KRIMINALISASI PENCUCIAN
UANG
DAN STRATEGI
PEMBERANTASANNYA
I.
PENDAHULUAN
Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime)
yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di
laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian
senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan
tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every
ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan
berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain
di darat.
Namun istilah money
laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika
Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci
otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat
proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan,
pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang
yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana
penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan
penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan
uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan
mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging.
Uang hasil
bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat
mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian
diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis
legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan
melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian
uang yang dilakukannya.
Perbuatan pencucian uang pada umumnya
diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan
seperti hasil korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan, dan
kejahatan serius lainnya, sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak
seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal usulnya sudah disamarkan atau
disembunyikan. Pada prinsipnya kejahatan pencucian uang adalah suatu perbuatan
yang dilakukan untuk menyamarkan atau menyembunyikan hasil kejahatan sehingga
tidak tercium oleh para aparat, dan hasil kejahatan tersebut dapat digunakan
dengan aman yang seakan-akan bersumber dari jenis kegiatan yang sah.
Perbuatan
pencucian uang tersebut adalah sangat membahayakan baik dalam tataran nasional
maupun internasional, “mengapa demikian?” jawabnya adalah karena pencucian uang
merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatannya
dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, nominal uang yang dicuci biasanya
luar biasa jumlahnya, sehingga dapat mempengaruhi neraca keuangan nasional
bahkan global, dan kejahatan ini menurut R.
Bosworth Davies, dapat menekan perekonomian dan menimbulkan bisnis yang
tidak fair, terutama kalau dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir.
Pelaku kejahatan
ini menurut David A Chaikin, motifasinya hanya ingin menikmati akses yang ada
untuk mendapatkan keuntungan dan mengubah uang mereka menjadi sah. Perbuatan
seperti ini semakin meningkat manakala para pelaku menggunakan cara-cara yang
lebih canggih (sophisticated crimes)
dengan memanfaatkan sarana perbankan ataupun non perbankan yang juga
menggunakan teknologi tinggi yang memunculkan fenomena cyber laundering. Berdasarkan hal tersebut di atas, Indonesia pada
tahun 2002 telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang yaitu dengan
diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(UUTPPU).
Bermula dari
payung hukum inilah perhatian terhadap praktik pencucian uang di Indopnesia
nampak meningkat, meskipun sebelumnya sempat terjadi polemik mengenai perlu
tidaknya segera melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan pencucian uang.
II. KRONOLOGIS SEJARAH
KEJAHATAN PENCUCIAN UANG DAN ALASAN PEMBERANTASANNYA
Dilihat dari
konsep perbuatannya, sebenarnya pencucian uang sudah lama ada. Paling tidak hal
itu sebagaimana dilakukan oleh para Bangsawan Perancis. Pada abad XVII membawa
harta kekayaan ke Swiss, pihak Perancis menyatakan mereka membawa dana pelarian
dan para Bangsawan termasuk para pedagang kemudian menyembunyikannya di Swiss
dengan dibantu pihak Swiss dan selanjutnya dapat digunakan dengan aman.
Demikian juga harta yang dibawa oleh Bangsa Yahudi dari Jerman ke Swiss pada
masa Hitler.
Kemudian pada
sekitar Tahun 1930-an Al Capone dan Gang Mafia lainnya melakukan perbuatan
menyembunyikan hasil kejahatanya (perjudian, prostitusi, pemerasan, dan
penjualan gelap minuman keras). Untuk mengelabuhi pemerintah, para mafia
mendirikan perusahaan binatu (landromat),
untuk mencampur hasil kejahatan mereka sehingga tidak dicurigai terlibat kejahatan.
Oleh karena belum ada ketentuan anti pencucian uang maka pada waktu itu mereka
hanya terjerat dengan ketentuan pengelakan pajak (taxevasion).
Sebenarnya
disinilah merupakan awal inspirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money
laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara Internasional dan
Konvensi PBB Tahun 1988. Dilihat dari sisi prosesnya pencucian uang dapat
dilakukan dengan cara tradisional dan modern. Ini membuktikan bahwa pencucian
uang sudah terjadi sejak lama. Cara modern pada umumnya dilakukan dengan
tahapan placement, layering, dan integration. Sedangkan cara tradisional yang terkenal dilakukan di
China. India dan Pakistan, melalui suatu jariangan atau sindikat etnik yang
sangat rahasia. Di China dilakukan dengan memanfaatkan semacam bank rahasia
atau disebut hui (hoi) atau The Chinese Chip (Chop), di India
dilakukan melalui sistem pengiriman uang tradisional yang disebut hawala, dan
di Pakistan disebut hundi. Cara-cara tersebut telah dilakukan sejak lama dan
diyakini sampai sekarang masih berlangsung.
Dari uraian
di atas timbul pertanyaan “mengapa uang hasil kejahatan harus dicuci sebelum
digunakan?” Motivasi untuk mencuci uang hasil kejahatan paling tidak karena ada
beberapa kekhawatiran para pelaku akan berhadapan dengan petugas pajak, atau
akan dituntut oleh penegak hukum atau bahkan juga hasil kejahatan itu akan
disita. Maka dengan melakukan pencucian uang pelaku kejahatan akan aman dalam
menikmati hasil kejahatannya dan juga mempermudah menghilangkan hubungan pelaku
dengan hasil kejahatan tersebut dan ini sangat membahayakan baik secara
nasional maupun global.
Menghadapi
kejahatan keuangan yang awalnya hanya dari hasil narkotika komunitas
internasional melahirkan United Nations
Conventions Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psichotropic Subtances (Vienna Drug Convention 1988).
Konvensinya ini sebenarnya merupakan puncak dari upaya pemberantasan peredaran
gelap narkotika dan sejenisnya yang pada dasarnya berawal dari kegagalan
internasional dalam meberantas kejahatan narkotika. Upaya penanganan masalah
narkotika tersebut sudah dimulai sejak disahkannya International Opium
Convention of 1912, yang diikuti dengan 13 instrumen internasional lainnya dan
berpuncak pada konvensi 1988 merupakan titik kulminasi untuk pemberantasan
pencucian uang dari kejahatan berkaitan dengan narkotika dan psikotropika.
Melalui
konvensi ini upaya internasional terhadap masalah narkotika dan zat-zat
psikotropika tidak lagi diarahkan semata-mata pada kejahatannya tetapi lebih
pada hasil kejahatan berkaitan dengan obat-obat bius tersebut. Konvensi inilah
yang pertama memberikan keharusan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang
bagi negara-negara yang telah meratifikasinya. Pada perkembangannya pencucian
uang tidak saja untuk pemberantasan hasil kejahatan dari narkotika tetapi juga
dari sejumlah kejahatan lain seperti kejahatan terorganisasi, korupsi,
terorisme, perjudian dan lain-lain yang menghasilkan jumlah uang yang besar.
Dengan
demikian, ditegaskan bahwa anti pencucian uang selain bertujuan memberantas
kejahatan pencucian uang itu sendiri, juga untuk memberantas
kejahatan-kejahatan lain yang menghasilkan harta kekayaan. Selain itu Drug Convention juga melahirkan International Anti money Laundering Legal
Regime. Regim ini pada intinya dibentuk untuk memerangi drug trafficking
dan mendorong agar negara-negara dimanapun di dunia ini segera melakukan
kriminalisasi pencucian uang.
Selian itu
regim ini juga berupaya untuk memantau dan mengatur aktivitas dan hubungan
internasional tertentu, menetapkan norma-norma, peraturan dan prosedur yang
disepakati dalam rangka mengatur ketentuan anti pencucian uang. Selain itu
regim ini juga menjembatani dan mengurangi disparitas di antara perbedaan
sistem hukum yang ada pada negara-negara di dunia ini, selanjutnya menentukan
arah kebijakan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang dengan standart
tertentu yang tetap memberikan tempat untuk kedaulatan hukum masing-masing
negara. Kemudian muncul juga grup-grup antar negara seperti Financial Action
Task Force 1989 (FATF).
Dengan
semangat dan atas inisiatif PBB dalam menanggulangi kejahatan pencucian uang,
maka FATF mengadopsi pendekatan multi – disipliner terhadap masalah pencucian
uang dan sekaligus merekomendasikan kebijakan kekuasaan pembuatan hukum, lembaga
keuangan dan penegakan hukum. Selain tersebut di atas lahir pula berbagai badan
seperti Caribbean Finacial Action Task Force 1990, Convention On Laundering,
Search, Seizure an Confiscation of The Proceed From Crime (Council of Europe),
1990, Council Directive Of The Use of Ther Financial System for The Purpose of
Money Laundering(91/308/EEC), June 1991, Organization of Americas State (OAS)
1992, Interpol, Summit of the Americas (1995) serta Asia Pacific Group dan
Egmond Group.
III.
PENANGGULANGAN KEJAHATAN
PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Kejahatan
pencucian uang adalah bersifat internasional, maka diperlukan suatu standart
pengaturan dan persepsi yang sama dan bersifat internasional pula untuk
ditempatkan pada suatu sentral pengaturan. Dengan demikian, dalam melakukan
kriminalisasi ditentukan terlebih dahulu bentuk model Law on Money Laundering mana yang akan dianut di Indonesia, yang
tentu saja disesuaikan dengan sistem hukum serta kondisi keseluruhan yang ada
pada Indonesia.
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, terdapat beberapa model, misalnya yang dibuat oleh
United Nation International Drug Control Programme (UNDCP) yang
ditujukan bagi negara-negara berdasarkan tradisi Civil Law System dan Model Laundering and Proceed of Crime Bill
yang diperuntukan bagi negara-negara berdasarkan Common Law System. Selain itu terdapat model lain yaitu model
Amerika Serikat yang diikuti oleh berbagai negara dan juga PBB. Karena model
Amerika tersebut menjangkau pengaturan yang bersifat nasional maupun
internasional.
Kemudian
dalam membuat ketentuan anti pencucian uang perlu ditentukan definisi, karena
hal ini akan menyangkut implikasi dan kadang menimbulkan delima. Implikasi
tersebut antara lain bahwa dari divinisi menunjukkan rumusan delik, palaku,
serta unsur obyektif dan subyektifnya Dengan awal pengaturan anti pencucian
uang di Indonesia yang banyak kelemahan, maka dalam amandemen pertama definisi
yang sebelumnya tidak dicantumkan, maka dicantumkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 yang isinya sebagai berikut : “Pencucian uang adalah
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau manyamarkan asal usul
harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”.
Dari definisi
tersebut di atas, tampak ciri dari kejahatan ini, yaitu bahwa kejahatan ini
bukan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Pencucian uang merupakan
kejahatan yang bersifat follow up crime
atau kejahatan lanjutan atas hasil kejahatan utama (core crime). Penentuan core crime dalam pencucian uang pada umumnya
disebut sebagai predicate offence
atau unlawful actifity atau predicate offense, yaitu menentukan
jenis kejahatan apa saja yang hasilnya dilakukan proses pencucian uang.
Selain itu
dalam kejahatan pencucian uang terdapat dua kelompok pelaku yaitu kelompok yang
berkaitan langsung dengan core crime
yang disebut principle violater dan
kelompok kedua yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan core crime misalnya penyedia jasa
keuangan, baik lembaga perbankan maupun non perbankan, akuntan atau bahkan para
lawyer. Kelompok kedua ini disebut
sebagai aiders atau abettors.
Dari difinisi tersebut
dikembangkan menjadi dua kreteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3
dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Tang (Pasal 8 dan 9),
yang masing-masing Pasal tersebut adalah :
Pasal
3 :
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja :
a.
Menempatkan
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana ke dalam penyediaan jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama
pihak lain;
b.
Mentransfer
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain
baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.
c.
Membayarkan
atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan
hasil tindak pidana, baik perbuatan atas namanya maupun atas nama pihak lain;
d.
Menghibahkan
atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan
hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain;
e.
Menitipkan
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;
f.
Membawa
keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan
hasil tindak pidana, atau
g.
Menukarkan
atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya,
dengan maksud untuk meyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5
tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 Juta dan paling
banyak 15 Milyar. Unsur obyektif (actus
reus) dari pasal 3 tersebut sangat luas dan karena merupakan inti delik
maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan,
mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Sedangkan
unsur subyektifnya (mens rea) yang
juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut diduga bahwa
harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan harta tersebut.
Pasal
6 :
(2)
Setiap
orang yang menerima atau menguasai :
a.
Penempatan;
b.
Pentransferan;
c.
Pembayaran;
d.
Hibah;
e.
Sumbangan;
f.
Penitipan;
g.
Penukaran
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dipidana dengan penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan
denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur
obyektif Pasal 6 tersebut adalah menerima atau menguasai: penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut diduga bahwa
harta kekayaan yang didapat merupakan hasil tindak pidana.
Kemudian
dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan
pencucian uang, yaitu : Pasal 8 yang isinya sebagai berikut : Penyedia jasa
keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling sedikit Rp. 250 Juta dan paling bannyak Rp. 1 milyar.
Adapun Pasal
13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 tersebut adalah sebagai berikut : Penyedia
jasa keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud
dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut :
a.
Transaksi
keuangan mencurigakan;
b.
Transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500
juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu
kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.
Unsur
obyektif atau actus reus dalam Pasal 8 tersebut adalah tidak menyampaikan
laporan kepada PPATK, transaksi keuangan mencurigakan, transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500 juta atau lebih
atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali transaksi
maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja. Sedangkan unsur
subyektifnya adalah sengaja.
Pasal 9 :
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah 100 juta
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya serta yang dibawa ke dalam atau
keluar wilayah NKRI dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 Juta dan
paling banyak Rp. 300 juta. Dalam Pasal 9 ini unsur obyektifnya (actus reus-nya) adalah tidak melaporkan
uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau uang asing yang
nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah NKRI.
Hal ini perlu
dipahami bahwa uang itu tidak harus berasal dari kejahatan, yang penting adalah
kewajiban melaporkan ke Bea Cukai, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1).
Perumusan Pasal 8 dan Pasal 9 yang menunjuk rumusan perbuatan Pasal 13 dan
tujuan pelaporan ke lembaga yang diatur dalam Pasal 16 terlalu jauh, sehingga
menyulitkan dalam penerapan. Subyek hukum Pasal 3, 6 dan Pasal 9 adalah orang
perseorangan dan/atau koorporasi, sedangkan subyek hukum Pasal 8 adalah
penyedia jasa keuangan.
Dalam upaya
pemberantasan tindak pidana pencucian uang terdapat suatu inovasi yang menarik
yang merupakan langkah progresif yaitu dibentuk badan investigasi yang bersifat
independen maupun tidak independen yang disebut sebagai Financial Intellegence Unit (FIU). Beberapa negara mengatur FIU
berada di bawah kepolisian antara lain : Austria, Jerman, Hongaria, Lithuania,
New Zealand, Portugal, Singapura, Swedia, dan lain-lain. Untuk Indonesia badan
ini disebut dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
yang tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan
kecurigaan terindikasi pencucian uang.
Selanjutnya
informasi tersebut dianalisis, kemudian hasil analisis ini dikirim kepada
kepolisian untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut, dan kemudian dikembangkan
lebih lanjut ke tahap penyidikan. Nampaknya pengertian inteligen hanya bagian
dari fungsi inteligen polisi atau dalam fungsi inteligen justisia (law inforcment-oriented intelligence)
seperti yang melekat pada polisi dan jaksa.
Dilihat dari
sudut pandang teori dan filosofi pembentukan FIU adalah sebagai jalan tengah
atas keberadaan badan investigasi pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) terutama
bank. Karena pada awalnya pelaku banyak menggunakan jasa bank untuk mencuci
uangnya, maka diperlukan badan khusus untuk investigasi sebelum masuk
penyidikan. Apabila badan ini diserahkan pada pihak bank dikhawatirkan akan ada
upaya terlalu melindungi nasabah dan kepentingan bank itu sendiri. Namun
jikalau investigasi langsung diserahkan kepada kepolisian dikhawatirkan
berdampak buruk bagi bank. Hal ini antara lain kalau polisi kerap kali masuk
bank, maka kepercayaan masyarakat bisa terganggu.
Bank selalu
sangat berhati-hati menjaga rahasia nasabah dan kepercayaan nasabahnya merupakan
faktor yang sangat penting, sementara polisi berpandangan bahwa segala sesuatu
yang mencurigakan berkecenderungan untuk ditindajklanjuti dan dijadikan
tersangka sebagai suatu cermin sikap antusiasme profesionalitasnya. Terkait
dengan upaya pemberantasan pencucian uang Penyedia Jasa Keuangan (PJK)
diharuskan diterapkan Know Your Customer
(KYC) sebagai langkah prefentif dalam upaya pemberantasan pencucian uang dan
kewajiban lain.
IV.
PENEGAKAN HUKUM DAN
LINGKUP MASALAHNYA
Penegakan
hukum terhadap ketentuan UUTPPU di Indonesia sejauh ini masih relatif rendah,
walaupun Indonesia telah memiliki perangkat penegakan anti pencucian uang
selama ini. Namun implementasi ketentuan ini masih akan menghadapi beberapa
hambatan baik dari sisi peraturan, penegakan, maupun cara pandang masyarakat
terhadap tindak pidana pencucian uang.
Apabila kita
lihat dari sudut substansi masih terdapat celah, misalnya ketentuan tentang
larangan structuring (smurfing) dalam UUTPPU tidak diatur
secara tegas. Structuring atau semurfing adalah cara yang dipakai oleh
pelaku untuk memecah-mecah transaksi guna menghindari kewajiban pelaporan.
Seharusnya larangan structuring (split of
transaction) untuk meghindari kewajiban pelaporan atas transaksi sejumlah
Rp.500 Juta tidak dirumuskan dengan tegas dan juga seharusnya berada dalam
pasal tersendiri. Namun hal ini hanya tersirat dalam Pasal 13 (1) huruf (a).
Mencermati hal ini nampaknya kurang tepat dan kelihatannya menyalahi prinsip
hukum pidana yaitu : nullum crimen sine
lege stricta, sebab menurut hemat penulis rumusan hukum pidana harus tegas
dan terbatas. Sebab pengaturan sebagaimana Pasal 13 tersebut akan menyulitkan
dalam pembuktian dan menimbulkan permasalahan dalam persidangan.
Berkaitan
dengan masalah nominal jasa pengacara, sama sekali tidak diatur, ini artinya
bahwa pengacara yang menerima honor atas jasa pembelaan terhadap pelaku
pencucian uang, sebenarnya bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 6, dan ini
sesuai dengan ex turpi causa non oritur
action. Sebab kalau dibiarkan akan berdampak buruk, yaitu bisa menimbulkan
keengganan bagi pengacara untuk membela, sementara pembelaan bagi pelaku dengan
ancaman pidana di atas 5 tahun mutlak harus ada pembela. Apabila masalah ini
tidak segera diatur tidak mustahil dalam proses persidangan akan menimbulkan
kebingungan tersendiri. Hal ini dapat dilihat pengalaman dari beberapa negara
terhadap persoalan ini ditentukan oleh UU untuk meyisihkan sebagian dari hasil
kejahatan sepanjang jumlahnya sesuai dengan kewajaran.
Mengatur hal
ini tidak sama sekali dimaksudkan untuk memberikan toleransi untuk turut serta
menikmati hasil kejahatan tetapi lebih pada menjaga hak pembela atas prestasi
atau jasa yang telah diberikan dan untuk itu harus dilakukan pemikiran
penerapan penegakan hukum secara progresif.
Dijumpai pula
kelemahan lain pada UUTPPU, yakni mengenai pengaturan tentang pembalikan beban
pembuktian (the shifting of the burden of
proof) pada tahap pemeriksaan pengadilan. Ketentuan ini sebenarnya sangat
membantu jaksa dalam hal sulitnya membuktikan bahwa harta kekayaan berasal dari
kejahatan. Namun tidak satupun pasal yang mengatur bagaimana seandainya si
pelaku tidak dapat membuktikan bahwa hartanya tidak berasal dari kejahatan.
Berbagai kelemahan dalam UU ini telah diagendakan dalam amandemen yang kedua,
meski demikian, nampaknya belum juga memberikan pencerahan.
Penegakan
hukum terhadap tindak kejahatan pencucian uang juga sangat ditentukan oleh
kinerja PJK. Untuk itu, PJK harus benar-benar terlatih untuk menengahi adanya suspicious transaction yang pada
dasarnya sangat berkembang modusnya. Selain itu tentunya mereka harus juga
menyadari bahwa berbagai ketentuan dalam UU ini bisa menjerat mereka menjadi
pelaku apabila mereka tidak memahami keharusan yang diatur dalam UUTPPU,
terutama berkaitan dengan kewajiban pelaporan serta larangan-larangan yang ada
seperti anti tipping off yang intinya
bahwa mereka dilarang menyampaikan pada nasabah bahwa rekening nasabah sedang
dilakukan penyelidikan.
Bentuk
kejahatan yang relatif baru berkaitan dengan pencucian uang, paling tidak ada
dua masalah besar dalam pelaksanaan penegakan hukum anti pencucian uang, yaitu
kerahasiaan bank dan pembuktian. Sementara ada keharusan bagi mereka untuk
memberikan informasi kepada penegak hukum apabila diminta, tetapi sebaliknya
tidak boleh memberikan hasil pemeriksaan tersebut kepada nasabah.
Ketentuan ini
berarti pula bahwa kerahasiaan bank harus diperlonggar artinya bahwa
kerahasiaan dan peraturan kehati-hatian tidak melarang untuk pemenuhan
ketentuan peraturan ini. kendala yang mendasar terhadap peraturan anti
pencucian uang datang dari nasabah atau konsumen yang mempunyai right to privacy yang mendapat
perlindungan dari hukum tentang kerahasiaan bank. Hal ini karena adanya
kewajiban bank untuk merahasikan keuangan nasabah di satu sisi dan kepentingan
informasi tentang keuangan yang terlibat kriminal disisi lain (no crime can be solved without information).
Pernyataan tersebut sangat tepat bila dikaitkan dengan dilema tersebut di atas.
Masalah
informasi catatan keuangan seseorang (personal
Financial Information) dan penegakan hukum yang sudah sejak lama
diperdebatkan dan mengenai informasi keuangan seseorang digambarkan sebagai
permasalahan klasik antara hak individual seseorang (individual‘s right to privacy) dan kepentingan penegakan hukum
untuk mendapatkan akses pada bukti-bukti yang sangat penting (law enforcement‘s need for access to
potentially vital evidence). Lebih lanjut dijelaskan bahwa disatu sisi
perlindungan hak individu seseorang seharusnya sangat dilindungi, namun disisi lain
sebetulnya catatan tentang cek, penggunaan kartu kredit, kebiasaan belanja
merupakan gambaran tentang kegiatan atau dinamika keuangan seseorang merupakan
informasi yang sangat penting bagi penegakan hukum, hal ini tidak mengherankan
karena informasi keuangan seseorang merupakan urat nadi keberhasilan penegakan
hukum dalam melakukan investigasi.
Kendala
terbesar dalam penegakan hukum tentang tindak kejahatan pencucian uang adalah
mengenai persoalan pembuktian yang harus dilakukan Jaksa. Pada persoalan ini
terdapat dua hal prinsip dalam setiap penuntutan pencucian uang yang merupakan
tugas jaksa. Pertama, tentang
pemahaman unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang sangat rumit.
Permasalahan akan semakin meningkat manakala melibatkan penggunaan jasa wire system, hal ini nampaknya
dikarenakan tuntutan efisiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan
kebutuhan pasar terbuka.
Kedua, saat ini di hampir semua negara telah menerapkan wire transfer system secara internal
antar bank dan lembaga keuangan. Ini merupakan cara untuk memindahkan dana
illegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum, dimana
sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan
audit trail. Cara ini juga sering disebut sebagai Electronic Fund Transfer (EFT) atau Cyber Payment. Pada umumnya unsur yang harus dibuktikan dalam
ketentuan anti pencucian uang adalah meliputi unsur subyektif (mens rea) dan unsur obyektifnya (actus reus) mens rea yang harus
dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui
atau patut menduga) dan intended
(bermaksud).
Kedua hal
tersebut berkaitan dengan bahwa terdakwa mengetahui dana tersebut barasal dari
hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan
transaksi. Pembuktian inipun sulit, sebab apabila terdakwa telah sedemikian
rupa hebatnya untuk menyembunyikan hasil kejahatannya. Untuk itu, benar-benar
harus didukung dengan berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan
perilaku, inilah pentingnya penegakan hukum progresif. Sehubungan dengan beban
pembuktian jaksa yang berat tersebut juga harus dipahami oleh hakim untuk
mengembangkan circumtancial evidence
karena kalau tidak tentu akan sulit sekali. Terlebih lagi bahwa Indonesia belum
berpengalaman dalam pemutusan perkara pencucian uang, maka hakim harus memahami
semangat pemberantasan pencucian uang.
V.
PENUTUP
Latar
belakang kriminalisasi pencucian uang yang terjadi di Indonesia adalah karena
didorong oleh tekanan internasional. Sehingga meskipun ketentuan anti pencucian
uang telah dibuat dan bahkan telah diamandemen. Namun dalam praktiknya ternyata
dihadapkan oleh persoalan-persoalan teknis yang sangat sulit.
Sehubungan
dengan kesulitan tersebut di atas, maka untuk berhasilnya pemberantasan
pencucian uang, mau tidak mau segenap aparat penegak hukum, penyedia jasa
keuangan (PJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
Polisi, Jaksa dan Hakim harus memiliki mental yang tangguh dan didukunmg oleh
profesionalitas yang tinggi. Di samping tidak terjebak pada legalistik-positivistik, namun lebih
dari itu harus berprinsip pada paradigma penegakan hukum progresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar