. Pasal 37
(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan
maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak
memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada
tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000,000,-
(dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur
hidup dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2. Pasal 38
Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara
apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau
bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal
6, atau Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 39
Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau
Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban
tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2. Pasal 40
Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau
dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3. Pasal 41
Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi
dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang
dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 42
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat
publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
5. Pasal 43
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42
pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara
sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan
dalam amar putusan hakim.
Selanjutnya, sebagai wujud dari adanya
perlindungan langsung terhadap korban, dalam Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power telah
mengatur perlunya asistensi (Assistance) terhadap korban. Hal itu diatur dalam
Pasal 14 sampai dengan 17 :
1.
Pasal 14: Victims should receive the necessary material, medical,
psychology-cal and social assistance through governmental, voluntary,
community-based and indigenous means.
2.
Pasal 15: Victims should be informed of the availability of health and
social services and other relevant assistance and be readily afforded access to
them.
3.
Pasal 16: Police, justice, health, social service and other personnel
concerned should receive training to sensitize them to the needs of victims,
and guidelines to ensure that they provide proper and prompt aid.
4.
Pasal 17: In providing services and assistance to victims, attention should
be given to those who have special needs because of the nature of the harm
inflicted or because of factors such as those mentioned in paragraph 3 above.
Ketentuan demikian, tidak dijumpai secara nyata dalam Undang-undang No.
13 Tahun 2006. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006
hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi, sedangkan mengenai asistensi
tidak diatur. Mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya
berorientasi pada potensial victims, tetapi
juga pada actual victims, karena itu
sebuah undang-undang yang mengatur perlindungan dimaksud secara komprehensip
sangat diharapkan. Upaya yang dilakukan oleh pembuat UU tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, sebenarnya merupakan langkah yang positif dalam merespon
lemahnya pengaturan perlindungan korban dalam perundang-undangan pidana,
sehingga hak-hak korban sebagai bagian dari anggota masyarakat menjadi
termarginalkan. Tetapi, apa yang sudah diatur dalam UU tentang Perlindungan
Saksi dan Korban itu, masih perlu ditinjau ulang, terlebih bila dikaitkan
dengan Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime
and Abuse of Power yang tidak hanya
mengatur tentang kompensasi, tetapi juga restitusi dan asistensi kepada
korban sebagai cerminan dari adanya perlindungan yang berorientasi kepada
korban langsung.
D. IMPLEMENTASI
POLITIK HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Perlindungan korban, pada dasarnya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari permasalahan hak asasi manusia, dan hak korban itu sendiri
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Karena
itu, bila hak asasi manusia tersebut
telah terancam atau diganggu, perlu adanya jaminan perlindungan hukum
terhadap korban.
Dengan demikian,
korban akibat kejahatan memang seharusnya dilindungi, sebab pada waktu korban
masih berhak menuntut pembalasan terhadap pelaku, korban dapat menentukan
besar-kecilnya ganti rugi itu. Namun, setelah segala bentuk balas dendan
dan ganti rugi diambil alih oleh negara, maka peranan korban tidak diperhatikan lagi.
Apalagi dengan adanya perkembangan pemikiran dalam hukum pidana, di mana
perlunya pembinaan terhadap pelaku agar dapat kembali ke masyarakat. Akibatnya,
telah mengurangi perhatian negara terhadap korban. Dewasa ini telah terjadi
perkembangan orientasi hukum pidana, jika semula hukum pidana berorientasi
kepada perbuatan (crime) sasarannya
adalah prevention of crime,
selanjutnya kepada orang (offender)
sasarannya adalah treatment of offender,
kemudian berkembang kepada korban (victims)
sasarannya adalah treatment of victims.
Adanya perhatian terhadap korban, sesuai dengan perkembangan dewasa ini agar
hukum pidana menghapuskan kesan seolah-olah hanya memanjakan pelaku ketimbang
korban.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang
No. 21 Tahun 2007 yang merujuk kepada Undang-undang No. 13 Tahun 2006 pada
dasarnya merupakan upaya penyapaan antara undang-undang satu dengan
undang-undang lainnya (harmonisasi undang-undang secara horizontal). Karena
dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, telah diatur mengenai perlindungan saksi
dan korban dalam satu undang-undang, yang selama ini khusus pengaturan hak
korban sifatnya masih sektoral dalam beberapa undang-undang, dan itu apabila
ditelusuri lebih lanjut bahwa apa yang menjadi hak ternyata bukan merupakan
sesuatu yang mudah untuk mendapatkannya, sehingga yang terjadi: dari imperatif
menjadi fakultatif.
Di beberapa negara, kepedulian terhadap nasib
korban telah tumbuh begitu meyakinkan, yaitu sehubungan dengan adanya bentuk
pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana. Perhatian terhadap nasib
korban sesuai dengan keinginan masyarakat internasional, yang ditandai dengan
diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB
mengenai Crime Preventioan and Treatment
of Offenders berpendapat bahwa pada Kongres PBB ke VII yang diadakan di
Milan tahun 1985 harus membahas permasalahan korban kejahatan, yang meliputi
baik korban kejahatan konvensional, seperti kekerasan terhadap orang maupun
juga korban berbagai penyelahgunaan kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik,
kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan eksploitasi, dan memberikan perhatian
khusus terutama sekali terhadap golongan-golongan penduduk yang rentan, seperti
anak-anak, wanita, dan etnik minoritas. Dan, sesuai
dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak korban
seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan
pidana. Dalam kaitan ini, Joanna Shapland, dkk pernah mengingatkan bahwa korban
kejahatan sudah dilupakan orang dari sistem peradilan pidana. Kurangnya
perhatian yang diberikan terhadap korban, justru akan melemahkan bekerjanya
sistem peradilan pidana.
Sehubungan dengan itu, J.J.M. van Dijk, dkk menulis
bahwa pada paro pertama abad ke-20 ilmu hukum pidana hampir tidak memperhatikan
sama sekali kedudukan si korban. Demikian juga dengan kriminologi, selalu
diarahkan kepada si pelaku. Perkembangannya, baru pada tahun 60-an muncul
sejumlah perhatian kepada pihak yang dirugikan. Dengan maksud, agar penderitaan
yang menjadi beban si korban agak diperlunak. Kemudian, sekitar tahun
1980, di banyak negara terjadi
kelompok-kelompok aksi yang mengadakan kampanye untuk memperlakukan korban
lebih baik dalam sistem peradilan pidana, dan para kriminolog yang berorientasi
pada korban, ternyata memberi dukungan bagi upaya tersebut.
Perkembangan
perhatian terhadap korban tersebut menunjukkan, bahwa masalah korban sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana sudah seharusnya mendapat perhatian.
Merespon hasil kongres PBB tersebut (sebagai bandingan), Komisi Eropah (European Commission, 1999: 2) menyatakan
bahwa dalam suatu era kemerdekaan, keadilan dan keamanan dalam lingkup Uni
Eropah, harus ada jaminan atas warga negara Eropah untuk dapat akses dalam
sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, individu-individu harus dapat
memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Hal itu penting, sebab hak-hak
korban kejahatan sudah begitu lama diabaikan, dan sekarang waktunya untuk lebih
memberikan perhatian terhadap hak-hak korban dimaksud. Upaya ke arah
perlindungan terhadap korban kejahatan, sebenarnya telah dilakukan sejak awal
tahun 1980-an, di mana Dewan Eropah mengadopsi beberapa instrument
internasional dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan korban kejahatan di Uni
Eropah. Langkah lanjut dari upaya tersebut, dalam beberpa kesempatan telah
dibicarakan di Parlemen Eropah. Pada tahun 1998, masalah perlindungan korban
kejahatan dibicarakan di Dewan Uni Eropah, dan hasilnya korban kejahatan
dimasukkan dalam Action Plan on Freedom,
Security and Justice.
Deklarasi
PBB mengenai Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power itu sendiri telah diadopsi oleh Majelis
Umum tanggal 29 Nopember 1985 (General
Assembly Resolution 40/34), dan itu mencerminkan adanya kemauan kolektif
masyarakat internasional untuk memulihkan keseimbangan antara hak-hak
fundamental tersangka dan pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya
deklarasi tersebut didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui
dan diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan. Karena itu, korban
berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan ganti rugi yang tepat
terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping itu, korban juga berhak untuk
menerima bantuan khusus yang memadai yang berkaitan dengan trauma emosional dan
masalah-masalah lain yang disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa
diri korban.
Perhatian atau
kepedulian terhadap korban kejahatan, seharusnya tidak terbatas pada korban
kejahatan konvensional (perampokan, perkosaan, pencurian, dan yang sejenis
lainnya), tetapi juga harus mencakup korban kejahatan nonkonvensional, di
antaranya korban tindak pidana perdagangan orang.
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, bahwa adanya perkembangan perhatian terhadap korban kejahatan
pada dasarnya sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara hak-hak fundamental
tersangka dan pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Untuk itu, maka
konsep mengenai perlindungan terhadap korban pun harus jelas. Dalam arti harus
ditetapkan terlebih dahulu arah atau cakupan dari perlindungan dimaksud.
Untuk membangun
konsep perlindungan terhadap korban yang komprehensip, maka perlu dikaitkan
dengan konsep pemidanaan sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Barda Nawawi
Arief bahwa konsep pemidanaan harus bertolak dari keseimbangan antara dua
sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu, sehingga melahirkan konsep Daad-dader Strafrecht. Namun,
perlindungan individu tersebut menurut saya harus pula diperluas ruang lingkupnya,
tidak hanya pada offenders oriented
tetapi juga pada victims oriented.
Victims oriented ini pun diperluas lagi, tidak hanya berorientasi pada potential victims, tetapi juga pada actual victims atau direct victims. Karena itu, konsep Daad-dader Strafrecht yang terimplementasi dalam Pasal 11 RUU KUHP
2008 sudah seharusnya ditinjau ulang dan dikembangkan dengan konsep Daad-dader-slachtoffer Strafrecht. Dengan demikian, pihak korban tidak
lagi termarginalkan dalam hukum pidana. Karena itu, keseimbangan dan kesetaraan
perlu dibangun dalam hukum pidana ke depan.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah mencantumkan perlindungan
hukum terhadap korban nyata atau korban langsung, yaitu sebagaimana
terimplementasi dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 55. Khusus mengenai tanggung
jawab pelaku terhadap korban tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Pasal
48 sampai dengan Pasal 50.
1. Pasal 48
(1)
Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau
ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
(2)
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa ganti kerugian atas:
a.
kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3)Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan
orang.
(4)Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5)Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
(6) Pemberian
restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7)Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau
kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang
dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
2. Pasal 49
(1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang
memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi
tersebut.
(2) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan
pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
(3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh Pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.
3. Pasal 50
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak
dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 angka (6) korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada
pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberikan surat peringatan secara tertulis
kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan
restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
(3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana pada ayat (2) tidak dilaksanakan
dalam waktu 14 hari, pengadilan memerintahkan Penuntut Umum untuk menyita harta
kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
(4) Jika pelaku tidak
mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling
lama satu tahun.
Ketentuan yang tercantum dalam Bab V Undang-undang No. 21 Tahun 2007 mengenai
Perlindungan Saksi dan Korban sudah cukup baik, dan itu sesuai dengan ketentuan
Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 bahwa pada prinsipnya perlindungan
korban tindak pidana perdagangan orang mengacu kepada Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sepanjang
tidak ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, karena memang
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 2006 hanya
menentukan: korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: hak
atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana. Jadi, sifatnya umum. Dan, tidak ada ketentuan yang sifatnya memaksa
kepada si pelaku jika ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun
2006 tidak diindahkan. Hal itu justru melemahkan apa yang sudah diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 2006.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 sudah banyak menunjukkan kemajuan
berarti, terlebih yang menyangkut tanggung jawab pelaku kepada korban, akan
tetapi jika memperhatikan ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang No. 21
Tahun 2007 timbul masalah, karena yang dapat dijatuhi pidana yang sifatnya
badaniah (kurungan) hanyalah orang atau manusia, dan dalam konteks ketentuan
Pasal 50 ayat (4) Undang-undang No. 21
Tahun 2007 yang dapat dijatuhi pidana adalah para pengurusnya, tetapi bagaimana
dengan badan hukum atau korporasinya? Padahal sebagaimana telah dikemukakan di
atas, Pasal 1 angka (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 menentukan bahwa yang
dimaksud dengan setiap orang tidak hanya orang perseorangan tetapi juga
korporasi. Dengan demikian, suatu kemustahilan jika korporasi akan dijatuhi
pidana kurungan pengganti.
Berdasarkan temuan ini menunjukkan, bahwa Undang-undang No. 21 Tahun
2007 mempunyai kelemahan dalam upaya memaksa korporasi untuk memenuhi
kewajibannya atas korban akibat dari tindak pidana perdagangan orang yang telah
dilakukannya. Di samping itu, juga menunjukkan adanya inkonsistensi dalam
perumusan subjek hukum tindak pidana perdagangan orang. Tampaknya, pembentuk
undang-undang sudah terpola dengan pemikiran lama (seperti dalam KUHP) bahwa
subjek hukum pidana adalah orang perseorangan.
Untuk yang akan datang, pidana terhadap korporasi sudah seharusnya
perlu dikembangkan dengan alternative-alternatif sanksi lainnya yang selama ini
selalu mengandalkan pidana denda. Karena itu, Undang-undang No. 21 Tahun 2007
melalui Pasal 15 ayat (2)-nya, telah mengatur: selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
a.
Pencabutan izin usaha;
b.
Perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c.
Pencabutan status badan hukum;
d.
Pemecatan pengurus; dan/atau
e.
Pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam
bidang usaha yang sama.
Namun demikian, di antara sanksi-sanksi tersebut yang mungkin sulit
untuk dilaksanakan adalah ketentuan yang tercantum pada huruf a dan huruf b
(Pencabutan izin usaha dan Pencabutan status badan hukum), karena menyangkut kemungkinan
pemecatan atau PHK terhadap tenaga kerja. Hal itu perlu dipikirkan lebih
lanjut. Di samping itu, ke depan perlu mempertimbangkan sanksi yang berupa
publisitas dalam upaya pembaharuan Undang-undang No. 21 Tahun 2007, dengan
begitu akan tercakup aspek general prevensi dan special prevensi.
Mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya
berorientasi pada potensial victims, tetapi juga pada actual victims,
karena itu apa yang sudah diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, sudah lebih maju dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya (kendati sebagai cacatan masih bermasalah pada ketentuan Pasal 50
ayat (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007). Misalnya, Undang-undang No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 30) tanggal 17 April 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 25 tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 108) tanggal 13 Oktober
2003. Dalam undang-undang itu, tidak ada
ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap korban aktual. Ambil contoh,
ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang No. 15 Tahun
2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 yang
ditujukan kepada korporasi, tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan tentang
kewajiban korporasi untuk memberikan ganti kerugian kepada korban yang
menderita akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Misalnya, dalam
hal pencucian uang harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
penyelundupan tenaga kerja.
Menurut Schafer, bahwa
ganti rugi kepada korban seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi
pelaku, tanggung jawab itu pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses
pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak semata ditujukan
kepada orang yang telah dirugikan itu (korban), akan tetapi pada saat yang sama
juga membantu memasyarakatkan kembali dan rehabilitasi si pelaku, dan itu
bagian dari pemidanaan.
Dengan demikian,
sebagaimana ditulis oleh J.J.M. van Dijk, dkk. bahwa untuk menyelesaikan
konflik antara pelaku dan korban, maka pidana merupakan bantuan bagi
penyelesaian konflik tersebut, karena pidana dapat menjadi pemuasan bagi
korban. Penyelesaian konflik sepenuhnya antara pelaku dan korban dalam tindak
pidana yang menimbulkan kerugian tergantung dari sejauh mana kerugian itu pada
akhirnya diganti atau dipenuhi.
E. PENUTUP
Perluasan
pengaturan mengenai subjek hukum pidana, yang tidak lagi
terbatas pada orang perorangan, tetapi juga korporasi. Bahkan, ketika
Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang masih dalam
bentuk Rancangan Undang-undang (RUU), kelompok (group) dimasukan sebagai subjek hukum. Pengaturan kelompok orang terorganisasi
tersebut dalam RUU, mencerminkan bahwa tindak pidana perdagangan orang tidak
dapat dilepaskan dari kejahatan terorganisasi sebagaimana telah diatur dalam
Protokol PBB mengenai Perevent, Suppress
and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children. Akan
tetapi, setelah RUU disahkan menjadi Undang-undang, subjek hukum: kelompok
orang, dihilangkan.
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap korban, UU tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah berkolaborasi dengan
Undang-undang No. 13 Tahun 2006. Namun demikian, Undang-undang No. 13 Tahun
2006 yang dirujuk oleh Undang-undang No. 21 Tahun 2007 masih belum cukup komprehensip
dalam upaya memberikan perlindungan hukum
terhadap korban.
Ide perlindungan hukum terhadap korban yang berorientasi baik pada potential victims maupun actual victims, sudah terimplementasi
dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 dan itu sesuai dengan ide keseimbangan: Daad-dader-slachtoffer-strafrecht. Kendati
ada gangguan sehubungan dengan ketentuan Pasal 50 ayat (4). Karena itu, baik
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 maupun Undang-undang No. 21 Tahun 2007sudah
seharusnya ditinjau ulang untuk diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar