Sabtu, 24 September 2011

POLITIK HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

POLITIK HUKUM PIDANA 
PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. PENDAHULUAN

Kejahatan tengah meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap keamanan dunia dan menghambat kemajuan negara, baik dari aspek sosial, ekonomi maupun budaya. Mengingat kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, maka wajar jika ada suatu ungkapan: kejahatan itu tua dalam usia, tapi muda dalam berita. Artinya, sejak dulu hingga kini orang selalu membicarakan mengenai kejahatan, mulai dari yang sederhana (kejahatan biasa) sampai kepada kejahatan-kejahatan yang sulit pembuktiannya.
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan perdagangan orang tidak lepas dari perkembangan tersebut, dan sehubungan dengan konteks perdagangan orang dimaksud, pada tahun 1995 dalam konperensi PBB mengenai the crime prevention and the treatmen of offers yang diselenggarakan di Cairo, telah dibicarakan tindakan-tindakan to combat transnational crime, terrorism and violence against women. Sehubungan dengan itu, dan terkait  dengan combat transnational crime, pada tahun 2000 di Palermo Itali diselenggarakan konferensi PBB mengenai Transnational Organized Crime, termasuk di dalamnya adalah mengenai perdagangan orang, khususnya wanita dan anak.
Apa yang telah dibicarakan dalam Kongres PBB tersebut, merupakan respon atas perkembangan kejahatan, baik dalam skala nasional maupun internasional, termasuk kejahatan perdagangan orang, khususnya wanita dan anak sebagai salah satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan perdagangan orang telah masuk dalam kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya, yaitu the drug trafficking industry, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking in body parts, theft and smuggling of vehicles, money laundering,
Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Di samping itu, memperangkap dan bahkan memperbudak golongan-golongan masyarakat, khususnya wanita dan anak-anak dalam melakukan pekerjaan ilegal di berbagai bidang, terutama sekali dalam prostitusi.
Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.
Dan, ini tampaknya terkait dengan perubahan dalam bidang ekonomi global, yang telah memberikan keuntungan bagi penjahat tingkat dunia, yaitu dengan memanfatkan peningkatan arus barang, uang dan orang secara lintas batas, maka organisasi kejahatan internasional telah memperluas jangkauan wilayah mereka dan hubungan mereka dengan kekuasaan pemerintahan setempat.
Kejahatan perdagangan orang yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat  ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.
Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dan, sehubungan dengan itu, dalam United Nations Office on Drugs and Crime, dinyatakan bahwa dari dusun-dusun Himalaya hingga kota-kota Eropah Timur, orang-orang, khususnya wanita dan anak-anak, tergiur dengan prospek pekerjaan dan bayaran yang tinggi, baik sebagai pembantu rumah tangga, pelayan, maupun pekerja pabrik. Para pedagang tersebut mendapatkan wanita dan anak-anak itu dengan cara menipu atau informasi bohong di antaranya melalui iklan-iklan. Wanita dan anak-anak itu dipaksa bekerja sebagai pelacur.
Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut, dan sebagai salah satu contoh, yaitu sebagaimana yang diberitakan oleh Media Indonesia Online bahwa polisi berhasil membongkar sindikat penjual ABG (anak baru gede) untuk dijadikan WTS (wanita tuna susila) dan menangkap tiga germo di lokalisasi Teleju Pekanbaru pada hari Jum’at 28 Pebruari 2003. Tiga ABG yang berasal dari Cianjur Jawa Barat itu, semula dijanjikan akan bekerja di Jakarta, tetapi kenyataannya dijadikan WTS dan dijual dengan harga Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) per orang. Polisi berhasil membongkar sindikat penjualan ABG tersebut adalah berdasarkan informasi masyarakat dan laporan pers.
      Adanya sindikat penjualan manusia (ABG) tersebut menunjukkan bahwa kejahatan terorganisasi itu (perdagangan wanita dan anak) sudah merambah ke Indonesia, dan ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk menanggulanginya, baik pada tataran perundang-undangan (kebijakan legislatif) maupun aparat pelaksananya (kebijakan aplikasi/yudikatif dan kebijakan eksekusi/eksekutif).
Mengingat perbuatan perdagangan orang yang demikian itu, pada hakikatnya merupakan kejahatan transnasional dan merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia. Bahkan dalam UNODC dikemukakan bahwa perdagangan orang merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan (human trafficking is a crime against humanity).
Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor: 58), tanggal 19 April 2007, sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada korban dan calon korban agar tidak menjadi korban. Bahkan saat ini, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2009, tanggal 1 Januari 2009. Dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB tersebut, berarti Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara global.
Mengingat pelaku tindak pidana perdagangan orang akan sangat berpotensi bagi timbulnya korban, maka yang patut dipertanyakan: apakah Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah mengatur mengenai perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang? Karena dalam Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah disebutkan bahwa ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang dilaksankan berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Jika demikian halnya, maka yang perlu dipertanyakan lagi, apakah Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah cukup baik dalam mengatur mengenai perlindungan korban.

B. PERLUASAN SUBJEK HUKUM PIDANA
            Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang, terlebih dahulu perlu dikemukakan mengenai perluasan subjek hukum tindak pidana perdagangan orang. Hal itu penting, mengingat adanya korban pasti ada pelakunya.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, Pasal 1 angka (4) merumuskan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Ini berarti subjek hukum pidana menurut undang-undang ini, selain manusia alamiah (natural person), juga manusia hukum (juridical person). Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (6) dipertegas lagi: bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Namun, ketika Undang-undang No. 21 Tahun 2007 masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU) bahwa yang dimaksud dengan setiap orang itu meliputi kelompk orang. Dan, dalam Pasal 1 angka (6) RUU dipertegas lagi: bahwa kelompok orang adalah sekumpulan dua orang  atau lebih baik yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Walaupun, pengertian mengenai kelompok orang tersebut, masih belum sesuai dengan Annex I UN Convention against Transnational Organized Crime, yang memberi batasan dalam Article 2 tentang Use of terms. Karena, dalam huruf (a) dinyatakan bahwa kelompok kejahatan terorganisasi berarti sebuah kelompok yang terstruktur (structured group) dari tiga atau lebih orang. Sedangkan dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kelompok orang dimaksud terdiri atas dua orang  atau lebih.
Terlepas dari perbedaan penyebutan jumlah dalam kelompok orang tersebut, akan tetapi pembuat RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah mengetahui bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi. Karena itu, dalam Konsideran disebutkan: bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik baik bersifat antar Negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan Negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Itu sebabnya, subjek hukum tindak pidana perdagangan orang diperluas, di samping orang perseorangan, korporasi, juga kelompok orang. Dan dalam Pasal 16 RUU tersebut  ditentukan: dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiganya). Setelah RUU itu disahkan menjadi undang-undang, ketentuan mengenai  kelompok orang (group) dihilangkan. Akhirnya, yang diatur dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 adalah orang perorangan, dan korporasi. Akan tetapi, ketentuan Pasal 16 RUU masih tetap dipertahankan dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, yaitu dalam pasal dan redaksi yang sama. Sementara itu, pengertian mengenai kelompok orang sudah dihilangkan dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007.
Selanjutnya, mengenai diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana di samping orang perseorangan, tidak lepas dari upaya untuk mengantisipasi perkembangan ke depan. Karena dalam RUU tentang KUHP telah diatur, bahwa:  “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka  subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural  person) tetapi mencakup pula korporasi, …………..” (Penjelasan Umum Buku Kesatu, angka 4).    
Mengingat korporasi adalah subjek hukum yang sifatnya non-badaniah, maka perlu diketahui kapan suatu tindak pidana dikatakan telah dilakukan oleh korporasi. Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, sudah diatur melalui Pasal 13 ayat (1): Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja rnaupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Hal ini penting, jika tidak ada penentuan mengenai kapan suatu tindak pidana perdagangan orang dapat dikatakan telah dilakukan oleh korporasi, maka akan mengaburkan dalam hal dapat dipidananya korporasi. Di samping itu, juga akan melemahkan tanggung jawab korporasi terhadap korban, jika pelakunya adalah korporasi.

C. KEBIJAKAN PERLINDUNGAN KORBAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 bahwa perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang dilaksankan berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007. Jika demikian halnya, maka yang perlu ditelusuri apakah Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah cukup baik dalam upaya memberikan perlindungan korban.
Sebenarnya, UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan suatu langkah yang positif dalam upaya Perlindungan Saksi dan Korban, yang selama ini pengaturannya masih bersifat sektoral, maka dengan adanya upaya untuk mengaturnya secara khusus dalam satu undang-undang boleh dikatakan sebagai langkah maju dalam rangka perlindungan terhadap korban, dan itu sesuai dengan amanat yang telah diletakkan dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan, sesuai pula dengan kesepakatan masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam The United Nations Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 dapat dilihat dalam bagian konsideran huruf a dan b, sebagai berikut:
a.  bahwa  salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;                               
b.      bahwa penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat mengihadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
Berdasarkan konsideran tersebut, yang merupakan semangat dibuatnya Undang-undang No. 13 Tahun 2006 menunjukkan bahwa pembuat undang-undang berkehendak menempatkan korban agar dapat ambil bagian dalam sistem peradilan pidana yang selama ini telah termarginalkan, dan itu sejalan dengan yang telah dikemukakan dalam Guide for Policy Makers dalam rangka Implementasi Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1999: 1), bahwa in modern criminal justice system, korban kejahatan dan korban penyalahgunaan wewenang, maka apa yang menjadi haknya dapat dikatakan telah dilupakan orang.
Kendati telah ada upaya nyata untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban, akan tetapi yang masih perlu dipertanyakan: apakah perlindungan korban yang terimplementasikan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sesuai dengan konsep perlindungan korban. Pertanyaan ini mengemuka, karena apabila memperhatikan beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tampaknya pembuat Undang-undang No. 13 Tahun 2006 masih bias dalam memahami konsep tentang perlindungan korban dan kaitannya dengan akses korban dalam sitem peradilan pidana, sehingga apa yang telah dinyatakan dalam bagian konsideran tidak diimplementasikan secara konsisten dalam pasal-pasalnya.
 Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2006  dinyatakan: Korban dalam pelanggaran HAM yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana diamaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan :                
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Pencantuman “pelanggaran HAM yang berat” dalam Pasal 6 itu, demikian juga dengan bentuk perlakuan yang berbeda dari korban kejahatan lainnya, sebagaimana tercantum dalam huruf a dan b, barangkali tanpa disadari oleh pembuat UU bahwa apa yang diatur dalam Pasal 6 telah menanamkan adanya diskriminasi dalam memberikan perlindungan terhadap korban, temasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Apalagi dengan mencantumkan  “pelanggaran  HAM yang berat”, yang sebelumnya tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan “pelanggaran HAM yang berat”.
Dibandingkan dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dikemukakan bahwa untuk dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM yang berat apabila melakukan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b Undang-undang No. 26 Tahun 2000. Bahkan dalam Pasal 8 ditentukan: Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.       membunuh anggota kelompok;
b.      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c.       menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d.      memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e.       memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ditentukan bahwa: Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a.       pembunuhan;
b.      pemusnahan;
c.       perbudakan;
d.      pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.       perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.        penyiksaan;
g.       perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h.      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i.         penghilangan orang secara paksa; atau
j.         kejahatan apartheid.
Sedangkan apa yang telah diatur dalam Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2006 masih tidak jelas kriterianya, tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat tersebut. Selain itu, perlindungan terhadap korban seharusnya diberikan kepada semua korban tanpa terkecuali, dan dalam Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power dikemukakan, apa yang dimaksud dengan korban diberikan pengertian yang luas, yaitu seseorang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk fisik atau mental, emosional, kerugian secara ekonomis atau pelemahan (impairment) substansial terhadap hak-hak mendasar lainnya, baik dengan melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional atau norma-norma yang diakui secara internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia (Handbook on Justice for Victims, 1999:  iv). Sedangkan pengertian korban menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2006: “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Terkait dengan ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tersebut, dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 13 Tahun 2006 dikemukakan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, berhak mengajukan ke pengadilan, berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. Adanya ketentuan demikian, selain tidak diatur kriteria mengenai pelanggaran HAM yang berat sebagaimana telah diuraikan di atas, juga pemberian kompensasi kepada korban yang dibebankan kepada Negara, justru akan melemahkan tanggung jawab pelaku kepada korban. Di samping itu, dalam kondisi keuangan negara yang masih serba sulit, seharusnya tidak lagi menempatkan negara pada posisi provider, tapi sebagai fasilitator.
Sebagai bahan bandingan, dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, pada bagian yang mengatur mengenai Compensation, ditegaskan dalam Pasal 12 dan 13 yang menyebutkan
1.  Pasal 12: When compensation is not fully available from the offender or other
sources, States should endeavour to provide financial compensation to:
(a) Victims who have sustained significant bodily injury or impairment of physical or mental health as a result of serious crimes;
(b) The family, in particular dependants of persons who have died or become physically or mentally incapacitated as a result of such victimization.

2.  Pasal 13: The establishment, strengthening and expansion of national funds for
compensation to victims should be encouraged. Where appropriate, other funds may also be established for this purpose, including in those cases where the State of which the victim is a national is not in a position to compensate the victim for the harm.
Berdasarkan ketentuan tersebut tampak, negara diposisikan sebagai fasilitator, dan terkait dengan pemberian kompensasi kepada korban, tetap menjadi tanggung jawab pelaku. Negara hanya sebagai penunjang, jadi bukan yang utama.
Selanjutnya, di samping mengatur mengenai kompensasi, Undang-undang No. 13 Tahun 2006, juga mengatur mengenai restitusi dari pelaku kepada korban, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, berhak mengajukan ke pengadilan, berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Adanya ketentuan itu merupakan implementasi dari konsep bahwa pelaku juga harus bertanggung jawab kepada korban sebagai wujud dari ide perlindungan yang berorientasi kepada korban nyata. Pencantuman ketentuan seperti itu, sesuai dengan Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yang telah mengatur pemberian restitusi dari pelaku kepada korban, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 11 yang berbunyi sebagai berikut :
1.  Pasal 8: Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights.
2.  Pasal 9: Governments should review their practices, regulations and laws to consider restitution as an available sentencing option in criminal cases, in addition to other criminal sanctions.
3.  Pasal 10: In cases of substantial harm to the environment, restitution, if ordered, should include, as far as possible, restoration of the environment, reconstruction of the infrastructure, replacement of community facilities and reimbursement of the expenses of relocation, whenever such harm results in the dislocation of a community.
4.  Pasal 11: Where public officials or other agents acting in an official or quasi-official capacity have violated national criminal laws, the victim should receive restitution from the State whose officials or agents were responsible for the harm inflicted. In cases where the Government under whose authority the victimizing act or omission occurred is no longer in existence, the State or Government successor in title should provide restitution to the victims.
Namun demikian, kendati Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah mengatur adanya tanggung jawab pelaku terhadap korban, akan tetapi suatu hal yang perlu dipertanyakan: bagaimana jika pengadilan telah memutuskan bahwa pelaku wajib memberikan restitusi kepada korban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) ternyata kemudian tidak dilaksanakan atau tidak dipatuhi oleh pelaku. Dalam kaitan ini apakah ada ketentuan yang memberikan sanksi kepada pelaku tersebut. Jawabannya, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tidak mengatur mengenai hal itu. Dengan tidak adanya ketentuan dimaksud justru melemahkan apa yang sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. Hal itu dapat ditelusuri pada ketentuan pidananya sebagaimana diatur dalam Bab V mulai dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 43 Undang-undang No. 13 Tahun 2006, dan tidak satu pasal pun yang mencantumkan ancaman pidana kepada pelaku dimaksud. Pasal-pasal dimaksud, hanya mengatur sebagai berikut :

1. Pasal 37
(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000,000,- (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

2. Pasal 38
Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 39
Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2. Pasal 40
Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3. Pasal 41
Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 42
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
5. Pasal 43
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Selanjutnya, sebagai wujud dari adanya perlindungan langsung terhadap korban, dalam Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power telah mengatur perlunya asistensi (Assistance) terhadap korban. Hal itu diatur dalam Pasal 14 sampai dengan 17 :
1.  Pasal 14: Victims should receive the necessary material, medical, psychology-cal and social assistance through governmental, voluntary, community-based and indigenous means.
2.  Pasal 15: Victims should be informed of the availability of health and social services and other relevant assistance and be readily afforded access to them.
3.  Pasal 16: Police, justice, health, social service and other personnel concerned should receive training to sensitize them to the needs of victims, and guidelines to ensure that they provide proper and prompt aid.
4.  Pasal 17: In providing services and assistance to victims, attention should be given to those who have special needs because of the nature of the harm inflicted or because of factors such as those mentioned in paragraph 3 above.
Ketentuan demikian, tidak dijumpai secara nyata dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi, sedangkan mengenai asistensi tidak diatur. Mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya berorientasi pada potensial victims, tetapi juga pada actual victims, karena itu sebuah undang-undang yang mengatur perlindungan dimaksud secara komprehensip sangat diharapkan. Upaya yang dilakukan oleh pembuat UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebenarnya merupakan langkah yang positif dalam merespon lemahnya pengaturan perlindungan korban dalam perundang-undangan pidana, sehingga hak-hak korban sebagai bagian dari anggota masyarakat menjadi termarginalkan. Tetapi, apa yang sudah diatur dalam UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu, masih perlu ditinjau ulang, terlebih bila dikaitkan dengan  Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power yang tidak hanya  mengatur tentang kompensasi, tetapi juga restitusi dan asistensi kepada korban sebagai cerminan dari adanya perlindungan yang berorientasi kepada korban langsung.

D. IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN KORBAN      TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Perlindungan korban, pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari permasalahan hak asasi manusia, dan hak korban itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Karena itu, bila hak asasi manusia tersebut  telah terancam atau diganggu, perlu adanya jaminan perlindungan hukum terhadap korban.
Dengan demikian, korban akibat kejahatan memang seharusnya dilindungi, sebab pada waktu korban masih berhak menuntut pembalasan terhadap pelaku, korban dapat menentukan besar-kecilnya ganti rugi itu. Namun, setelah segala bentuk balas dendan dan ganti rugi diambil alih oleh negara, maka  peranan korban tidak diperhatikan lagi. Apalagi dengan adanya perkembangan pemikiran dalam hukum pidana, di mana perlunya pembinaan terhadap pelaku agar dapat kembali ke masyarakat. Akibatnya, telah mengurangi perhatian negara terhadap korban. Dewasa ini telah terjadi perkembangan orientasi hukum pidana, jika semula hukum pidana berorientasi kepada perbuatan (crime) sasarannya adalah prevention of crime, selanjutnya kepada orang (offender) sasarannya adalah treatment of offender, kemudian berkembang kepada korban (victims) sasarannya adalah treatment of victims. Adanya perhatian terhadap korban, sesuai dengan perkembangan dewasa ini agar hukum pidana menghapuskan kesan seolah-olah hanya memanjakan pelaku ketimbang korban.
 Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 yang merujuk kepada Undang-undang No. 13 Tahun 2006 pada dasarnya merupakan upaya penyapaan antara undang-undang satu dengan undang-undang lainnya (harmonisasi undang-undang secara horizontal). Karena dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, telah diatur mengenai perlindungan saksi dan korban dalam satu undang-undang, yang selama ini khusus pengaturan hak korban sifatnya masih sektoral dalam beberapa undang-undang, dan itu apabila ditelusuri lebih lanjut bahwa apa yang menjadi hak ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk mendapatkannya, sehingga yang terjadi: dari imperatif menjadi fakultatif.
Di beberapa negara, kepedulian terhadap nasib korban telah tumbuh begitu meyakinkan, yaitu sehubungan dengan adanya bentuk pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana. Perhatian terhadap nasib korban sesuai dengan keinginan masyarakat internasional, yang ditandai dengan diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada Kongres PBB ke VII yang diadakan di Milan tahun 1985 harus membahas permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional, seperti kekerasan terhadap orang maupun juga korban berbagai penyelahgunaan kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan eksploitasi, dan memberikan perhatian khusus terutama sekali terhadap golongan-golongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita, dan etnik minoritas. Dan, sesuai dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Dalam kaitan ini, Joanna Shapland, dkk pernah mengingatkan bahwa korban kejahatan sudah dilupakan orang dari sistem peradilan pidana. Kurangnya perhatian yang diberikan terhadap korban, justru akan melemahkan bekerjanya sistem peradilan pidana.
Sehubungan dengan itu, J.J.M. van Dijk, dkk menulis bahwa pada paro pertama abad ke-20 ilmu hukum pidana hampir tidak memperhatikan sama sekali kedudukan si korban. Demikian juga dengan kriminologi, selalu diarahkan kepada si pelaku. Perkembangannya, baru pada tahun 60-an muncul sejumlah perhatian kepada pihak yang dirugikan. Dengan maksud, agar penderitaan yang menjadi beban si korban agak diperlunak. Kemudian, sekitar tahun 1980,  di banyak negara terjadi kelompok-kelompok aksi yang mengadakan kampanye untuk memperlakukan korban lebih baik dalam sistem peradilan pidana, dan para kriminolog yang berorientasi pada korban, ternyata memberi dukungan bagi upaya tersebut.
Perkembangan perhatian terhadap korban tersebut menunjukkan, bahwa masalah korban sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sudah seharusnya mendapat perhatian. Merespon hasil kongres PBB tersebut (sebagai bandingan), Komisi Eropah (European Commission, 1999: 2) menyatakan bahwa dalam suatu era kemerdekaan, keadilan dan keamanan dalam lingkup Uni Eropah, harus ada jaminan atas warga negara Eropah untuk dapat akses dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, individu-individu harus dapat memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Hal itu penting, sebab hak-hak korban kejahatan sudah begitu lama diabaikan, dan sekarang waktunya untuk lebih memberikan perhatian terhadap hak-hak korban dimaksud. Upaya ke arah perlindungan terhadap korban kejahatan, sebenarnya telah dilakukan sejak awal tahun 1980-an, di mana Dewan Eropah mengadopsi beberapa instrument internasional dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan korban kejahatan di Uni Eropah. Langkah lanjut dari upaya tersebut, dalam beberpa kesempatan telah dibicarakan di Parlemen Eropah. Pada tahun 1998, masalah perlindungan korban kejahatan dibicarakan di Dewan Uni Eropah, dan hasilnya korban kejahatan dimasukkan dalam Action Plan on Freedom, Security and Justice.
Deklarasi PBB  mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power itu sendiri telah diadopsi oleh Majelis Umum tanggal 29 Nopember 1985 (General Assembly Resolution 40/34), dan itu mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka dan pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui dan diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan. Karena itu, korban berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalah-masalah lain yang disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa diri korban. 
Perhatian atau kepedulian terhadap korban kejahatan, seharusnya tidak terbatas pada korban kejahatan konvensional (perampokan, perkosaan, pencurian, dan yang sejenis lainnya), tetapi juga harus mencakup korban kejahatan nonkonvensional, di antaranya korban tindak pidana perdagangan orang.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa adanya perkembangan perhatian terhadap korban kejahatan pada dasarnya sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara hak-hak fundamental tersangka dan pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Untuk itu, maka konsep mengenai perlindungan terhadap korban pun harus jelas. Dalam arti harus ditetapkan terlebih dahulu arah atau cakupan dari perlindungan dimaksud.
Untuk membangun konsep perlindungan terhadap korban yang komprehensip, maka perlu dikaitkan dengan konsep pemidanaan sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep pemidanaan harus bertolak dari keseimbangan antara dua sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu, sehingga melahirkan konsep Daad-dader Strafrecht. Namun, perlindungan individu tersebut menurut saya harus pula diperluas ruang lingkupnya, tidak hanya pada offenders oriented tetapi juga pada victims oriented. Victims oriented ini pun diperluas lagi, tidak hanya berorientasi pada potential victims, tetapi juga pada actual victims atau direct victims. Karena itu, konsep Daad-dader Strafrecht yang terimplementasi dalam Pasal 11 RUU KUHP 2008 sudah seharusnya ditinjau ulang dan dikembangkan dengan konsep Daad-dader-slachtoffer Strafrecht. Dengan demikian, pihak korban tidak lagi termarginalkan dalam hukum pidana. Karena itu, keseimbangan dan kesetaraan perlu dibangun dalam hukum pidana ke depan.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah mencantumkan perlindungan hukum terhadap korban nyata atau korban langsung, yaitu sebagaimana terimplementasi dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 55. Khusus mengenai tanggung jawab pelaku terhadap korban tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50.
1. Pasal 48

(1)  Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
(2)  Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
a.       kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b.      penderitaan;
c.       biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
d.      kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3)Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
(4)Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5)Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
(6)  Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7)Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

2. Pasal 49
(1)    Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.
(2)    Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
(3)    Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

3. Pasal 50

(1)    Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 angka (6) korban atau ahli warisnya  memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
(2)    Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
(3)    Dalam hal surat peringatan sebagaimana pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari, pengadilan memerintahkan  Penuntut Umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
(4)    Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun.
Ketentuan yang tercantum dalam Bab V Undang-undang No. 21 Tahun 2007 mengenai Perlindungan Saksi dan Korban sudah cukup baik, dan itu sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 bahwa pada prinsipnya perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang mengacu kepada  Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007, karena memang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 2006 hanya menentukan: korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Jadi, sifatnya umum. Dan, tidak ada ketentuan yang sifatnya memaksa kepada si pelaku jika ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tidak diindahkan. Hal itu justru melemahkan apa yang sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 2006.
Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 sudah banyak menunjukkan kemajuan berarti, terlebih yang menyangkut tanggung jawab pelaku kepada korban, akan tetapi jika memperhatikan ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 timbul masalah, karena yang dapat dijatuhi pidana yang sifatnya badaniah (kurungan) hanyalah orang atau manusia, dan dalam konteks ketentuan Pasal 50 ayat (4)  Undang-undang No. 21 Tahun 2007 yang dapat dijatuhi pidana adalah para pengurusnya, tetapi bagaimana dengan badan hukum atau korporasinya? Padahal sebagaimana telah dikemukakan di atas, Pasal 1 angka (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 menentukan bahwa yang dimaksud dengan setiap orang tidak hanya orang perseorangan tetapi juga korporasi. Dengan demikian, suatu kemustahilan jika korporasi akan dijatuhi pidana kurungan pengganti.
Berdasarkan temuan ini menunjukkan, bahwa Undang-undang No. 21 Tahun 2007 mempunyai kelemahan dalam upaya memaksa korporasi untuk memenuhi kewajibannya atas korban akibat dari tindak pidana perdagangan orang yang telah dilakukannya. Di samping itu, juga menunjukkan adanya inkonsistensi dalam perumusan subjek hukum tindak pidana perdagangan orang. Tampaknya, pembentuk undang-undang sudah terpola dengan pemikiran lama (seperti dalam KUHP) bahwa subjek hukum pidana adalah orang perseorangan.
Untuk yang akan datang, pidana terhadap korporasi sudah seharusnya perlu dikembangkan dengan alternative-alternatif sanksi lainnya yang selama ini selalu mengandalkan pidana denda. Karena itu, Undang-undang No. 21 Tahun 2007 melalui Pasal 15 ayat (2)-nya, telah mengatur: selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
a.       Pencabutan izin usaha;
b.      Perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c.       Pencabutan status badan hukum;
d.      Pemecatan pengurus; dan/atau
e.       Pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
Namun demikian, di antara sanksi-sanksi tersebut yang mungkin sulit untuk dilaksanakan adalah ketentuan yang tercantum pada huruf a dan huruf b (Pencabutan izin usaha dan Pencabutan status badan hukum), karena menyangkut kemungkinan pemecatan atau PHK terhadap tenaga kerja. Hal itu perlu dipikirkan lebih lanjut. Di samping itu, ke depan perlu mempertimbangkan sanksi yang berupa publisitas dalam upaya pembaharuan Undang-undang No. 21 Tahun 2007, dengan begitu akan tercakup aspek general prevensi dan special prevensi.
Mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya berorientasi pada potensial victims, tetapi juga pada actual victims, karena itu apa yang sudah diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sudah lebih maju dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya (kendati sebagai cacatan masih bermasalah pada ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007). Misalnya, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 30) tanggal 17 April 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 108) tanggal 13 Oktober 2003.  Dalam undang-undang itu, tidak ada ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap korban aktual. Ambil contoh, ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 yang ditujukan kepada korporasi, tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan tentang kewajiban korporasi untuk memberikan ganti kerugian kepada korban yang menderita akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Misalnya, dalam hal pencucian uang harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana penyelundupan tenaga kerja.
Menurut Schafer, bahwa  ganti rugi kepada korban seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi pelaku, tanggung jawab itu pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak semata ditujukan kepada orang yang telah dirugikan itu (korban), akan tetapi pada saat yang sama juga membantu memasyarakatkan kembali dan rehabilitasi si pelaku, dan itu bagian dari pemidanaan.
Dengan demikian, sebagaimana ditulis oleh J.J.M. van Dijk, dkk. bahwa untuk menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban, maka pidana merupakan bantuan bagi penyelesaian konflik tersebut, karena pidana dapat menjadi pemuasan bagi korban. Penyelesaian konflik sepenuhnya antara pelaku dan korban dalam tindak pidana yang menimbulkan kerugian tergantung dari sejauh mana kerugian itu pada akhirnya diganti atau dipenuhi.


E. PENUTUP
 Perluasan pengaturan mengenai subjek hukum pidana, yang tidak lagi terbatas pada orang perorangan, tetapi juga korporasi. Bahkan, ketika Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU), kelompok (group) dimasukan sebagai subjek hukum.  Pengaturan kelompok orang terorganisasi tersebut dalam RUU, mencerminkan bahwa tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dilepaskan dari kejahatan terorganisasi sebagaimana telah diatur dalam Protokol PBB mengenai Perevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children. Akan tetapi, setelah RUU disahkan menjadi Undang-undang, subjek hukum: kelompok orang, dihilangkan.
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap korban, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah berkolaborasi dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2006. Namun demikian, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 yang dirujuk oleh Undang-undang No. 21 Tahun 2007 masih belum cukup komprehensip dalam upaya memberikan perlindungan  hukum terhadap korban.
Ide perlindungan hukum terhadap korban yang berorientasi baik pada potential victims maupun actual victims, sudah terimplementasi dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 dan itu sesuai dengan ide keseimbangan: Daad-dader-slachtoffer-strafrecht. Kendati ada gangguan sehubungan dengan ketentuan Pasal 50 ayat (4). Karena itu, baik Undang-undang No. 13 Tahun 2006 maupun Undang-undang No. 21 Tahun 2007sudah seharusnya ditinjau ulang untuk diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar