Sabtu, 24 September 2011

PEREMPUAN DAN PORNOGRAFI SEBUAH SENI ATAUKAH EKSPLOITASI


PEREMPUAN DAN PORNOGRAFI
SEBUAH SENI ATAUKAH EKSPLOITASI

Pornografi dan perempuan, dua unsur ini bak dua sisi mata uang yang menimbulkan banyak persepsi mengenai relasi antar keduanya. Satu sisi melihat pornografi sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan dan dianggap mengeksploitir perempuan untuk kepentingan bisnis dan kesenangan dalam bingkai berpikir laki-laki yang berangkat dari konsep patriarkhi, sementara yang lain melihat pornografi sebagai salah satu bentuk ekspresi dari cita rasa seni. Polemik mengenai  hal ini kembali muncul untuk mendapatkan justifikasi  apakah pornografi itu adalah seni ataukah bentuk eksploitasi perempuan ? Pengumbaran atas tubuh perempuan secara sengaja melalui media massa dianggap melecehkan harkat dan merendahkan martabat perempuan serta menempatkan perempuan sebagai objek seks semata dimana semua ini akan memperkuat pemahaman orang yang sangat keliru serta merugikan mengenai eksistensi diri perempuan.  

A. Pendahuluan 
      Topik mengenai masalah seksualitas, erotika dan pornografi belakangan ini kembali menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak kalangan. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru namun karena sifatnya yang timbul tenggelam,  maka tema perbincangan ini seolah tidak pernah berakhir. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan lokus dimana  unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video klip artis yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa/siswa SMU, pameran foto-foto nudis  beberapa artis  sampai aksi panggung  artis dangdut  yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas penyanyinya.
      Debat mengenai hal ini mungkin tidak akan berkembang menjadi suatu polemik yang berkepanjangan, jika saja persoalan-persoalan seputar seksualitas ini dikemas dalam suatu frame yang memuat pengaturan mengenai media yang digunakan, cara peredaran serta pasar yang akan dituju. Artinya tidak menjadi tontonan yang bersifat massal  tanpa peduli mengenai dampak yang mungkin ditimbulkannya.
      Satu hal yang juga menjadi salah satu aspek perdebatan mengenai hal ini adalah bahwa secara umum- walaupun tidak semua- objek dari kegiatan yang mengandung unsur erotika dan sejenisnya ini adalah perempuan. Ketika berbicara mengenai perempuan, maka pandangan umum kerap mengidentikkan perempuan dengan 3 (tiga) unsur yang dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah taste yang merepresentasikan perempuan  sebagai makhluk yang cantik, lembut dan indah.
      Pencitraan perempuan yang demikian bisa mengandung makna  penghormatan pada satu sisi, namun disisi lain juga sekaligus merupakan penegasan dari sosok perempuan itu sendiri yang hanya diterima sebatas pada kategori ketiga kata tersebut.      

B. Pengertian Pornografi
      Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa tampilan gambar,aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).
      Namun jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu “porne”  yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi  sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan pelacur (Ade Armando,2003:1).
      Batasan pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi. Sedangkan menurut Tong, pornografi  merupakan propaganda patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan laki-laki.  Andrea Drowkin berpandangan pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual. 
      Dari batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian pornografi telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau gambar,  seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi, radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian pula  yang menjadi objek tidak lagi hanya pelacur -dalam pengertian orang/manusia- atau kejalangan tetapi secara perlahan pornografi mencakup semua materi yang melalui berbagai media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah berfungsi bak seperti pelacur. Dengan demikian maka pornografi sampai pada batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang dapat dan atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks.
      Disini unsur media menjadi suatu patokan utama berkait dengan batasan pornografi tersebut. Media yang dimaksud dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga ) kelompok besar yaitu :
1. Media audio (dengar). Yang termasuk dalam kategori ini diantaranya siaran
      radio, kaset, CD, telepon, ragam media audio lain yang dapat diakses di internet:
      (a) lagu-lagu yang mengandung lirik mesum, lagu-lagu yang mengandung   
                  bunyi-bunyian atau suara-suara yang dapat diasosiasikan dengan kegiatan
            seksual;
      (b)  program radio dimana penyiar atau pendengar berbicara dengan gaya
       mesum;
      (c)  jasa layanan pembicaraan tentang seks melalui telepon (party line) dan
       sebagainya.
2.  Media audio-visual (pandang-dengar) seperti program televisi, film layar lebar,
      video, laser disc, VCD, DVD, game komputer, atau ragam media audio visual
      lain yang dapat diakses di internet :
      (a)  film-film yang mengandung adegan seks atau menampilkan artis yang
             tampil dengan pakaian minim atau tidak (seolah-olah) tidak berpakaian.
      (b)  adegan pertunjukkan musik dimana penyanyi, musisi atau penari latar
          hadir dengan tampilan dan gerak yang membangkitkan syahwat
       penonton.
3. Media visual (pandang) seperti koran, majalah, tabloid, buku (karya sastra, novel
 popular, buku non-fiksi) komik, iklan billboard, lukisan, foto atau bahkan media
 permainan seperti kartu:
      (a) berita, cerita atau artikel yang menggambarkan aktivitas seks secara
            terperinci atau yang memang dibuat dengan cara yang demikian rupa
        untuk merangsang hasrat seksual pembaca.
      (b)  gambar, foto adegan seks atau artis yang tampil dengan gaya yang
        dapat membangkitkan daya tarik seksual
      (c)   fiksi atau komik yang mengisahkan atau menggambarkan adegan seks
        dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membangkitkan hasrat
  seksual.
      Oleh karenanya jika pornografi diberi batasan sebagai sesuatu yang mengandung unsur seksualitas, erotika atau sejenisnya yang ditampilkan melalui media, maka segala sesuatu perilaku atau tampilan yang dianggap dapat membangkitkan hasrat seksual namun tidak  tampil dalam media baik audio maupun visual tertentu, tidak dapat disebut sebagai pornografi.
      Secara garis besar dalam wacana porno atau tindakan pencabulan kontemporer, ada beberapa bentuk porno, yaitu : (Burhan Bungin,2003:154)
1. pornografi, adalah gambar-gambar porno yang dapat diperoleh dalam bentuk foto
      atau gambar video;
2. pornoteks, adalah karya pencabulan yang mengangkat cerita berbagai versi
 hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi
 secara detail dan vulgar sehingga pembaca merasa menyaksikan atau mengalami
 sendiri.
3. pornosuara, adalah suara, tuturan dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang
 yang langsung atau tidak langsung baik secara halus maupun vulgar berkait
 dengan objek  atau aktivitas seksual tertentu.
4. pornoaksi, adalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh
 yang tidak disengaja atau sengaja untuk memancing hasrat seksual laki-laki.
Dalam konteks media massa, pornografi, pornoteks, pornosuara dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai karakter media yang menyiarkan porno tersebut. Bahkan varian dari berbagai porno tersebut  dapat menjadi satu dalam jaringan internet yang disebut sebagai cybersex. Keseluruhan  berbagai varian porno di atas tercakup dalam satu kategori  yang dikenal sebagai pornomedia.
      Dalam konteks hukum konsep mengenai pornografi dapat juga ditemukan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Dalam KUH Pidana, misalnya walaupun di sana tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai apa definisi pornografi tersebut. Batasan atau hal yang dapat dipersamakan dengan pengertian pornografi dalam KUH Pidana  hanyalah disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan. Namun jika dilihat  dari bentuk-bentuk kejahatan yang diatur dalam KUH Pidana tersebut, maka kesemuanya termasuk dalam kategori pornografi. Walaupun demikian berdasar pada pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kesopanan atau kesusilaan  menunjukkan dalam KUH Pidana tidak  terdapat adanya legalisasi yang mengatur masalah pornografi.
      Konsep pornografi menurut Undang–Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan dalam Pasal 13 huruf a bahwa perusahaan pers dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Disini format yang digunakan sebagai batasan adalah rasa kesusilaan masyarakat tanpa merinci apa yang dimaksud dan cakupan rasa kesusilaan meliputi hal apa saja. Dengan demikian  sama halnya dengan KUH Pidana, Undang-Undang Pers juga tidak cukup menjelaskan apa yang dimaksud dengan pornografi tersebut.
      Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak juga menyebutkan secara eksplisit kata pornografi, namun secara tersirat undang-undang ini–sebagaimana dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf (b)- menunjuk adanya bentuk-bentuk  eksploitasi seksual atas anak yang mengarah pada pornografi. Dengan demikian dari beberapa ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, konsep pornografi masih dirumuskan secara sangat umum dan tidak detail sehingga cenderung mengundang berbagai interpretasi (multi interpretasi) dengan demikian menjadi tidak mampu secara maksimal menjerat bentuk-bentuk tindak pidana pornografi yang terjadi .   

C. Pornografi Ataukah Seni ?
      Seni adalah sebuah ekspresi kebebasan. Kebebasan adalah milik semua orang,  sesuatu  yang sangat berharga yang dapat dimiliki oleh setiap insan manusia. Kebebasan adalah sesuatu yang tanpa batas yang tidak tersentuh oleh apa yang disebut belenggu apapun bentuk dan namanya. Hal mengenai kebebasan inilah juga yang seolah menjadi nafas bagi sebuah bentuk berkesenian. Namun persoalan kebebasan berekspresi dalam dunia seni adalah polemik dan wacana yang terus berkembang dari masa ke masa, benarkah bebas dalam berkesenian secara absolute menisbikan segala sesuatunya menjadikan bebas tanpa batas dan digunakan sebagai  dasar pembenar bagi logika-logika mereka yang mengklaim diri sebagai pekerja seni ? Pada sebagian pihak berkembang pendapat yang menyatakan bahwa memasung ekspresi dalam dunia seni adalah bentuk pembunuhan terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri dan itu berarti pembunuhan karakter seseorang.
      Pandangan demikian sepenuhnya tidak benar, kebebasan berekspresi dalam berkesenian akan menemui batasannya bilamana mulai menyentuh antara lain wilayah seksualitas atau pornografi. Dengan demikian kebebasan berekspresi dalam dunia seni tidaklah sebebas sebagaimana makna dari kata bebas itu sendiri. Kebebasan akan selalu berimplikasi pada masalah sosial, nilai dan moral. Dimana kebebasan itu akan berhadapan dengan nilai-nilai kehidupan sosial manusia lain. Oleh karenanya membatasi kebebasan berkesenian bukanlah berarti menghalangi hak untuk berekspresi secara umum, namun  lebih pada upaya agar tidak berbenturan dengan nilai sosial dan konsep moralitas  yang dianut orang lain.   
      Pada tahun 1908 seorang arkeolog Josef Szombathy menemukan patung kecil perempuan tanpa busana di dalam Lumpur di suatu daerah di luar kota Willendorf, Austria yang kemudian dikenal dengan Venus dari Willendorf yang mengekspos secara detail kelamin dengan penggambaran payudara dan pantat yang besar. Saat itu aura seksualitas yang diumbar dari patung ini melahirkan konflik yang sengit di antara kalangan arkeolog. Silang pendapat mengenai penggambaran patung Venus tersebut dianggap apakah sebagai kesenian yang pornografik ataukah merupakan patung  lambang kesuburan dari sifat keperempuanan ? Pada akhirnya mereka yang merasa terganggu oleh erotisme yang ditimbulkan oleh patung itu melarang pemuatan gambar patung tersebut dalam buku-buku kesenian untuk hampir selama 60 tahun sejak patung tersebut ditemukan. 
      Hal serupa juga terjadi pada lukisan yang diberi judul “Ketika Ciuman” karya Auguste Rodin yang pada saat dipamerkan di Paris, Perancis pada tahun 1898 oleh seorang pengritik dikatakan sebagai sebuah karya besar. Namun lukisan ini pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika  yang pada saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah seksualitas. Akhirnya karya Auguste Rodi tersebut disingkirnkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi yang ingin melihatnya harus memperoleh ijin khusus ( Burhan Bungin,2003:166).  
      Dari dua contoh di atas menggambarkan bahwa unsur kepatutan dan kesantunan juga berlaku di kalangan pekerja seni. Para pekerja seni dengan mengatasnamakan seni tidak bisa mendapatkan perlakuan instimewa yang menyebabkan mereka berhak mengekspresikan apapun tanpa batasan. Sebuah karya seni memang layak untuk dinikmati oleh semua orang, namun tetap pada batasan “seni” yang tidak melanggar  kelaziman  dari pengertian seni itu sendiri. Seorang pelukis/fotografer berhak/bebas membuat lukisan/gambar pria/wanita tanpa busana, namun peruntukkan hasil lukisannya mempunyai bersifat terbatas. Jika menjadi koleksi pribadi dan disimpan di tempat yang bersifat pribadi tentu sah adanya. Akan lain masalahnya jika dipertontonkan pada khalayak umum, karena saat itu juga standar nilai dan moral masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan yang harus juga dihormati. 

D. Pornografi dan Kebebasan Asasi
      Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa berbagai bentuk kegiatan yang berkait  dengan pornografi dianggap menyangkut masalah hak yang dimiliki oleh tiap orang. Termasuk dalam hal ini kebebasan pers, artinya pelarangan terhadap pornografi justru dianggap bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pemahaman kemerdekaan atau kebebasan yang dilindungi pada dasarnya adalah kebebasan untuk berbeda pendapat, berdebat, berargumen, mengkritik atau menyajikan fakta yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian kemerdekaaan tersebut tidaklah bersifat absolute untuk memuat dan menyebarkan berbagai bentuk informasi  apapun.
      Demikian juga dalam hal pornografi, jika yang dipakai sebagai parameter adalah hak asasi manusia, penulis berpendapat tidak ada sebuah negara pun di dunia yang benar-benar membebaskan setiap warganya dalam bertindak sebagai bentuk implementasi dari pelaksanaan hak asasi manusia ini. Tidak ada negara di dunia yang benar-benar membiarkan pornografi secara bebas beredar di masyarakat, bahkan di negara yang menganut faham seks liberal sekalipun.
      Di negara Eropa dan Amerika, misalnya banyak ditemukan majalah, gambar, acara televisi atau situs-situs di internet yang menyajikan perempuan/pria tanpa busana. Hal ini di negara tersebut memang diijinkan tapi pada saat yang sama mereka juga memberlakukan sejumlah pembatasan dalam hal peredarannya; bahkan negara-negara tersebut mengeluarkan regulasi yang melarang dengan ketat kegiatan pornografi dengan corak tertentu yang disebut dengan child/kid pornografi. Barang siapa yang diketahui mengedarkan, menjual atau bahkan menyimpan pornografi dalam kategori tersebut diancam dengan hukuman berat. Semua ini berkaitan dengan aspek kepantasan serta bertujuan untuk melindungi pihak-pihak yang mungkin akan memperoleh dampak negatif dari kegiatan tersebut dalam hal ini remaja dan anak-anak.
      Disamping itu mereka juga menentukan spesifikasi pornografi yang dianggap melanggar hukum dan pornografi yang diijinkan tapi penyebarannya diatur sedemikian rupa hingga tidak menyentuh wilayah publik. Secara hukum, di negara-negara tersebut telah berlaku aturan-aturan yang tujuannya membatasi peredaran pornografi antara lain: (1) stasiun televisi yang siarannya ditujukan pada khalayak umum dilarang menyiarkan adegan seks  yang hanya boleh disaksikan orang dewasa, (2) media yang menampilkan sajian-sajian pornografi tidak dijual bebas (antara lain dengan batasan usia tertentu, lokasi/tempat penjualan), (3) situs internet harus menjaga agar tidak mudah diakses oleh anak/remaja (dengan menuliskan nomor ID Card atau sejenisnya).  Dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1973, materi seks melalui media dianggap masuk dalam kategori terlarang apabila: (1) dianggap sebagai materi yang menjijikkan dan tidak senonoh sebagaimana diukur oleh standar komunitas setempat, (2) menggambarkan perilaku seksual yang secara terang-terangan bertentangan dengan standar komunitas, (3) tidak memiliki nilai artistik, politik dan saintifik (Ade Armando,2004:10). Khusus mengenai hal mengandung nilai artistik ini juga masih diperdebatkan tentang batasan artistik itu sendiri. Namun setidaknya ini menunjukkan bahwa pornografi adalah sesuatu yang dibolehkan  tetapi sekaligus juga dijaga untuk tetap berada dalam koridor  nilai sosial dan konsep moralitas yang berlaku di masyarakat.
      Seperti halnya masalah pornografi -dilihat dari sisi proses dan prosedur sebagaimana dirumuskan dalam konsep berpikir negara Eropa-Amerika di atas, maka hak untuk menikmati atau tidak, menerima atau tidak pornografi -sebagai hasil olah proses dan prosedur- secara umum juga merupakan pilihan bebas tiap orang, sehingga muncul pandangan mengapa tidak dibebaskan saja tiap orang untuk menentukan tanpa harus ada batasan untuk berbuat atau tidak berbuat ?
      Dalam hal manusia berbicara, bekerjasama, mencipta, membangun dan bekerja untuk berproduksi serta mengakumulasi pertukaran nilai semua didasari oleh fenomena rasio yang dominan. Namun di sisi  lain pengalaman manusia juga diperoleh dari sisi estetik dimana secara alamiah tumbuh kenikmatan-kenikmatan tertentu yang dirasakan manusia. Kenikamatan tersebut mengakar pada desire, adanya rangsangan yang mengakibatkan sebuah kesadaran akan sesuatu hal atau orang lain. Stimulan atas desire tersebut antara lain diperoleh dari pengkayaan imajinasi manusia melalui perantaraan media. Akumulasi dari penggabungan antara desire dan stimulan yang dimunculkan akan menimbulkan dorongan untuk bertindak/berbuat. Dalam hal ini manusia tidak bisa diharapkan akan selalu bertindak dengan cara rasional. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan pun tentu bukanlah sesuatu yang seperti selalu diharapkan dan hampir pasti menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan. Oleh karena pornografi dianggap sebagai sesuatu yang mungkin akan memunculkan dampak buruk dari stimulasi yang ditimbulkan, maka perlu adanya batasan dan aturan main. Jadi sangat mungkin jika seseorang - atau banyak orang - memahami bahwa pornografi bukanlah sesuatu yang sehat bagi masyarakat dan dirinya, maka sikap kritis akan perlunya regulasi mengenai pornografi ini bukan lagi dipandang sebagai bentuk pengekangan kebebasan pribadi.      

E. Pornografi, Eksploitasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan
      Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah kisah klasik yang tidak akan pernah habis. Dua hal ini jugalah yang menjadi inspirasi bagi banyak kaum pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi symbol dalam seni yang bersifat komersial, maka kekaguman tersebut akan berubah menjadi suatu diskriminasi, bersifat sangat tendensius  sekaligus menjadi subordinasi dari symbol kekuatan laki-laki. Ketika karya-karya seni sampai pada tahap sebagai kebutuhan dan menjadi bagian dari orientasi bisnis, maka posisi perempuan menjadi sangat potensial untuk dikomersialkan dan dieksploitasi karena perempuan dianggap sebagai sumber inspirasi sekaligus ditempatkan sebagai sumber keuntungan yang tidak ada habisnya. 
      Keindahan perempuan menempatkan perempuan dalam stereotip keperempuanannya dan membawa mereka ke dalam sifat-sifat dasar di sekitar batasan apa yang dimaksud dengan keindahan itu sendiri. Perempuan kerapkali dicitrakan  harus berpenampilan menawan dan menjadi pusat perhatian kaum lelaki melalui penampilan fisiknya dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis: cantik, berbadan langsing, berkulit putih, berambut panjang, berkaki jenjang yang kesemuanya itu berangkat sesuai bingkai berpikir dan selera pria. 
      Pornografi pada dasarnya memberi ruang yang luas terhadap penonjolan seksualitas dan unsur erotisme. Dan pada kenyataannya yang lebih banyak menjadi objek eksploitasi dari kegiatan ini adalah perempuan. Tidak memungkiri kenyataan bahwa ada juga pria yang dijadikan objek pornografi, tapi dari presentasi dan lingkup pemasarannya tidaklah seluas dibandingkan perempuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pornografi adalah bentuk media yang memang diciptakan dan diperuntukkan bagi kaum pria - walau tidak bisa dikatakan juga bahwa pornografi tidak menarik perhatian perempuan. Yang membedakan di sini adalah bahwa tingkat ketertarikan perempuan terhadap pornografi tetaplah tidak sebesar ketertarikan kaum pria. Dan ketika perempuan kerapkali dan secara intens ditampilkan sebagai objek seks, maka opini pria akan menganggap bahwa perempuan pada dasarnya adalah kaum yang fungsi dan perannya  semata hanya sebagai pemuas nafsu pria sehingga mereka merasa sah dan wajar untuk terus memperalat perempuan  dan menjadikannya bagian dari imajinasi kaum pria. Cara pandang yang demikian pada gilirannya akan mendorong kaum pria memperlakukan perempuan sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah dan ini akan menyebabkan banyaknya praktek pelecehan seksual yang dilakukan dengan rasa tidak bersalah dan tanpa beban.   
      Eksploitasi dalam pornografi tidaklah dilihat dalam suatu pemahaman sempit mengenai bagaimana proses keikutsertaan atau keterlibatan perempuan di dalamnya. Pada banyak kasus para perempuan yang terlibat dalan pornografi kemungkinan besar berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri –dan tidak dipaksa- yang di latarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi, ingin terkenal, jalan pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang dimaksud eksploitasi disini adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh pornografi itu sendiri, artinya melalui pornografi kaum perempuan secara konsisten dan berkelanjutan ditampilkan dalam posisi yang rendah. Perempuan dianggap sebagai mahkluk yang hanya bermodalkan daya tarik seksual semata. Kaum perempuan yang tampil dalam media pornografi secara tidak langsung telah mempertegas eksploitasi terhadap kaumnya sendiri dan memperkokoh cara pandang bahwa pada dasarnya perempuan hanyalah sebatas obyek seks semata. Akibat yang ditimbulkan dari cara pandang yang demikian adalah makin subur dan langgengnya berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan eksploitasi perempuan baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Dengan kata lain media pornografi dianggap memberi justifikasi terhadap perendahan martabat perempuan.
      Satu hal yang secara nyata mempertegas argumen ini adalah maraknya pemberitaaan dengan menggunakan tubuh perempuan di media massa merepresentasikan telah berkembangnya suatu political economi of the body, yakni perempuan dijadikan komoditi atau alat untuk kepentingan ekonomi yang didasarkan pada konstruksi sosial dan ideology tertentu. Dimana hal ini berarti bahwa penggunaan tubuh perempuan di media sebagai salah satu ajang pornografi merupakan suatu hal yang dipolitisir untuk tujuan ekonomi dengan aturan yang telah diatur sedemikian rupa berdasarkan kepentingan pasar (economic interest), misal iklan, kalender, video klip, majalah, tabloid dsb. Kebudayaan patriarkis yang melembaga dalam masyarakat kita ikut mengambil peran munculnya eksploitasi terhadap perempuan di berbagai media dikarenakan anggapan masyarakat bahwa pria berhak memenuhi kebutuhannya  dan menganggap perempuanlah solusinya, tentu ini sangat merugikan kaum perempuan.
      Argumentasi bahwa pornografi merupakan bentuk eksploitasi perempuan antara lain karena secara sosial-ekonomi, pornomedia/pornografi dianggap mempunyai sifat mendua. Satu sisi, dalam banyak kasus pornografi perempuan sebagai objek pornografi/pornomedia dan/atau penciptanya memperoleh bayaran yang cukup besar atas pemuatan gambar/foto/film porno miliknya yang dimuat di media massa. Di sini pornografi/pornomedia dianggap sebagai kegiatan yang menghasilkan sejumlah uang dan menjadi sumber penghasilan bagi individu-individu tersebut. Di sisi lain, keberadaan pornografi/pornomedia diyakini ada karena diinginkan oleh masyarakat sendiri, artinya masyarakat mengambil bagian yang besar terhadap munculnya pornografi/pornomedia ini. Keadaan demikian turut menyebabkan longgarnya kontrol sosial masyarakat terhadap pornografi atau pornomedia disamping pemerintah sendiri tidak dapat berbuat banyak karena minimnya peraturan. Dengan demikian fungsi kontrol yang seharusnya ada pada masyarakat dan pemerintah menjadi sesuatu yang absurd. Oleh karenanya sifat ambivalen  inilah  disinyalir makin memperkuat bentuk eksploitasi perempuan di media. 
      Pornografi merupakan salah satu bentuk eksploitasi seks dan karenanya mempunyai korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan karena pornografi berdampak pada kekerasan domestik dan trafficking, pornografi sendiri merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menempat perempuan sebagai korban, namun pada saat yang bersamaan pornografi memposisikan perempuan sebagai pelaku (kriminalisasi) walau sebenarnya perempuan adalah sebagai korban (reviktimisasi).
      Lebih jauh lagi –secara khusus- pornografi juga dianggap sebagai salah bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena: (a) media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk mengabaikan, menistakan dan mencampakkan harkat manusia, khususnya perempuan, (b) objek pornomedia (umumnya tubuh perempuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkan uang, sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang disalahkan, (c) media  massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilai-nilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggungjawab terhadap efek negatif yang terjadi di masyarakat, (d) selama ini berbagai pendapat yang menyudutkan perempuan sebagai subyek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang, (e) media massa secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan mereka secara umum (Burhan Bungin, 2003:234).  

F. Ketentuan Mengenai Pornografi
      Sebagaimana telah disinggung  di awal tulisan ini dalam beberapa undang-undang tidak ditemukan rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan pornografi atau bentuk porno yang lain secara spesifik, secara umum pasal-paal dalam beberapa undang-undang hanya menyebut soal kesusilaan sehingga  hal ini mengakibatkan sulitnya menentukan suatu kegiatan/aktifitas tertentu tergolong pornografi/bentuk porno yang lain atau tidak. Argumentasi yang sama kemudian sering dipakai untuk menghindar dari jeratan hukum dengan mendalilkan/menyamakan bentuk kreatifitas tersebut sebagai sebuah seni/art. Hal inilah yang mempersulit pemberantasan berbagai bentuk porno di masyarakat.
      Sebenarnya dalam beberapa undang-undang terdapat pasal-pasal yang bisa menjerat “ pornografi ”, antara lain KUH Pidana. Dari KUH Pidana ini pasal yang digunakan adalah pasal mengenai kesusilaan, antara lain Pasal 282 KUH Pidana :
“barangsiapa yang menyiarkan….gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan atau barang siapa…… membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut…atau memiliki persediaan….atau mengedarkan…. menawarkan… atau menunjukkannya  sebagai bisa diperoleh….diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan…”  
Selain itu Pasal 533 KUH Pidana: “ diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan….barang siapadengan terang-terangan mempertunjukkan….gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja….”  
Apa yang dituangkan dalam pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas yang dimaksud termasuk pada pornografi terkait dengan kegiatan membuat, menyimpan, menyiarkan dan mengedarkan.
       Ancaman terhadap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pornografi ditemukan juga dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang dinyatakan: “Pers Nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”. Kemudian pelarangan yang berkaitan dengan pemuatan pornografi di media, di atur dalam Pasal 13 huruf (a) undang-undang ini: “perusahaan pers dilarang memuat iklan yang… bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
Selain Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, ketentuan yang secara khusus terkait pornografi dengan media audio visual diatur dalam Undang-Undang Perfilman serta Undang-Undang Penyiaran. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Perfilman dinyatakan: “setiap film dan reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkan di Indonesia wajib sensor terlebih dahulu”. Pelanggaran atas pasal ini diancam hukuman pidana kurungan 5 (lima) tahun dan atau paling banyak di denda lima puluh juta rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 undang-undang ini. Dalam hal ini lembaga yang diserahi wewenang melakukan sensor adalah Lembaga Sensor Film (LSF) dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah yang berlaku. Selain itu dalam Undang-Undang Penyiaran Pasal 36 ayat (5) menyatakan : ” bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang menonjolkan unsur cabul “, sedangkan dalam Pasal 36 ayat (6) dinyatakan melarang memuat hal yang merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia”.   Pelanggaran atas ketentuan Pasal 36 tersebut di atas dihukum pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimal satu milyard rupiah untuk radio dan pidana maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal sepuluh milyard untuk televisi.
      Ketentuan yang diatur dalam beberapa undang-undang di atas hanya  mengatur pelarangan kegiatan yang disinyalir memuat unsur pornografi, namun tidak sampai menyentuh mengenai objek dari pornografi itu sendiri –dalam hal ini perempuan, belum jelasnya batasan tentang pornografi dan jenis porno yang lain serta aspek pornografi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan pada hal di atas dan juga melihat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang diakibatkan pornografi serta merujuk pada Pasal 1 jo Pasal 2, Pasal 5 huruf (a) dan Pasal 6 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW, maka disusunlah RUU tentang Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi.    
      Pengertian pornografi dalam konsep RUU ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) yang memberikan batasan sebagai : “suatu substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan dan/atau erotika”. Banyak kritikan yang dialamatkan pada RUU ini oleh sejumlah lembaga juga aktivis perempuan berkenaan dengan ketentuan yang termuat dalam RUU ini. Beberapa yang dikritisi dari RUU ini antara lain mengenai definisi yang tidak jelas yang mengaburkan batasan antara pornografi dengan kecabulan dan erotika;  batasan yang belum jelas mengenai media serta kerancuan tentang aspek publikasi dalam batasan pornografi; kriminalisasi terhadap korban; tidak masuknya unsur kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pornografi; spesifikasi tentang apa yang dimaksud dengan barang pornografi; penentuan yang dimaksud subjek hukum kegiatan pornografi; batasan yang berkait dengan karya seni yang bersifat pornografik dan masih kaburnya batasan tentang pornoaksi.
      Pembahasan atas RUU ini masih berlangsung, debat mengenai substansi dari RUU ini masih terus berlanjut dan kita juga belum dapat memastikan kapan akan menemukan titik temu untuk merumuskan konsep undang-undang yang benar-benar merepresentasikan banyak hal. Namun kita boleh berharap bahwa apa yang akan dihasilkan nanti akan sungguh menentramkan banyak kegundahan dan memberikan keseimbangan bagi banyak kepentingan. Kesadaran bahwa penghormatan terhadap perempuan tidak hanya terbatas pada kekaguman akan keindahan, kecantikan dan kelembutan akan memberikan ruang yang lebih bagi perempuan untuk merepresentasikan diri secara lebih manusiawi. 

G. Penutup
      Pemikiran yang menginginkan pengaturan atas pornografi/pornomedia  hendaknya tidak hanya bersifat situasional dan hanya sebatas formalitas semata, namun harus dibahas secara serius dan terarah. Jelas tujuan  dan mampu melindungi perempuan, dapat mereduksi unsur perendahan martabat perempuan serta menghilangkan kesan mensubordinasi perempuan  melalui proses stereotipikasi peran seks dan pengkondisian gender.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar