PEREMPUAN DAN PORNOGRAFI
SEBUAH SENI ATAUKAH
EKSPLOITASI
Pornografi dan perempuan, dua unsur ini bak dua sisi mata uang yang
menimbulkan banyak persepsi mengenai relasi antar keduanya. Satu sisi melihat
pornografi sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan dan dianggap
mengeksploitir perempuan untuk kepentingan bisnis dan kesenangan dalam bingkai
berpikir laki-laki yang berangkat dari konsep patriarkhi, sementara yang lain
melihat pornografi sebagai salah satu bentuk ekspresi dari cita rasa seni.
Polemik mengenai hal ini kembali muncul untuk mendapatkan
justifikasi apakah pornografi itu adalah seni ataukah bentuk eksploitasi
perempuan ? Pengumbaran atas tubuh perempuan secara sengaja melalui media massa
dianggap melecehkan harkat dan merendahkan martabat perempuan serta menempatkan
perempuan sebagai objek seks semata dimana semua ini akan memperkuat pemahaman
orang yang sangat keliru serta merugikan mengenai eksistensi diri perempuan.
A. Pendahuluan
Topik mengenai masalah seksualitas,
erotika dan pornografi belakangan ini kembali menarik perhatian dan menjadi
bahan perbincangan oleh banyak kalangan. Perdebatan mengenai batasan antara
nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan
pornografi dalam tataran seni tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru
namun karena sifatnya yang timbul tenggelam, maka tema perbincangan ini
seolah tidak pernah berakhir. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan lokus
dimana unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam
tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video klip artis
yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa/siswa SMU, pameran
foto-foto nudis beberapa artis sampai aksi panggung artis
dangdut yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas
penyanyinya.
Debat
mengenai hal ini mungkin tidak akan berkembang menjadi suatu polemik yang
berkepanjangan, jika saja persoalan-persoalan seputar seksualitas ini dikemas
dalam suatu frame yang memuat pengaturan mengenai media yang digunakan, cara
peredaran serta pasar yang akan dituju. Artinya tidak menjadi tontonan yang
bersifat massal tanpa peduli mengenai dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Satu
hal yang juga menjadi salah satu aspek perdebatan mengenai hal ini adalah bahwa
secara umum- walaupun tidak semua- objek dari kegiatan yang mengandung unsur
erotika dan sejenisnya ini adalah perempuan. Ketika berbicara mengenai
perempuan, maka pandangan umum kerap mengidentikkan perempuan dengan 3 (tiga)
unsur yang dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah taste yang merepresentasikan
perempuan sebagai makhluk yang cantik, lembut dan indah.
Pencitraan
perempuan yang demikian bisa mengandung makna penghormatan pada satu
sisi, namun disisi lain juga sekaligus merupakan penegasan dari sosok perempuan
itu sendiri yang hanya diterima sebatas pada kategori ketiga kata
tersebut.
B. Pengertian
Pornografi
Pornografi
memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi
diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan
cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa
tampilan gambar,aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang
pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara
bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).
Namun
jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata
Yunani yaitu “porne” yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti
tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk
pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang
menggambarkan pelacur (Ade Armando,2003:1).
Batasan
pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi
sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto,
film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang
nafsu birahi. Sedangkan menurut Tong, pornografi merupakan propaganda
patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan
laki-laki. Andrea Drowkin berpandangan pornografi adalah sebuah industri
yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan,
pornografi menyebarkan kekerasan terhadap perempuan, pornografi mendehumanisasi
seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk
menyebarkan pelecehan seksual.
Dari
batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian pornografi telah
mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau
gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup
pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi,
radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian pula yang menjadi
objek tidak lagi hanya pelacur -dalam pengertian orang/manusia- atau kejalangan
tetapi secara perlahan pornografi mencakup semua materi yang melalui berbagai
media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah berfungsi bak seperti pelacur.
Dengan demikian maka pornografi sampai pada batasan sebagai “materi” yang
disajikan di media tertentu yang dapat dan atau ditujukan untuk membangkitkan
hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks.
Disini
unsur media menjadi suatu patokan utama berkait dengan batasan pornografi
tersebut. Media yang dimaksud dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga ) kelompok
besar yaitu :
1. Media
audio (dengar). Yang termasuk dalam kategori ini diantaranya siaran
radio,
kaset, CD, telepon, ragam media audio lain yang dapat diakses di internet:
(a) lagu-lagu
yang mengandung lirik mesum, lagu-lagu yang mengandung
bunyi-bunyian atau suara-suara yang dapat diasosiasikan dengan kegiatan
seksual;
(b)
program radio dimana penyiar atau pendengar berbicara dengan gaya
mesum;
(c)
jasa layanan pembicaraan tentang seks melalui telepon (party line) dan
sebagainya.
2.
Media audio-visual (pandang-dengar) seperti program televisi, film layar
lebar,
video,
laser disc, VCD, DVD, game komputer, atau ragam media audio visual
lain
yang dapat diakses di internet :
(a)
film-film yang mengandung adegan seks atau menampilkan artis yang
tampil dengan pakaian minim atau tidak (seolah-olah) tidak berpakaian.
(b)
adegan pertunjukkan musik dimana penyanyi, musisi atau penari latar
hadir dengan tampilan dan gerak yang
membangkitkan syahwat
penonton.
3. Media
visual (pandang) seperti koran, majalah, tabloid, buku (karya sastra, novel
popular,
buku non-fiksi) komik, iklan billboard, lukisan, foto atau bahkan media
permainan
seperti kartu:
(a) berita,
cerita atau artikel yang menggambarkan aktivitas seks secara
terperinci atau yang memang dibuat dengan cara
yang demikian rupa
untuk merangsang hasrat seksual pembaca.
(b)
gambar, foto adegan seks atau artis yang tampil dengan gaya yang
dapat membangkitkan daya tarik seksual
(c)
fiksi atau komik yang mengisahkan atau menggambarkan adegan seks
dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membangkitkan hasrat
seksual.
Oleh
karenanya jika pornografi diberi batasan sebagai sesuatu yang mengandung unsur
seksualitas, erotika atau sejenisnya yang ditampilkan melalui media, maka
segala sesuatu perilaku atau tampilan yang dianggap dapat membangkitkan hasrat
seksual namun tidak tampil dalam media baik audio maupun visual tertentu,
tidak dapat disebut sebagai pornografi.
Secara
garis besar dalam wacana porno atau tindakan pencabulan kontemporer, ada
beberapa bentuk porno, yaitu : (Burhan Bungin,2003:154)
1. pornografi,
adalah gambar-gambar porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto
atau
gambar video;
2. pornoteks,
adalah karya pencabulan yang mengangkat cerita berbagai versi
hubungan
seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi
secara
detail dan vulgar sehingga pembaca merasa menyaksikan atau mengalami
sendiri.
3. pornosuara,
adalah suara, tuturan dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang
yang
langsung atau tidak langsung baik secara halus maupun vulgar berkait
dengan
objek atau aktivitas seksual tertentu.
4. pornoaksi,
adalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh
yang
tidak disengaja atau sengaja untuk memancing hasrat seksual laki-laki.
Dalam
konteks media massa, pornografi, pornoteks, pornosuara dan pornoaksi menjadi
bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai karakter media yang menyiarkan
porno tersebut. Bahkan varian dari berbagai porno tersebut dapat menjadi
satu dalam jaringan internet yang disebut sebagai cybersex. Keseluruhan
berbagai varian porno di atas tercakup dalam satu kategori yang dikenal
sebagai pornomedia.
Dalam
konteks hukum konsep mengenai pornografi dapat juga ditemukan dalam beberapa
ketentuan perundang-undangan. Dalam KUH Pidana, misalnya walaupun di sana tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai apa definisi pornografi tersebut. Batasan
atau hal yang dapat dipersamakan dengan pengertian pornografi dalam KUH
Pidana hanyalah disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau
kejahatan terhadap kesopanan. Namun jika dilihat dari bentuk-bentuk
kejahatan yang diatur dalam KUH Pidana tersebut, maka kesemuanya termasuk dalam
kategori pornografi. Walaupun demikian berdasar pada pengertian tentang apa
yang dimaksud dengan kesopanan atau kesusilaan menunjukkan dalam KUH
Pidana tidak terdapat adanya legalisasi yang mengatur masalah pornografi.
Konsep
pornografi menurut Undang–Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan
dalam Pasal 13 huruf a bahwa perusahaan pers dilarang memuat iklan yang
berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu kerukunan hidup
antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Disini format yang digunakan sebagai batasan adalah rasa kesusilaan masyarakat
tanpa merinci apa yang dimaksud dan cakupan rasa kesusilaan meliputi hal apa
saja. Dengan demikian sama halnya dengan KUH Pidana, Undang-Undang Pers
juga tidak cukup menjelaskan apa yang dimaksud dengan pornografi tersebut.
Dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak juga
menyebutkan secara eksplisit kata pornografi, namun secara tersirat
undang-undang ini–sebagaimana dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf (b)-
menunjuk adanya bentuk-bentuk eksploitasi seksual atas anak yang mengarah
pada pornografi. Dengan demikian dari beberapa ketentuan perundang-undangan
tersebut di atas, konsep pornografi masih dirumuskan secara sangat umum dan
tidak detail sehingga cenderung mengundang berbagai interpretasi (multi
interpretasi) dengan demikian menjadi tidak mampu secara maksimal menjerat
bentuk-bentuk tindak pidana pornografi yang terjadi .
C. Pornografi
Ataukah Seni ?
Seni
adalah sebuah ekspresi kebebasan. Kebebasan adalah milik semua orang,
sesuatu yang sangat berharga yang dapat dimiliki oleh setiap insan
manusia. Kebebasan adalah sesuatu yang tanpa batas yang tidak tersentuh oleh
apa yang disebut belenggu apapun bentuk dan namanya. Hal mengenai kebebasan
inilah juga yang seolah menjadi nafas bagi sebuah bentuk berkesenian. Namun
persoalan kebebasan berekspresi dalam dunia seni adalah polemik dan wacana yang
terus berkembang dari masa ke masa, benarkah bebas dalam berkesenian secara
absolute menisbikan segala sesuatunya menjadikan bebas tanpa batas dan
digunakan sebagai dasar pembenar bagi logika-logika mereka yang mengklaim
diri sebagai pekerja seni ? Pada sebagian pihak berkembang pendapat yang
menyatakan bahwa memasung ekspresi dalam dunia seni adalah bentuk pembunuhan
terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri dan itu berarti pembunuhan karakter
seseorang.
Pandangan
demikian sepenuhnya tidak benar, kebebasan berekspresi dalam berkesenian akan
menemui batasannya bilamana mulai menyentuh antara lain wilayah seksualitas
atau pornografi. Dengan demikian kebebasan berekspresi dalam dunia seni
tidaklah sebebas sebagaimana makna dari kata bebas itu sendiri. Kebebasan akan
selalu berimplikasi pada masalah sosial, nilai dan moral. Dimana kebebasan itu
akan berhadapan dengan nilai-nilai kehidupan sosial manusia lain. Oleh
karenanya membatasi kebebasan berkesenian bukanlah berarti menghalangi hak
untuk berekspresi secara umum, namun lebih pada upaya agar tidak
berbenturan dengan nilai sosial dan konsep moralitas yang dianut orang
lain.
Pada
tahun 1908 seorang arkeolog Josef Szombathy menemukan patung kecil perempuan
tanpa busana di dalam Lumpur di suatu daerah di luar kota Willendorf, Austria
yang kemudian dikenal dengan Venus dari Willendorf yang mengekspos secara
detail kelamin dengan penggambaran payudara dan pantat yang besar. Saat itu
aura seksualitas yang diumbar dari patung ini melahirkan konflik yang sengit di
antara kalangan arkeolog. Silang pendapat mengenai penggambaran patung Venus
tersebut dianggap apakah sebagai kesenian yang pornografik ataukah merupakan
patung lambang kesuburan dari sifat keperempuanan ? Pada akhirnya mereka
yang merasa terganggu oleh erotisme yang ditimbulkan oleh patung itu melarang
pemuatan gambar patung tersebut dalam buku-buku kesenian untuk hampir selama 60
tahun sejak patung tersebut ditemukan.
Hal
serupa juga terjadi pada lukisan yang diberi judul “Ketika Ciuman” karya Auguste
Rodin yang pada saat dipamerkan di Paris, Perancis pada tahun 1898 oleh seorang
pengritik dikatakan sebagai sebuah karya besar. Namun lukisan ini pada
dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika yang pada saat itu
memiliki adat yang ketat mengenai masalah seksualitas. Akhirnya karya Auguste
Rodi tersebut disingkirnkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia
dan bagi yang ingin melihatnya harus memperoleh ijin khusus ( Burhan
Bungin,2003:166).
Dari
dua contoh di atas menggambarkan bahwa unsur kepatutan dan kesantunan juga
berlaku di kalangan pekerja seni. Para pekerja seni dengan mengatasnamakan seni
tidak bisa mendapatkan perlakuan instimewa yang menyebabkan mereka berhak
mengekspresikan apapun tanpa batasan. Sebuah karya seni memang layak untuk
dinikmati oleh semua orang, namun tetap pada batasan “seni” yang tidak
melanggar kelaziman dari pengertian seni itu sendiri. Seorang
pelukis/fotografer berhak/bebas membuat lukisan/gambar pria/wanita tanpa
busana, namun peruntukkan hasil lukisannya mempunyai bersifat terbatas. Jika
menjadi koleksi pribadi dan disimpan di tempat yang bersifat pribadi tentu sah
adanya. Akan lain masalahnya jika dipertontonkan pada khalayak umum, karena
saat itu juga standar nilai dan moral masyarakat harus menjadi bahan
pertimbangan yang harus juga dihormati.
D. Pornografi
dan Kebebasan Asasi
Ada
sebagian orang yang berpendapat bahwa berbagai bentuk kegiatan yang
berkait dengan pornografi dianggap menyangkut masalah hak yang dimiliki
oleh tiap orang. Termasuk dalam hal ini kebebasan pers, artinya pelarangan
terhadap pornografi justru dianggap bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Pemahaman kemerdekaan atau kebebasan yang dilindungi pada dasarnya
adalah kebebasan untuk berbeda pendapat, berdebat, berargumen, mengkritik atau
menyajikan fakta yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian
kemerdekaaan tersebut tidaklah bersifat absolute untuk memuat dan menyebarkan
berbagai bentuk informasi apapun.
Demikian
juga dalam hal pornografi, jika yang dipakai sebagai parameter adalah hak asasi
manusia, penulis berpendapat tidak ada sebuah negara pun di dunia yang
benar-benar membebaskan setiap warganya dalam bertindak sebagai bentuk
implementasi dari pelaksanaan hak asasi manusia ini. Tidak ada negara di dunia
yang benar-benar membiarkan pornografi secara bebas beredar di masyarakat,
bahkan di negara yang menganut faham seks liberal sekalipun.
Di
negara Eropa dan Amerika, misalnya banyak ditemukan majalah, gambar, acara
televisi atau situs-situs di internet yang menyajikan perempuan/pria tanpa
busana. Hal ini di negara tersebut memang diijinkan tapi pada saat yang sama
mereka juga memberlakukan sejumlah pembatasan dalam hal peredarannya; bahkan
negara-negara tersebut mengeluarkan regulasi yang melarang dengan ketat
kegiatan pornografi dengan corak tertentu yang disebut dengan child/kid
pornografi. Barang siapa yang diketahui mengedarkan, menjual atau bahkan
menyimpan pornografi dalam kategori tersebut diancam dengan hukuman berat. Semua
ini berkaitan dengan aspek kepantasan serta bertujuan untuk melindungi
pihak-pihak yang mungkin akan memperoleh dampak negatif dari kegiatan tersebut
dalam hal ini remaja dan anak-anak.
Disamping
itu mereka juga menentukan spesifikasi pornografi yang dianggap melanggar hukum
dan pornografi yang diijinkan tapi penyebarannya diatur sedemikian rupa hingga
tidak menyentuh wilayah publik. Secara hukum, di negara-negara tersebut telah
berlaku aturan-aturan yang tujuannya membatasi peredaran pornografi antara
lain: (1) stasiun televisi yang siarannya ditujukan pada khalayak umum dilarang
menyiarkan adegan seks yang hanya boleh disaksikan orang dewasa, (2)
media yang menampilkan sajian-sajian pornografi tidak dijual bebas (antara lain
dengan batasan usia tertentu, lokasi/tempat penjualan), (3) situs internet
harus menjaga agar tidak mudah diakses oleh anak/remaja (dengan menuliskan
nomor ID Card atau sejenisnya). Dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika
Serikat tahun 1973, materi seks melalui media dianggap masuk dalam kategori
terlarang apabila: (1) dianggap sebagai materi yang menjijikkan dan tidak
senonoh sebagaimana diukur oleh standar komunitas setempat, (2) menggambarkan
perilaku seksual yang secara terang-terangan bertentangan dengan standar komunitas,
(3) tidak memiliki nilai artistik, politik dan saintifik (Ade Armando,2004:10).
Khusus mengenai hal mengandung nilai artistik ini juga masih diperdebatkan
tentang batasan artistik itu sendiri. Namun setidaknya ini menunjukkan bahwa
pornografi adalah sesuatu yang dibolehkan tetapi sekaligus juga dijaga
untuk tetap berada dalam koridor nilai sosial dan konsep moralitas yang
berlaku di masyarakat.
Seperti
halnya masalah pornografi -dilihat dari sisi proses dan prosedur sebagaimana
dirumuskan dalam konsep berpikir negara Eropa-Amerika di atas, maka hak untuk
menikmati atau tidak, menerima atau tidak pornografi -sebagai hasil olah proses
dan prosedur- secara umum juga merupakan pilihan bebas tiap orang, sehingga
muncul pandangan mengapa tidak dibebaskan saja tiap orang untuk menentukan
tanpa harus ada batasan untuk berbuat atau tidak berbuat ?
Dalam
hal manusia berbicara, bekerjasama, mencipta, membangun dan bekerja untuk
berproduksi serta mengakumulasi pertukaran nilai semua didasari oleh fenomena
rasio yang dominan. Namun di sisi lain pengalaman manusia juga diperoleh
dari sisi estetik dimana secara alamiah tumbuh kenikmatan-kenikmatan tertentu
yang dirasakan manusia. Kenikamatan tersebut mengakar pada desire, adanya
rangsangan yang mengakibatkan sebuah kesadaran akan sesuatu hal atau orang
lain. Stimulan atas desire tersebut antara lain diperoleh dari pengkayaan
imajinasi manusia melalui perantaraan media. Akumulasi dari penggabungan antara
desire dan stimulan yang dimunculkan akan menimbulkan dorongan untuk
bertindak/berbuat. Dalam hal ini manusia tidak bisa diharapkan akan selalu
bertindak dengan cara rasional. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan pun
tentu bukanlah sesuatu yang seperti selalu diharapkan dan hampir pasti
menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan. Oleh karena pornografi dianggap
sebagai sesuatu yang mungkin akan memunculkan dampak buruk dari stimulasi yang
ditimbulkan, maka perlu adanya batasan dan aturan main. Jadi sangat mungkin
jika seseorang - atau banyak orang - memahami bahwa pornografi bukanlah sesuatu
yang sehat bagi masyarakat dan dirinya, maka sikap kritis akan perlunya
regulasi mengenai pornografi ini bukan lagi dipandang sebagai bentuk pengekangan
kebebasan pribadi.
E. Pornografi,
Eksploitasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Keindahan
perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah kisah klasik yang
tidak akan pernah habis. Dua hal ini jugalah yang menjadi inspirasi bagi banyak
kaum pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi symbol
dalam seni yang bersifat komersial, maka kekaguman tersebut akan berubah
menjadi suatu diskriminasi, bersifat sangat tendensius sekaligus menjadi
subordinasi dari symbol kekuatan laki-laki. Ketika karya-karya seni sampai pada
tahap sebagai kebutuhan dan menjadi bagian dari orientasi bisnis, maka posisi
perempuan menjadi sangat potensial untuk dikomersialkan dan dieksploitasi
karena perempuan dianggap sebagai sumber inspirasi sekaligus ditempatkan
sebagai sumber keuntungan yang tidak ada habisnya.
Keindahan
perempuan menempatkan perempuan dalam stereotip keperempuanannya dan membawa
mereka ke dalam sifat-sifat dasar di sekitar batasan apa yang dimaksud dengan
keindahan itu sendiri. Perempuan kerapkali dicitrakan harus berpenampilan
menawan dan menjadi pusat perhatian kaum lelaki melalui penampilan fisiknya
dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis: cantik, berbadan
langsing, berkulit putih, berambut panjang, berkaki jenjang yang kesemuanya itu
berangkat sesuai bingkai berpikir dan selera pria.
Pornografi
pada dasarnya memberi ruang yang luas terhadap penonjolan seksualitas dan unsur
erotisme. Dan pada kenyataannya yang lebih banyak menjadi objek eksploitasi
dari kegiatan ini adalah perempuan. Tidak memungkiri kenyataan bahwa ada juga
pria yang dijadikan objek pornografi, tapi dari presentasi dan lingkup
pemasarannya tidaklah seluas dibandingkan perempuan, sehingga dapat dikatakan
bahwa pornografi adalah bentuk media yang memang diciptakan dan diperuntukkan
bagi kaum pria - walau tidak bisa dikatakan juga bahwa pornografi tidak menarik
perhatian perempuan. Yang membedakan di sini adalah bahwa tingkat ketertarikan
perempuan terhadap pornografi tetaplah tidak sebesar ketertarikan kaum pria.
Dan ketika perempuan kerapkali dan secara intens ditampilkan sebagai objek
seks, maka opini pria akan menganggap bahwa perempuan pada dasarnya adalah kaum
yang fungsi dan perannya semata hanya sebagai pemuas nafsu pria sehingga
mereka merasa sah dan wajar untuk terus memperalat perempuan dan
menjadikannya bagian dari imajinasi kaum pria. Cara pandang yang demikian pada
gilirannya akan mendorong kaum pria memperlakukan perempuan sebagai kaum yang
derajatnya lebih rendah dan ini akan menyebabkan banyaknya praktek pelecehan
seksual yang dilakukan dengan rasa tidak bersalah dan tanpa
beban.
Eksploitasi
dalam pornografi tidaklah dilihat dalam suatu pemahaman sempit mengenai
bagaimana proses keikutsertaan atau keterlibatan perempuan di dalamnya. Pada
banyak kasus para perempuan yang terlibat dalan pornografi kemungkinan besar
berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri –dan tidak dipaksa- yang di
latarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi, ingin terkenal, jalan
pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang dimaksud eksploitasi disini
adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh pornografi itu sendiri, artinya
melalui pornografi kaum perempuan secara konsisten dan berkelanjutan
ditampilkan dalam posisi yang rendah. Perempuan dianggap sebagai mahkluk yang
hanya bermodalkan daya tarik seksual semata. Kaum perempuan yang tampil dalam
media pornografi secara tidak langsung telah mempertegas eksploitasi terhadap
kaumnya sendiri dan memperkokoh cara pandang bahwa pada dasarnya perempuan
hanyalah sebatas obyek seks semata. Akibat yang ditimbulkan dari cara pandang
yang demikian adalah makin subur dan langgengnya berbagai bentuk pelecehan,
penindasan dan eksploitasi perempuan baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Dengan kata lain media pornografi dianggap memberi justifikasi terhadap perendahan
martabat perempuan.
Satu
hal yang secara nyata mempertegas argumen ini adalah maraknya pemberitaaan
dengan menggunakan tubuh perempuan di media massa merepresentasikan telah
berkembangnya suatu political economi of the body, yakni perempuan
dijadikan komoditi atau alat untuk kepentingan ekonomi yang didasarkan pada
konstruksi sosial dan ideology tertentu. Dimana hal ini berarti bahwa
penggunaan tubuh perempuan di media sebagai salah satu ajang pornografi
merupakan suatu hal yang dipolitisir untuk tujuan ekonomi dengan aturan yang
telah diatur sedemikian rupa berdasarkan kepentingan pasar (economic
interest), misal iklan, kalender, video klip, majalah, tabloid dsb.
Kebudayaan patriarkis yang melembaga dalam masyarakat kita ikut mengambil peran
munculnya eksploitasi terhadap perempuan di berbagai media dikarenakan anggapan
masyarakat bahwa pria berhak memenuhi kebutuhannya dan menganggap
perempuanlah solusinya, tentu ini sangat merugikan kaum perempuan.
Argumentasi
bahwa pornografi merupakan bentuk eksploitasi perempuan antara lain karena
secara sosial-ekonomi, pornomedia/pornografi dianggap mempunyai sifat mendua.
Satu sisi, dalam banyak kasus pornografi perempuan sebagai objek
pornografi/pornomedia dan/atau penciptanya memperoleh bayaran yang cukup besar
atas pemuatan gambar/foto/film porno miliknya yang dimuat di media massa. Di
sini pornografi/pornomedia dianggap sebagai kegiatan yang menghasilkan sejumlah
uang dan menjadi sumber penghasilan bagi individu-individu tersebut. Di sisi lain,
keberadaan pornografi/pornomedia diyakini ada karena diinginkan oleh masyarakat
sendiri, artinya masyarakat mengambil bagian yang besar terhadap munculnya
pornografi/pornomedia ini. Keadaan demikian turut menyebabkan longgarnya
kontrol sosial masyarakat terhadap pornografi atau pornomedia disamping
pemerintah sendiri tidak dapat berbuat banyak karena minimnya peraturan. Dengan
demikian fungsi kontrol yang seharusnya ada pada masyarakat dan pemerintah
menjadi sesuatu yang absurd. Oleh karenanya sifat ambivalen inilah
disinyalir makin memperkuat bentuk eksploitasi perempuan di media.
Pornografi
merupakan salah satu bentuk eksploitasi seks dan karenanya mempunyai korelasi
dengan kekerasan terhadap perempuan karena pornografi berdampak pada kekerasan
domestik dan trafficking, pornografi sendiri merupakan bentuk kekerasan
terhadap perempuan, pornografi menempat perempuan sebagai korban, namun pada
saat yang bersamaan pornografi memposisikan perempuan sebagai pelaku
(kriminalisasi) walau sebenarnya perempuan adalah sebagai korban
(reviktimisasi).
Lebih
jauh lagi –secara khusus- pornografi juga dianggap sebagai salah bentuk bentuk
kekerasan terhadap perempuan di media massa karena: (a) media dengan sengaja
menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka, dengan demikian
penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk mengabaikan, menistakan
dan mencampakkan harkat manusia, khususnya perempuan, (b) objek pornomedia
(umumnya tubuh perempuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkan
uang, sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang disalahkan, (c)
media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap
nilai-nilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggungjawab terhadap efek
negatif yang terjadi di masyarakat, (d) selama ini berbagai pendapat yang
menyudutkan perempuan sebagai subyek yang bertanggungjawab atas pornomedia
tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari
media harus berimbang, (e) media massa secara politik menempatkan perempuan
sebagai bagian dari kekuasaan mereka secara umum (Burhan Bungin, 2003:234).
F. Ketentuan
Mengenai Pornografi
Sebagaimana
telah disinggung di awal tulisan ini dalam beberapa undang-undang tidak
ditemukan rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan pornografi atau bentuk
porno yang lain secara spesifik, secara umum pasal-paal dalam beberapa
undang-undang hanya menyebut soal kesusilaan sehingga hal ini
mengakibatkan sulitnya menentukan suatu kegiatan/aktifitas tertentu tergolong
pornografi/bentuk porno yang lain atau tidak. Argumentasi yang sama kemudian
sering dipakai untuk menghindar dari jeratan hukum dengan
mendalilkan/menyamakan bentuk kreatifitas tersebut sebagai sebuah seni/art. Hal
inilah yang mempersulit pemberantasan berbagai bentuk porno di masyarakat.
Sebenarnya
dalam beberapa undang-undang terdapat pasal-pasal yang bisa menjerat “
pornografi ”, antara lain KUH Pidana. Dari KUH Pidana ini pasal yang digunakan
adalah pasal mengenai kesusilaan, antara lain Pasal 282 KUH Pidana :
“barangsiapa
yang menyiarkan….gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar
kesusilaan atau barang siapa…… membikin tulisan, gambaran atau benda
tersebut…atau memiliki persediaan….atau mengedarkan…. menawarkan… atau
menunjukkannya sebagai bisa diperoleh….diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun enam bulan…”
Selain
itu Pasal 533 KUH Pidana: “ diancam dengan pidana kurungan paling lama dua
bulan….barang siapadengan terang-terangan mempertunjukkan….gambar atau benda
yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja….”
Apa
yang dituangkan dalam pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas yang
dimaksud termasuk pada pornografi terkait dengan kegiatan membuat, menyimpan,
menyiarkan dan mengedarkan.
Ancaman terhadap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pornografi ditemukan
juga dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang
dinyatakan: “Pers Nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”. Kemudian
pelarangan yang berkaitan dengan pemuatan pornografi di media, di atur dalam
Pasal 13 huruf (a) undang-undang ini: “perusahaan pers dilarang memuat iklan
yang… bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
Selain Undang-Undang No. 40 Tahun 1999,
ketentuan yang secara khusus terkait pornografi dengan media audio visual
diatur dalam Undang-Undang Perfilman serta Undang-Undang Penyiaran. Dalam Pasal
33 Undang-Undang Perfilman dinyatakan: “setiap film dan reklame film yang akan
diedarkan atau dipertunjukkan di Indonesia wajib sensor terlebih dahulu”.
Pelanggaran atas pasal ini diancam hukuman pidana kurungan 5 (lima) tahun dan
atau paling banyak di denda lima puluh juta rupiah sebagaimana diatur dalam
Pasal 40 undang-undang ini. Dalam hal ini lembaga yang diserahi wewenang
melakukan sensor adalah Lembaga Sensor Film (LSF) dengan berdasar pada
Peraturan Pemerintah yang berlaku. Selain itu dalam Undang-Undang Penyiaran
Pasal 36 ayat (5) menyatakan : ” bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang
menonjolkan unsur cabul “, sedangkan dalam Pasal 36 ayat (6) dinyatakan
melarang memuat hal yang merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan
nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia”. Pelanggaran atas
ketentuan Pasal 36 tersebut di atas dihukum pidana penjara maksimal 5 (lima)
tahun atau denda maksimal satu milyard rupiah untuk radio dan pidana maksimal 5
(lima) tahun dan/atau denda maksimal sepuluh milyard untuk televisi.
Ketentuan
yang diatur dalam beberapa undang-undang di atas hanya mengatur
pelarangan kegiatan yang disinyalir memuat unsur pornografi, namun tidak sampai
menyentuh mengenai objek dari pornografi itu sendiri –dalam hal ini perempuan,
belum jelasnya batasan tentang pornografi dan jenis porno yang lain serta aspek
pornografi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan pada hal di
atas dan juga melihat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang
diakibatkan pornografi serta merujuk pada Pasal 1 jo Pasal 2, Pasal 5 huruf (a)
dan Pasal 6 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW, maka
disusunlah RUU tentang Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi.
Pengertian
pornografi dalam konsep RUU ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) yang
memberikan batasan sebagai : “suatu substansi dalam media atau alat komunikasi
yang dibuat untuk menyampaikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi
seks, kecabulan dan/atau erotika”. Banyak kritikan yang dialamatkan pada RUU
ini oleh sejumlah lembaga juga aktivis perempuan berkenaan dengan ketentuan
yang termuat dalam RUU ini. Beberapa yang dikritisi dari RUU ini antara lain
mengenai definisi yang tidak jelas yang mengaburkan batasan antara pornografi
dengan kecabulan dan erotika; batasan yang belum jelas mengenai media
serta kerancuan tentang aspek publikasi dalam batasan pornografi; kriminalisasi
terhadap korban; tidak masuknya unsur kekerasan terhadap perempuan dalam
konteks pornografi; spesifikasi tentang apa yang dimaksud dengan barang
pornografi; penentuan yang dimaksud subjek hukum kegiatan pornografi; batasan
yang berkait dengan karya seni yang bersifat pornografik dan masih kaburnya
batasan tentang pornoaksi.
Pembahasan
atas RUU ini masih berlangsung, debat mengenai substansi dari RUU ini masih
terus berlanjut dan kita juga belum dapat memastikan kapan akan menemukan titik
temu untuk merumuskan konsep undang-undang yang benar-benar merepresentasikan
banyak hal. Namun kita boleh berharap bahwa apa yang akan dihasilkan nanti akan
sungguh menentramkan banyak kegundahan dan memberikan keseimbangan bagi banyak
kepentingan. Kesadaran bahwa penghormatan terhadap perempuan tidak hanya
terbatas pada kekaguman akan keindahan, kecantikan dan kelembutan akan
memberikan ruang yang lebih bagi perempuan untuk merepresentasikan diri secara
lebih manusiawi.
G. Penutup
Pemikiran
yang menginginkan pengaturan atas pornografi/pornomedia hendaknya tidak
hanya bersifat situasional dan hanya sebatas formalitas semata, namun harus
dibahas secara serius dan terarah. Jelas tujuan dan mampu melindungi
perempuan, dapat mereduksi unsur perendahan martabat perempuan serta
menghilangkan kesan mensubordinasi perempuan melalui proses
stereotipikasi peran seks dan pengkondisian gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar