Minggu, 25 September 2011

INTERNET INTRANET


INTERNET INTRANET

I.                   PENDAHULUAN
Perkembangan dunia internet pada saat ini telah mencapai suatu tahap yang begitu cepat, sehingga tidak mengherankan apabila di setiap sudut kota banyak ditemukan termpat-tempat internet yang menyajikan berbagai jasa pelayanan internet. Awalnya internet hanya digunakan secara terbatas di dan antar-laboratorium penelitian teknologi di beberapa institusi pendidikan dan lembaga penelitian saja, yang terlibat langsung dalam proyek DARPA (Defence Advanced Research Projects Agency).
Internet telah menyebar luas ke seluruh dunia, mulai dari  pemerintah, sekolah,perguruan tinggi,sektor ekonomi,bidang kesehatan dsb. Sehingga keberadaan internet pada masa  sekarang telah banyak memberikan  memanfaat yang signifikan karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengaksesnya. Pengaksesan informasi,tukar-menukar data,proses transaksi secara online semuanya hampir bisa dilakukan melalui internet.
Pada dasarnya semua kegiatan di dunia internet sangat bergantung kepada pengguna dan penyedia layanan internet itu sendiri. Di sisi penyedia layanan berusaha untuk memberikan sebuah servis untuk bagaimana bisa digunakan oleh para pengguna internet. Di sisi user atau pengguna mereka berusaha untuk memanfaatkan beberapa servis yang diberikan oleh penyedia untuk memudahkan pekerjaan mereka tentunya yang berhubungan dengan informasi,data maupun transaksi.
                                                                                                                                                            
II.                PEMBAHASAN
Indonesia telah memasuki sebuah tahapan baru dalam dunia informasi dan komunikasi dalam hal ini adalah internet. Indonesia merupakan salah satu  negara berkembang di dunia yang telah memulai babakan baru dalam tata cara pengaturan beberapa sistem komunikasi melalui media internet yakni seperti informasi,pertukaran data,transaksi online dsb. Hal itu di lakukan oleh Indonesia melalui pemerintah yang bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat sebuah draft atau aturan dalam bidang komunikasi yang tertuang dalam RUU ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik. Tepatnya pada tanggal 25 Maret telah disahkan menjadi UU oleh DPR. Dalam kenyataannya UU tersebut tinggal menunggu waktu untuk dapat diberlakukan. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi diantaranya dalam penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.  Hal tersebut adalah sebuah langkah maju yang di tempuh oleh pemerintah dalam penyelenggaraan layanan informasi secara online yang mencakup beberapa aspek kriteria dalam penyampaian informasi. Dalam makalah ini di uraikan isi dan maksud dari UU ITE dan selengkapnya adalah sebagai berikut:

1.                  Makna dibalik definisi Informasi Elektronik

Pasal 1 UU ITE mencantumkan diantaranya definisi Informasi Elektronik. Berikut kutipannya :”Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
v  Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna diantaranya  :
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
v  Informasi Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
v  Informasi Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.
Jadi, informasi elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan arti. Mengapa informasi elektronik tidak didefinisikan saja sebagai satu atau sekumpulan data elektronik? Mengapa perlu pula dinyatakan wujudnya dan memiliki arti? Informasi Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan bersifat tersembunyi. Informasi Elektronik dapat dikenali dan dibuktikan keberadaannya dari wujud dan arti dari Informasi Elektronik.
Sebagai contoh, si A mengaku kepada si B bahwa dia memiliki informasi elektronik tersimpan di harddisk. Bagaimana si B percaya bahwa si A memiliki informasi elektronik yang dimaksud? si A harus mampu menunjukkan keberadaan informasi elektronik itu. Caranya? Informasi Elektronik itu harus dapat diakses dan ditampilkan misalnya ke monitor komputer. Informasi Elektronik yang tampil di monitor komputer tentu memiliki wujud, misalkan berwujud tulisan. Dengan demikian, si B percaya dengan keberadaan informasi elektronik yang dimaksud oleh si A dengan melihat wujud dari informasi elektronik yang tampil di monitor komputer.Lalu, si B mencoba untuk mengenali informasi elektronik dengan mencoba memahami arti dari Informasi Elektronik yang dimaksudkan oleh si A? Untuk itu, si A harus menjelaskan arti dari informasi elektronik yang dimaksudkan kepada si B. Bagaimana jika si A tidak dapat menunjukkan informasi elektronik yang dimaksud dan tidak mampu menjelaskan artinya? si B tidak mempercayai informasi elektronik yang dimaksudkan oleh si A.

2.                  Informasi dan/atau Dokumen Elektronik bukan Bukti Tertulis

Pasal 5
  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
  3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
  4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Berdasarkan Pasal 5 UU ITE, bisa ditarik kesimpulan bahwa :
  1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang baru dan sah
  2. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bukan bukti tertulis seperti pasal 1866 KUHPerdata. Hal ini telah ditegaskan pada Pasal 5 ayat 4 bagian a.
  3. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai ketentuan UU ITE.
  4. Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik juga sah apabila berasal dari sistem elektronik sesuai ketentuan UU ITE.
Dari hal di atas perdebatan selama ini diantara beberapa pengamat hukum, praktisi hukum, akademisi bidang hukum tentang ”Apakah informasi elektronik dapat dikategorikan sebagai akta otentik atau tulisan di bawah tangan?” menjadi tidak tepat untuk diperdebatkan, karena akta otentik dan tulisan di bawah tangan merupakan bukti tertulis, sedangkan Informasi dan/atau dokumen elektronik bukan bukti tertulis. Pada berbagai diskusi lewat internet menunjukkan pendapat yang berbeda. Salah satu pendapat mengatakan bahwa hasil cetak yang dimaksudkan pasal 5 ayat 1 UU ITE merupakan bukti tertulis. Hasil cetak merupakan perwujudan/penampakan dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang tersimpan secara elektronik misalnya tersimpan di harddisk. Informasi yang tersimpan secara elektronik harus dapat dibuktikan keberadaannya dengan cara menampilkannya ke monitor komputer atau dicetak lewat printer tampil di kertas. Dengan demikian, informasi elektronik itu dapat dilihat dengan kasat mata dan diketahui keberadaannya. Jadi, hasil cetak merupakan bukti elektronik dalam wujud tertulis.

 

3.                  Keadaan memaksa dalam Pasal 15 ayat 3 UU ITE.

Pasal 15 ayat 3 terkait dengan Pasal 15 ayat 2. Berikut ini isi ayat2 dan ayat 3: ayat 2 :”Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya”
ayat 3 :”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat   dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik”
Dari Pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 menunjukkan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya kecuali terjadi keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Keadaan memaksa yang manakah dimaksud dalam Pasal 15 ayat 3? Keadaan memaksa yang dialami oleh pengguna Sistem Elektronik. Berikut ini satu cerita singkat untuk memperjelas keadaan memaksa yang dimaksud.
Si A sebagai pemilik kartu ATM dari Bank X. Suatu hari, si A ke Bank X untuk mengambil sejumlah uang tunai menggunakan kartu ATM yang dimilikinya. Saat berada di dalam bilik ATM, si A berada di bawah ancaman seseorang.
 Dalam keadaan memaksa, si A mentransfer sejumlah uang dari rekening yang dimilikinya ke rekening yang ditunjuk oleh si pengancam. Dari cerita ini, Bank X sebagai penyelenggara Sistem Elektronik tidak dapat dipersalahkan dan tidak bertanggungjawab atas transfer uang yang terjadi.

 

4.                  Kejahatan dengan Virus Komputer

Virus komputer dibuat oleh manusia dan disebarkan/diproduksi oleh mesin komputer. Bila aparat penegak hukum mampu untuk menangkap si pembuat virus dan membuktikan kejahatannya, maka pasal 32 ayat 1, pasal 33 dan pasal 36 (mengakibatkan kerugian) dapat digunakan untuk menjerat si pembuat virus. Tentunya, Hakim dalam memutuskan perkara perlu mempertimbangkan tingkat gangguan/akibat yang timbul dari jenis virus yang disebarkan. Virus dapat diklasifikasikan yaitu :
a.        Tidak berbahaya.
    Virus ini menyebabkan berkurangnya ruang disk untuk menyimpan data sebagai
    akibat dari perkembangbiakannya.
b.        Agak berbahaya.
Virus ini menyebabkan ruang disk penuh dan mengurangi fungsi lainnya seperti kecepatan proses.
c.         Berbahaya.
Virus ini dapat mengakibatkan kerusakan atau gangguan yang parah termasuk kerusakan data dan sistem elektronik yang diselenggarakan.
Meskipun seseorang bukan sebagai pembuat virus, tetapi dia dapat memanfaatkan virus komputer untuk merusak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain. Jika memang ada unsur kesengajaan untuk melakukan kejahatan seperti pada motif ini, maka terhadap si pelaku dapat dijerat dengan pasal 32 ayat 1, Pasal 33 dan pasal 36 UU ITE.
Pada kasus lain, seseorang misalnya si A tanpa sengaja/tidak mengetahui misalnya isi flash disk yang dimilikinya mengandung virus (sudah dicek dengan program antivirus), lalu memakai flash disk itu di komputer milik si B dan atas seizin si B lalu terjadi pengrusakan data oleh virus maka si A tidak dapat dijerat dengan pasal 32 ayat 1, pasal 33 dan pasal 36 UU ITE.
Jadi, meskipun virus diproduksi oleh mesin komputer, tetapi ada orang di balik penyebaran virus komputer, bisa sebagai pembuat virus atau penyebar virus dengan sengaja untuk merugikan orang lain. Mesin komputer yang memproduksi virus komputer hanya sebagai alat bantu untuk melaksanakan pembuatan dan/atau penyebaran virus, bukan pelaku kejahatan.

5.                  Keamanan ITE vs Kejahatan ITE

Keamanan ITE telah disinggung pada beberapa pasal dalam UU ITE, berikut ini pasal-pasal yang dimaksudkan.

Pasal 12 ayat 1 :

Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.

Pasal 15 ayat 1 :

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektroni secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhada beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
Dari kedua pasal itu, jelas UU ITE mengharuskan atau mewajibkan sistem elektronik yang diselenggarakan termasuk penggunaan tanda tangan elektronik berlangsung dengan aman.Kenyataan, masih banyak transaksi elektronik yang berlangsung tidak menggunakan sistem elektronik yang aman.
Oleh karena itu, ketika dalam suatu perkara di pengadilan yang terkait pelanggaran berupa pengrusakan informasi dan/atau dokumen elektronik serta sistem elektronik seperti tertuang dalam Pasal 30-33 dan Pasal 35, maka Hakim harus mempertimbangkan dua sisi, yaitu:
v  Perbuatan si pelaku kejahatan yang mengakibatkan kerugian.
v  Keamanan Sistem Elektronik yang diselenggarakan.
Hakim dalam membuat Putusan Pidana dapat mengenakan denda dan/atau hukuman penjara kepada si pelaku kejahatan dalam kadar yang mungkin lebih ringan ketika perbuatan dari si pelaku kejahatan berlangsung pada sistem elektronik yang lemah dari segi keamanan. Oleh karena itu, UU ITE mendorong bagi para pelaku bisnis, atau siapa saja yang melakukan transaksi elektronik untuk sungguh-sungguh memperhatikan persyaratan minimun keamanan sistem elektronik yang diselenggarakan seperti termuat dalam Pasal 16 yakni:

Pasal 16 ayat 1 :
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap  PenyelenggaraSistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan Perundang Undangan,melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan  Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraa Sistem Elektroniktersebut,Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi.atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan   Sistem Elektronik tersebut; dan Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dankebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

6.                  Tidak semua Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat    hukum yang sah

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki asas diantaranya netral teknologi atau kebebasan memilih teknologi. Hal ini termasuk memilih jenis tanda tangan elektronik yang dipergunakan untuk menandatangani suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.Asas netral teknologi dalam UU ITE perlu dipahami secara berhati-hati, dan para pihak yang melakukan transaksi elektronik sepatutnya menggunakan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah seperti diatur dalam pasal 11 ayat 1 UU ITE.Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut: Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan   Elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan, Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu    penandatanganan dapat diketahui,Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan.
Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui,Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya,danTerdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhada Informasi Elektronik yang terkait.
Penulis ingin menyinggung isi Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tanda Tangan Elektronik yang dapat di-download di situs cahyana-ahmadjayadi.web.id atau situs lainnya. Pasal 1 memuat diantaranya : ”Tangan Tangan Elektronik adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan untuk menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital), biometrik, kriptografi simetrik, termasuk di dalamnya tanda tangan dalam bentuk asli yang diubah menjadi data elektronik”
Yang menjadi pertanyaan penting adalah : Apakah tanda tangan dalam bentuk asli yang diubah menjadi data elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah?
Jika tanda tangan asli serta informasi yang ditanda tangani di atas kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, maka cara ini tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Berikut penjelasannya:
Pertama:
Perlu dipahami dengan baik bahwa tanda tangan bertujuan untuk menyatakan persetujuan atas informasi yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi, dan mengidentifikasi siapa yang menandatangani.
Kedua:
Ada perbedaan tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani antara di atas kertas dan secara elektronik. Kertas menjadi perekat antara tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani, jika terjadi perubahan pada tanda tangan atau informasi yang ditanda tangani maka perubahan itu mudah dikenali misalnya adanya coretan. Secara elektronik, bisa saja seseorang yang berniat jahat mengganti informasi elektronik yang telah ditanda tangani oleh para pihak dengan informasi elektronik lain tetapi tanda tangan tidak berubah. Celakanya, pada data elektronik perubahan ini mudah terjadi dan tidak mudah dikenali. Oleh karena itu, tanda tangan elektronik harus terasosiasi dengan informasi elektronik yang ditanda tangani seperti dimaksudkan pada Pasal 1 UU ITE untuk definisi Tanda Tangan Elektronik.
”Tangan Tangan Elektronik adalah informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan suatu informasi elektronik lain yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Apa yang dimaksud terasosiasi? Menurut penulis, yang dimaksudkan terasosiasi adalah informasi elektronik yang ingin ditanda tangani menjadi data pembuatan tanda tangan elektronik. Dengan demikian, antara tanda tangan elektronik dan informasi elektronik yang ditanda tangani menjadi erat hubungannya seperti fungsi kertas. Keuntungannya adalah jika terjadi perubahan informasi elektronik yang sudah ditanda tangani maka tentu tanda tangan elektronik juga seharusnya berubah. Misalkan seseorang berniat jahat melakukan perubahan informasi elektronik yang sudah ditanda tangani dengan informasi elektronik yang lain tetapi tanda tangan elektronik tidak berubah, maka hal ini mudah diketahui. Caranya? Coba buat tanda tangan elektronik dari informasi elektronik yang telah berubah dan bandingkan dengan tanda tangan elektronik yang ada, tentu hasilnya beda, dan ini menunjukkan bahwa informasi elektronik yang ditanda tangani telah mengalami perubahan.
Ketiga:
Jika kita simak pasal 11 ayat 1 bagian c dan d, mewajibkan adanya metode untuk mengetahui segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dan mengetahui segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan. Perubahan itu dapat diketahui hanya apabila informasi elektronik menjadi data pembuatan tanda tangan elektronik.
Keempat:
Bagaimana dengan tanda tangan asli serta informasi yang ditanda tangani di kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, apakah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah? Tentu tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, karena tanda tangan itu tidak dibuat berdasarkan informasi yang disepakati atau dengan kata lain informasi yang disepakati tidak menjadi data pembuatan tangan tangan, sehingga perubahan tanda tangan elektronik dan/atau informasi elektronik setelah waktu penandatanganan tidak dapat diketahui.
Jadi, tidak semua tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah.
                

7.                  Kasus mengenai Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE

Selain memuat ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem elektronik untuk mendukung informasi dan transaksi elektronik, UU ITE juga memuat pasal-pasal mengenai Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana. Perbuatan yang Dilarang termuat pada pasal 27 – 37, sedangkan Ketentuan Pidana pada pasal 45 – 52. Pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda.
Pada bagian ini, penulis menampilkan satu contoh kasus yang terkait dengan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. Dengan contoh ini diharapkan para pembaca dapat mengambil pelajaran penting dari pasal-pasal terkait Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana.

Contoh kasus:
”Si A adalah pemilik rental VCD berbagai macam film. Suatu hari, dia mendapatkan kiriman satu VCD dari seseorang yang tidak dikenal. Isi VCD berupa video singkat yang memuat permainan sex sepasang suami-isteri. Dalam cerita ini, si suami isteri itu sengaja membuat video tersebut untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan, tapi entah bagaimana video itu jatuh ke tangan orang lain (si A). Kemudian, si A meng-copy video itu ke dalam beberapa VCD, lalu menyebarkan atau menjualnya. Pekerjaan Si A tidak hanya menjual VCD, si A juga memiliki kegemaran untuk merekayasa foto-foto artis menjadi tampak dalam pose bugil, malahan si A memiliki website yang dirancangnya sendiri untuk menfasilitasi pemuatan video dan gambar-gambar pornografi baik gambar asli atau gambar rekayasa”.

Dari kasus di atas, perbuatan si A dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:

Pertama:
Perbuatan si A dengan sengaja dan tanpa hak telah mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik berupa video singkat yang melanggar kesusilaan. Untuk itu Pasal 27 ayat 1 akan menjerat si A.

Pasal 27 ayat 1 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Kedua:
Perbuatan si A melakukan manipulasi terhadap informasi elektronik berupa foto artis untuk diubah menjadi foto dalam pose bugil. Tujuan dari manipulasi ini adalah mencemarkan nama baik artis dan membuat foto hasil rekayasa seolah-olah otentik/asli. Untuk itu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 35 akan menjerat pula si A.

Pasal 27 ayat 3 :
 ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Pasal 35 :
 ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
Ketiga:
Perbuatan si A mengakibatkan kerugian bagi suami isteri dan artis. Si suami isteri membuat video itu untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan. Si artis memiliki foto asli tidak dalam pose bugil, tapi karena ulah si A, foto asli diubah menjadi foto rekayasa dalam pose bugil.Untuk itu Pasal 36 akan menjerat pula si A.

Pasal 36 :
 ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
Keempat
Perbuatan si A mengadakan perangkat lunak berupa website yang bertujuan untuk menfasilitasi pendistribusian foto/gambar bersifat pornografi. Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan menjerat pula si A.

Pasal 34 ayat 1 bagian a :
 ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33”. Dari pasal-pasal yang dapat menjerat si A maka ketentuan pidana yang terkait termuat pada pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 45 ayat 1 :
 ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Pasal 50 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Pasal 51 ayat 1 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”

Pasal 51 ayat 2 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”

 

8.                  Perbuatan yang Dilarang pada penggunaan Handphone

Pasal 1 UU ITE menyebutkan diantaranya ”Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Ini berarti, Handphone sebagai media elektronik lainnya juga termasuk dalam UU ITE. Handphone digunakan untuk komunikasi dan penggunanya dari berbagai kalangan, dari anak-anak sampai orang tua. Beberapa layanan yang tersedia diantaranya SMS (Short Message Services) digunakan untuk menyampaikan pesan singkat kepada seseorang untuk berbagai kepentingan.Kita masih ingat begitu banyak kasus seputar penggunaan Handphone. Berikut ini beberapa kasus yang berkaitan dengan layanan SMS dan MMS (Multi Media Services) :
  1. Penyebaran gambar atau video (informasi elektronik) yang memuat pelanggaran kesusilaan seperti penyebaran video porno dengan sengaja ke kalangan pelajar yang berakibat merusak moral generasi bangsa.
  2. Pengiriman pesan yang memuat perjudian.
  3. Pengiriman pesan yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seseorang seperti tuduhan perbuatan asusila tanpa bukti dengan maksud untuk membunuh karakter kepribadian seseorang dan mencemarkan nama baiknya yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan keluarga dan pekerjaannya.
  4. Pengiriman pesan yang memuat ancaman seperti ancaman untuk meledakkan bom di suatu tempat.
  5. Pengiriman pesan yang memuat berita bohong dan menyesatkan seperti pesan yang bersifat menipu dengan memberitahukan kepada seseorang bahwa dia telah memenangkan undian dari salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta dan meminta untuk mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening tertentu sebagai biaya pengiriman hadiah.
  6. Pengiriman pesan yang sifatnya menghasut suku atau penganut agama tertentu dengan maksud menyebarkan kebencian atau permusuhan di masyarakat.
  7. Pengiriman pesan yang memuat ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi seperti mengancam untuk membunuh si penerima pesan.
Terhadap setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirim pesan atau informasi elektronik seperti diuraikan di atas, maka orang itu akan dijerat dengan pasal-pasal Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE, yaitu pasal 27 sampai pasal 29.

Pasal 27
(1)  Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (terkait dgn kasus 1)
(2)  Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (terkait dgn kasus 2)
(3)  Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (terkait dgn kasus 3)
(4)  Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.(terkait dgn kasus 4)

Pasal 28
(1)    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (terkait dgn kasus 5)
 (2)  Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (terkait dgn kasus 6)

Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. (terkait dgn kasus 7)
UU ITE juga memuat ketentuan pidana, untuk pasal 27 sampai pasal 29 terkait dengan ketentuan pidana pada pasal 45.

Pasal 45
(1)  Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)  Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)  Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Jika kasus yang diuraikan di atas (point 1 s/d 7) menimbulkan kerugian bagi orang lain, misalnya dengan penyebaran informasi/pesan yang memuat pencemaran nama baik seseorang mengakibatkan orang itu kehilangan jabatan atau pekerjaan, maka terhadap orang yang menyebarkan pesan itu akan dijerat pula dengan pasal 36.

Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Pasal 36 terkait dengan ketentuan pidana pasal 51 ayat 2

Pasal 51 ayat 2.
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

 

9.                  Peranan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik

Peranan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dalam UU ITE hanya sebatas untuk memberikan dukungan teknis yang terkait dengan pembuatan tanda tangan elektronik. Peranan yang dimaksud diantaranya:
a)      Menerbitkan Sertifikat Elektronik, tercantum pada Pasal 1
Pasal 1, diantaranya memuat: Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
b)     Memastikan keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan pemiliknya sebagai subjek hukum yang bertanda tangan, hal ini terkait dengan pasal 1 di atas, dan pasal ayat 2.

Pasal 13 ayat 2 : Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam UU ITE, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik memiliki kemampuan untuk dapat memastikan keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditanda tangani, karena tanda tangan elektronik terasosiasi dengan informasi elektronik yang ditanda tangani. Hal ini terkait dengan pasal 1 tentang tanda tangan elektronik.

Pasal 1 diantaranya memuat : Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Ada dua hal yang perlu dipahami dengan hati-hati sehubungan dengan peranan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, yaitu:

Pertama:
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik tidak memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa substansi informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditanda tangani oleh para pihak yang bertransaksi, apakah bertentangan dengan peraturan yang ada. Tugas dari Penyelenggara Sertifikasi Elektronik hanya sebatas dukungan teknis terkait dengan pembuatan tanda tangan elektronik.

Kedua:
Terkait dengan pasal 1, tanda tangan elektronik digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Verifikasi yang dimaksud tidak terkait dengan substansi informasi elektronik yang ditandatangani. Tanda tangan elektronik digunakan untuk menguji apakah informasi elektronik yang ditanda tangani mengalami perubahan selama ditransmisikan. Jika mengalami perubahan maka informasi elektronik itu dianggap tidak sah karena tidak dijamin keutuhannya. Ketentuan ini terkait dengan pasal 6 UU ITE.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

10.              Hubungan UU ITE  No.11 dengan HAM dan Tujuan Negara RI

 Berbagai diskusi dan pernyataan di Internet mempersoalkan tentang UU ITE No. 11 Tahun 2008. Pendapat yang berbeda muncul, termasuk keinginan beberapa kalangan agar UU No. 11 Tahun 2008 direvisi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.Pada bagian ini, penulis mengungkapkan beberapa pemikiran yang dapat memberikan pencerahan bagi kita semua untuk memandang UU ITE No. 11 Tahun 2008 secara komprehensif dari berbagai sudut pandang dan memposisikan diri kita sebagai anak bangsa yang peduli terhadap kemajuan bangsa Indonesia.

Pertama:
Pertanyaan: Apa tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008? Bagaimana kaitannya dengan tujuan Negara RepublikIndonesia?: Tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008 tercantum pada Pasal 4, yaitu:
  1. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
  2. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
  3. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
  4. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
  5. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

Tujuan di atas sejalan dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diantaranya “mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pembentukan UU ITE No. 11 tahun 2008 konsisten dengan tujuan Negara Republik Indonesia.

Kedua:
Pertanyaan: Apakah semua informasi elektronik dapat meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum?
Jawab : Tidak semua informasi elektronik dapat meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Informasi elektronik terbagi dalam dua kategori yaitu informasi elektronik yang berkualitas dan informasi elektronik yang tidak berkualitas. Yang dapat meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum hanya informasi elektronik yang berkualitas, yaitu informasi yang mendorong pengembangan potensi bangsa di berbagai bidang kehidupan menuju bangsa yang sejahtera dan cerdas, serta mampu bersaing dengan bangsa lain.

Ketiga:
Bagaimana dengan jenis Informasi Elektronik yang tidak berkualitas? Apa contohnya? Jenis informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Informasi elektronik yang tidak berkualitas bermuatan negatif seperti pelanggaran kesusilaan, perjudian, menghina dan mencemarkan nama baik seseorang, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.

Keempat:
Bagaimana menggambarkan kebebasan mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat? Gambarannya sederhana saja. Indonesia adalah negara yang gencar melakukan pembangunan. Salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan adalah memperluas akses internet sampai ke pedesaan. Tujuannya adalah bagaimana mendorong percepatan pembangunan di pedesaan. Para petani dapat mempromosikan hasil pertanian lewat internet. Murid sekolah dapat memperoleh banyak ilmu pengetahuan lewat internet.Para pejabat pemerintah dapat mengawasi bawahannya dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lewat pemanfaatan internet, dan masih banyak manfaat lainnya.
Jadi, tujuan Pemerintah untuk memperluas akses informasi lewat internet sampai ke pedesaan untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat di pedesaan.
Meskipun demikian, tujuan itu dapat tidak tercapai apabila masyarakat pedesaan dominan mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas.
Coba kita bayangkan, bagaimana jika sekelompok murid sekolah mengakses situs porno atau bermain judi lewat internet, Apakah hal ini membuat masyarakat pedesaan menjadi cerdas dan sejahtera? Apakah perbuatan menyebarkan informasi elektronik yang bermuatan berita bohong, pemerasan, pengancaman, penghinaan, pencemaran nama baik termasuk perbuatan mengarah pada peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat? Dengan akal sehat, kita dapat menjawab bahwa perbuatan itu tidak mengarah pada peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat.

Kelima:
Bagaimana pembatasan akses informasi elektronik yang tidak berkualitas dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008?  Dalam UU ITE No. 11 thn 2008 pada Pasal 27 dan 28 telah melarang setiap orang untuk menyebarkan informasi elektronik yang tidak berkualitas, dan memberikan sanksi pidana penjara dan/atau denda kepada setiap orang yang melanggar.

Pasal 27
  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
  3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
  4. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28
  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 45
  1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Keenam:
Pertanyaan: Apakah pasal 27 dan pasal 28 dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945?Justru Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 thn 2008 mendorong penegakan HAM. Mari kita simak pasal 28F dalam UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”Penulis ingin mengajukan pertanyaan kepada pembaca untuk direnungkan.
Apakah informasi elektronik yang tidak berkualitas seperti bermuatan pencemaran nama baik, penghinaan, pelanggaraan kesusilaan, pengancaman merupakan informasi elektronik yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Sementara kebebasan untuk mengakses informasi elektronik yang berkualitas mendorong pengembangan pribadi dan lingkungan sosial. Jadi Pasal 27 dan Pasal 28 sudah tepat dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 untuk memberantas informasi elektronik yang tidak berkualitas agar masyarakat dapat lebih mengakses informasi elektronik yang berkualitas untuk menunjang pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya.

Ketujuh:
Pertanyaan: Apa argumentasi yang tepat bahwa informasi elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pengembangan pribadi dan lingkungan sosial? Argumentasinya cukup sederhana. Indonesia memiliki lingkungan sosial yang kental dengan kultur ketimuran yaitu masyarakat agamis. Tidak ada satu pun agama yang membolehkan seseorang untuk melakukan perbuatan menyebarkan informasi yang bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik seseorang, pengancaman, pemerasan, fitnah, perjudian, pornografi. Informasi elektronik yang tidak berkualitas merusak moral generasi bangsa.

Kedelapan:
Pertanyaan: Bagaimana mengaitkan UU ITE, HAM, Jenis Informasi Elektronik dan Tujuan Negara Republik Indonesia? Keterkaitannya berangkat dari tujuan Negara R.I untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
  1. UUD 1945 telah mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperoleh dan menyebarkan informasi yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Akses informasi elektronik yang berkualitas mengarah pada pengembangan pribadi, lingkungan sosial dan pencapaian tujuan Negara R.I. Akses informasi elektronik yang tidak berkualitas tidak mengarah pada pengembangan pribadi, lingkungan sosial dan pencapaian tujuan Negara R.I.
  2. UU ITE No. 11 tahun 2008 memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kemerdekaan berpendapat dan kebebasan untuk mengakses informasi elektronik yang berkualitas dan melarang untuk mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas.

Kesembilan:
Pertanyaan: Sudah banyak diskusi dan pernyataan yang menginginkan untuk revisi UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama terkait dengan soal HAM tentang kebebasan mengakses informasi, bagaimana dgn masalah ini? Pada dasarnya keinginan untuk merevisi UU ITE No. 11 tahun 2008 merupakan hak setiap orang. Tapi sayangnya, beberapa orang yang menginginkan revisi terhadap UU ITE No. 11 tahun 2008 bersandar pada pemahaman yang kurang baik tentang pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kebebasan untuk mengakses informasi sudah dikebiri oleh UU ITE No. 11 tahun 2008 dan melanggar HAM.
UU ITE No. 11 Tahun 2008 justru memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk mengakses informasi elektronik tetapi untuk kategori informasi elektronik yang berkualitas dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia. Penulis tidak sependapat dengan kebebasan tanpa kontrol karena kita hidup dalam suatu negara yang memiliki tujuan. Kebebasan tanpa kontrol menunjukkan suatu pemikiran yang tidak mengarah pada pencapaian tujuan. Seseorang yang hidup dengan tujuan, dicirikan oleh kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang sepatutnya diakses dalam rangka pencapaian tujuan itu. UU ITE No. 11 Tahun 2008 sudah menampakkan perilaku itu, melindungi informasi elektronik yang berkualitas dan melarang informasi elektronik yang tidak berkualitas. Demikian pula, HAM dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan penyebaran dan pengaksesan informasi memiliki kontrol berupa tujuan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial.

11.              UU ITE dan kebebasan Pers

Banyak protes dari kalangan Pers tentang keberadaan UU ITE Nomor 11 tahun 2008 terutama menyangkut pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Pasal tersebut dipandang berpotensi mengancam kemerdekaan Pers, berita pers dapat disalurkan melalui informasi elektronik (di dunia maya), terkait dengan kasus korupsi, sengketa, politik yang dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran nama baik, penghinaan, menimbulkan permusuhan atau kebencian dalam masyarakat. Berikut kutipan pasal-pasal tersebut.

Pasal 27 ayat 3
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 28 ayat 2  
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada bagian ini UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama Pasal 27 dan Pasal 28. Kiranya melalui tulisan ini akan lebih memperjelas apa yang dikuatirkan oleh kalangan Pers dalam penyampaian berita dalam bentuk informasi elektronik.
Dunia maya merupakan wadah komunikasi bagi siapa saja, termasuk bagi Pers untuk menyebarkan informasi. Pers merupakan kalangan yang berkepentingan untuk menyebarkan berita lewat internet karena sarana ini merupakan cara yang cepat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat dalam jangkauan yang lebih luas dan lebih murah.Persoalannya: Apakah UU ITE No. 11 tahun 2008 pada Pasal 27 dan Pasal 28 berpotensi membatasi kebebasan Pers dalam memberitakan suatu peristiwa dalam bentuk informasi elektronik? Dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 Tahun 2008 terdapat pernyataan ‘tanpa hak.Pers memiliki hak untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik berupa Berita. Hak dari Pers sudah jelas dinyatakan dan dilindungi dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Selain menentukan Hak, UU No. 40 tahun 1999 juga menjelaskan Kewajiban Pers. Pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers berkewajiban pula untuk melayani hak jawab sebagai bentuk koreksi dan kontrol dari masyarakat. Wartawan harus menaati kode etik Jurnalistik.
Beberapa Pasal dalam Kode Etik Jurnalistik diantaranya :
  1. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
  2. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
  3. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
  4. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
  5. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Terkait dengan pendistribusian atau penyebaran informasi elektronik. Sesuai amanat UU Pers No. 40 tahun 1999, maka Pers memiliki ‘hak’ untuk mendistribusikan informasi, penulis berpendapat, termasuk informasi elektronik. Jika timbul tuduhan bahwa berita dalam bentuk informasi elektronik yang disampaikan oleh Pers mengandung unsur pencemaran nama baik, penghinaan, menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat, maka UU ITE No. 11 Tahun 2008 tidak dapat digunakan untuk menjerat Pers, karena Pers memiliki hak untuk mendistribusikan informasi elektronik, sementara Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE no. 11 Tahun 2008 mengacu pada 'tanpa hak'. Pers memiliki mekanisme sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 secara jelas diterangkan bahwa Pers memiliki kewajiban seperti menerima Hak Jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat. Pers juga memiliki kode etik jurnalistik, wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul dan berkewajiban untuk melakukan koreksi terhadap pemberitaan jika memang dipandang tidak akurat/keliru. Jadi, UU ITE No. 11 tahun 2008 khususnya Pasal 27, 28 tidak untuk kalangan Pers.

12.              Sembilan Peraturan Pemerintah dan Dua Lembaga yang baru untuk UU ITE

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disahkan pada bulan April 2008, pelaksanaannya masih menunggu penerbitan 9 Peraturan Pemerintah dan pembentukan 2 (dua) lembaga yang baru yakni Lembaga Sertifikasi Keandalan dan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari :
  1. Lembaga sertifikasi keandalan
  2. Tanda tangan elektronik
  3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik
  4. Penyelenggaraan sistem elektronik
  5. Penyelenggaraan transaksi elektronik
  6. Penyelenggara agen elektronik
  7. Pengelolaan nama domain
  8. Tatacara intersepsi
  9. Peran pemerintah
Selama proses pembentukan Peraturan Pemerintah untuk UU ITE, Pemerintah perlu secara intensif mendengarkan berbagai masukan dari masyarakat agar Peraturan Pemerintah tersebut dapat diterapkan dengan efektif dan mendapatkan respon positif dari masyarakat. Demikian pula, pelaksanaan UU ITE turut memperhatikan kesiapan masyarakat, karena UU ITE merupakan payung hukum di Indonesia untuk pertama kali dalam bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dan Instansi yang terkait perlu intensif melakukan berbagai upaya, diantaranya Sosialisasi UU ITE pada masyarakat termasuk kalangan kampus, peningkatan pengetahuan aparat penegak hukum ttg UU ITE dan berbagai aspek dalam Hukum Telematika. Dua lembaga yaitu Lembaga Sertifikasi Keandalan dan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik masing-masing diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut:
  1. Lembaga Sertifikasi Keandalan melakukan fungsi administratif yang mencakup registrasi, otentikasi fisik terhadap pelaku usaha, pembuatan dan pengelolaan sertifikat keandalan, dan membuat daftar sertifikat yang dibekukan. Setiap pelaku usaha yang akan melakukan transaksi elektronik dapat memiliki Sertifikat Keandalan yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan dengan cara mendaftarkan diri. Lembaga Sertifikasi Keandalan akan melakukan pendataan dan penilaian menyangkut identitas pelaku usaha, syarat-syarat kontrak dari produk yang ditawarkan, dan karakteristik produk. Jika pelaku usaha lulus dalam uji sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan maka akan memperoleh pengesahan berupa logo trustmark pada homepage pelaku usaha yang menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut layak untuk melakukan usahanya setelah diaudit oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
  2. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik melaksanakan fungsi administratif mancakup registrasi, otentikasi fisik terhadap pemohon, pembuatan dan pengelolaan kunci publik maupun kunci privat, pengelolaan sertifikat elektronik dan daftar sertifikat yang dibekukan. Setiap pihak yang akan melakukan transaksi elektronik perlu memenuhi persyaratan minimum dalam UU ITE, singkat kata, memerlukan tanda tangan elektronik dalam melakukan transaksi elektronik. Tanda tangan elektronik ini akan lebih aman jika terdapat pihak ketiga selain para pihak yang bertransaksi. Pihak ketiga tersebut adalah Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dengan fungsi utama adalah menerbitkan Sertifikat Elektronik yang memuat data pembuatan tanda tangan elektronik yang dikenal dengan ‘kunci publik’ dan ‘kunci privat’. Pelaku usaha yang ingin mendapatkan Sertifikat Elektronik untuk mendukung penggunaan tanda tangan elektronik dalam melakukan transaksi elektronik dapat mengajukan permohonan kepada Penyelenggara Sertifikasi Elektronik. Lalu, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik akan melakukan pendataan dan penilaian meliputi identitas pemohon, otentikasi fisik dari pemohon, dan syarat lainnya. Setelah dinilai dan tidak ada masalah, dilanjutkan dengan penerbitan Kunci Publik, Kunci Privat, dan Sertifikat Elektronik. Dengan Sertifikat Elektronik yang dimiliki oleh para pihak yang bertransaksi secara elektronik akan memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan para pihak yang bertransaksi.

13.              Beberapa Hal  yang Terlewat Dan Perlu Persiapan Dari UU ITE

Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan peraturan  dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:
  • Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb
  • Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan penyebarannya
  • Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak
  • Terakhir ada yang cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE kok persis plek alias copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli, SH, MH berjudul Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut, seharusnya janganlah terus langsung copy paste buku bab 1 untuk bagian Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda tangan adalah Presiden Republik Indonesia.


III.             KESIMPULAN
Walaupun terlambat, kehadiran aturan hukum baru tersebut dapat dilihat sebagai bentuk respons pemerintah untuk menjerat orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan internethingga merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Menurut Menkominfo Muhammad Nuh,sedikitnya ada tiga hal mendasar penyalahgunaan internet yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa secara keseluruhan, yakni pornografi, kekerasan, dan informasi yang mengandung hasutan SARA.
Kalau UU ITE dilihat dalam perspektif penanggulangan penyalahgunaan internet di atas, makasemestinya tak perlu ada pro dan kontra. Ini karena pada dasarnya kehadiran UU itu untuk melindungi masyarakat dari kerugian dan kehancuran akhlak yang akan berimplikasi pada kelangsungan hidupberbangsa dan bernegara.Meski demikian, kehadiran perangkat hukum itu pun tidak secara otomatis dapat menghentikan langkahpara hacker atau cracker. Bahkan, boleh jadi perangkat hukum ini akan memancing keberanian mereka untuk mencari titik-titik lemahnya sehingga mereka bisa terus melancarkan aksinya. Kenyataannya, para pelaku cyber crime secara umum adalah orang-orang yang memiliki keunggulan dan kemampuan keilmuan dan teknologi di bidangnya. Sementara itu, kemampuan aparat untuk menangkalnya sungguh jauh dari kualitas dari para pelaku kejahatan tersebut.
Semoga kehadiran UU ITE bisa menjadi payung hukum bagi aparat kepolisian untuk bertindak tegas dan selektif terhadap berbagai jenis penyalahgunaan internet. Dengan demikian, kehadiran UU ini tidak menjadi momok yang menakutkan bagi pengguna dan mematikan kreativitas seseorang di dunia maya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar