MONEY LOUNDRY
I.
PENDAHULUAN
Undang-undang
ini diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tanggal 6 September 2003.
UU-TPPU (Undang-Undang Tindak Pidana Pencucuian Uang) ini menarik untuk
ditinjau mengingat sebagai produk hukum yang relatif baru tetapi harus
mengalami perubahan sebelum efektifitasnya kita rasakan, hanya karena adanya
pengaruh dari baik masyarakat dalam negeri maupun masyarakat luar negeri.
Tinjauan ini dilakukan terutama terhadap konsiderans yang menjadi landasan
pembentukan produk hukum tersebut, yang meliputi aspek filosofis, yuridis,
sosiologis dan politis.
Pencucian uang adalah proses atau perbuatan yang menggunakan uang hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang
disembunyikan atau dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian
seolah-olah muncul uang yang sah atau yang halal. Di Indonesia,
hal ini diatur secara yuridis dalam UU RI No. 15 Tahun 2002 tentang tindakan pidana pencucian uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam dua
tindak pidana.
Pertama
Tindak pidana aktif, di
mana seseorang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, menghibahkan,
menbayarkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan uang-uang hasil
tindak pidana dengan tujuan mengaburkan atau
menyembunyikan asal usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah sebagai uang yang sah.
Kedua
Dalam pasal 6 UU RI No.
15/2002, disebutkan tentang tindak pidana pencucian yang pasif yang dikenakan kepada setiap orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penerima
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang-uang yang berasal dari tindak
pidana itu, dengan tujuan sama yaitu untuk mengaburkan, menyembunyikan
asal-usulnya. Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksinya cukup berat, dimulai dari hukuman penjara
lima tahun minimum, maksimum 15 tahun, dengan denda minimum lima milyar dan
maksimum 15 miliar rupiah.
Pembentukan UU-TPPU dilatarbelakangi kondisi makin meningkatnya
berbagai kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh
korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi
batas wilayah negara lain. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana
korupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga
kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan
psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap,
penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan
kerah putih.
Harta kekayaan yang dihasilkan atau berasal dari berbagai
kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan
atau digunakan oleh para pelaku. Untuk menghindari pelacakan oleh
penegak hukum mengenai sumber perolehannya. biasanya para pelaku kejahatan
terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayan yang diperoleh dari kejahatan
tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke
dalam sistem perbankan (banking system). Dengan cara demikian maka
asal-usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para
penegak hukum.
Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana tersebut dikenal dengan pencucian
uang (money laundering). Dengan adanya UU-TPPU, diharapkan tindak pidana
pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain dengan
mengkriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang
yang terdiri atas:
a. Penempatan
(placement) yakni menempatkan uang tunai dan atau uang giral hasil
kejahatan (dirty money) ke dalam sistem keuangan/perbankan.
b. Transfer (layering)
yakni tahap lanjutan dari placement dengan menempatkan dirty money kembali
pada penyedia jasa keuangan (terutama perbankan).
c. Menggunakan
harta kekayaan (integration) yakni menggunakan dirty money melalui
jasa keuangan seolah-olah menjadi uang halal (clean money).
II.
PROSES
PENCUCIAN UANG
Dalam upaya untuk
membantu menjelaskan dan menganalisa fenomena proses pencucian uang, lazim
digunakan pendekatan “tiga-tahap”. Tahapan-tahapan ini jika dapat
dilalui/dilaksanakan seluruhnya disebut sebagai suatu skema pencucian uang yang
ideal. Tahapan tersebut meliputi:
Pertama, Tahap Penempatan – Uang
hasil kejahatan yang lazim disebut sebagai uang haram, yang diperoleh langsung
dari tindak kriminal (seperti hasil penjualan obat bius ataupun senjata)
mula-mula ditempatkan pada lembaga keuangan atau digunakan untuk membeli asset.
Kedua, Tahap Pelapisan – Tahap ini
merupakan tahap usaha untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul
kepemilikan uang haram tersebut.
Ketiga, Tahap Penggabungan – Pada tahap ini
uang haram sudah dapat digabungkan kedalam asset melalui system keuangan
yang sudah ada (existing), selanjutnya dapat digunakan untuk memasuki
kegiatan ekonomi, bisnis melalui sistem keuangan yang legal.
Sudah barang tentu
masing-masing tahap yang dijelaskan di atas tidak selalu tampak berdiri
sendiri-sendiri, bias saja ketiganya tergabung dalam satu proses kejadian namun
telah mencakup seluruh tahap, atau saling overlap satu tahap dengan
tahap lainnya. Pemisahan masing-masing tahapan yang dilaksanakan sangat
tergantung pada ketersediaan mekanisme pencucian uang dan persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan oleh organisasi kejahatan itu sendiri.
Teknik pencucian uang
biasanya memiliki ciri-ciri; tidak terduga, canggih, kompleks, rahasia dan
wajar. Teknik apapun yang digunakan dalam pencucian uang pada umumnya diarahkan
untuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
Pertama, pelaku menginginkan untuk
menyamarkan pemilik uang sesungguhnya dan asal-usul uangnya. Kedua, pelaku
ingin tetap menjaga dan mengendalikan hasil pencucian, dan Ketiga, pelaku
ingin melukan perubahan bentuk atas hasil pencucian. Untuk mencapai tujuan
tersebut, setelah melalui proses “tiga tahap”, pembuat kebijakan dan agen-agen
yang terlibat dalam proses pencucian uang mempunyai tugas untuk memperluas dan
mengembangkan teknik-teknik pencucian uang yang tepat untuk mengantisipasi terjadinya
titik-titik lemah agar tindakan mereka tidak dapat dideteksi.
III.
MEDIA DAN
SARANA PENCUCIAN UANG
a.
Lembaga keuangan
perbankan
Dalam kasus perdagangan
obat bius (sebagai contoh), upaya-upaya pendeteksian dan pencegahan yang
dilakukan oleh masyarakat internasional
terutama difokuskan mulai tahap penempatan, karena pada tahap ini dianggap
sebagai kegiatan yang masih bersifat sangat cash intensive. Perdagangan
heroin dan kokain atau jenis-jenis obat psikotropika lainnya, volume fisik uang
yang diterima jumlahnya jauh lebih banyak dari fisik barang terlarang yang
diperdagangkan sendiri. Oleh karenanya pada tahap awal mereka akan berhadapan
dengan problem penukaran fisik uang dari nominal kecil menjadi nominal besar.
Meskipun para pelaku
pencucian uang ingin terbebas dari penguasaan uang secara fisik namun mereka
tidak serta merta mempercayakan uangnya kepada lembaga keuangan perbankan,
karena dianggap sangat beresiko. Para pelaku menyadari sepenuhnya bahwa
lembaga-lembaga keuangan perbankan telah dipersyaratkan untuk memerangi
–setidaktidaknya mencegah- praktek pencucian uang. Persyaratan untuk mengenali
nasabah, mengelola pencatatan rekening dengan baik, dan kewajiban untuk
melaporkan transaksi yang “aneh” atau dicurigai, mereka anggap sebagai upaya
aparat penegak hukum untuk dapat melakukan “audit or document trail”.
Sehingga pada tahap
penempatan penggunaan lembaga keuangan perbankan, memiliki resiko terdeteksi
yang sangat besar (tinggi). Hambatan yang dijumpai dalam tahap penempatan
mengharuskan para pelaku atau agen untuk menciptakan suatu teknik yang innovative.
Di Amerika Serikat merupakan hal yang lazim dipraktekkan oleh para pelaku
dengan meminta bantuan sejumlah anggotanya untuk menukarkan uang yang memiliki
nilai nominal kecil, menjadi nominal besar – proses ini dikenal sebagai “refining”
uang haram. Modus operandi yang agak mirip digunakan dalam
menghindari ketentuan hukum Amerika yang diwajibkan untuk melaporkan jumlah
tertentu yang diperkenankan dalam transaksi tunai (cash).
Praktek ini terjadi dalam
transaksi transfer atas sejumlah uang dengan nilai yang besar, tetapi
ditransaksikan dengan (masing-masing) nilai masih dibawah batas ketentuan
pelaporan (US$. 10,000). Dengan demikian uang haram akan dapat masuk kedalam
sistem perbankan/lembaga keuangan tanpa menimbulkan kecurigaan dan dianggap sebagai
transaksi normal.
Upaya lain dari pelaku
adalah dengan cara melakukan “tindakan kompromi” dengan pegawai bank. Pada
beberapa kasus, lembaga perbankan sendiri sudah memiliki budaya korup, yang
mengakibatkan bank terlibat lebih jauh sebagai partner dalam proses
pencucian uang. Kasus akhir tahun 1988 yang menyita perhatian publik adalah
kasus Bank BCCI, yang dituduh terlibat dalam memfasilitasi pergerakan hasil
kejahatan internasional. Kasus ini akhirnya dapat diungkap oleh pihak yang
berwajib di Amerika melalui operasi yang diberi sandi “C-Chase”. Operasi ini
berhasil menemukan adanya dana hasil pencucian senilai US$. 32 Juta yang
melibatkan 9 staf/pejabat penting pada Bank BCCI di Amerika dan di Inggris,
akhirnya mereka ditangkap dan diadili.
Putusan pengadilan
menyatakan bahwa Bank BCCI Amerika terbukti bersalah atas satu tuduhan
melakukan konspirasi dan duapuluh delapan tuduhan pencucian uang, dan Bank BCCI
Inggris dinyatakan bersalah atas satu tuduhan konspirasi dan dua tuduhan
pencucian uang. Total penalties yang dikenakan kepada Bank BCCI tidak
kurang dari US$. 15,3 Juta. Pada akhir tahun 1993 suatu laporan yang
dikeluarkan oleh Sekjen PBB menyatakan bahwa Bank BCCI dianggap
bertanggungjawab atas pencucian uang dengan jumlah tidak kurang dari US$ 20
Milyar.
Dalam banyak kasus para
pelaku seringkali harus berhadapan dengan lembaga perbankan yang tidak korup
dan tidak mau kompromi. Pada kondisi seperti ini tidak terelakkan adanya
usaha-usaha dari pimpinan organisasi pelaku pencucian uang untuk mengalihkan
tahap penempatan ke negara/wilayah/juridiksi yang masih lemah dalam aturan,
atau bahkan tidak/belum memiliki peraturan mengenai pencegahan dan
pemberantasan praktek pencucian uang.
Upaya ini dapat ditempuh
dengan berbagai cara termasuk menyelundupkan mata uang secara fisik. Lembaga
Kepolisian Internasional (Interpol) mensinyalir; pengiriman uang secara fisik
dilakukan melalui bagasi penumpang, kargo, kurir atau perusahaan ekspedisi dari
suatu negara kenegara lain yang tidak memiliki kontrol yang ketat atas lalu
lintas uang, khususnya negara yang menerapkan undang-undang kerahasian bank (bank
secrecy laws). Pada negara tujuan, uang haram akan ditempatkan pada bank
atau lembaga keuangan lainnya, dari sini uang tersebut dapat dipindahkan kemanapun
mereka inginkan.
Apabila tahap penempatan
telah selesai dilaksanakan baik di dalam negeri maupun diluar negeri, maka
tahap pelapisan (layering) dimulai. Meskipun berbagai metode dan
alternatif pelapisan tersedia, namun akhir-akhir ini yang lebih diminati adalah
pemindahan dana dengan cara transfer elektronik atau wire transfer. Cara
ini dianggap jauh lebih aman, karena memberikan beberapa keuntungan bagi pelaku
seperti; cepat, tidak ada hambatan jarak dan waktu, paling kecil meninggalkan
“jejak audit” dan dapat tergabung bersama-sama sejumlah transaksi-transaksi
normal lainnya.
Berbagai cara yang
dilakukan pelaku untuk memperdayai sistem, dengan tujuan untuk mengumpulkan
dana dari berbagai rekening dan memindahkan dana-dana tersebut melalui berbagai
rekening ke beberapa bank sehingga asal usul dana tidak dapat ditelusuri. Jika
proses pelapisan dilakukan melalui bank di negara yang menerapkan rahasia bank secara
kaku, maka pendeteksian menjadi sangat sulit dan tahap penggabungan biasanya
dengan mudah pula untuk dilaksanakan.
b.
Lembaga
Keuangan Non-Bank
Mulai dilaksanakannya
upaya-upaya pencegahan praktek pencucian uang oleh lembaga perbankan telah
mengancam dan membuat hidup para pelaku terasa lebih sulit karena meningkatnya
biaya untuk melaksanakan pencucian dan meningkatnya resiko yang harus dihadapi.
Namun demikian para pelaku selalu mencoba memecahkan persoalan melalui proses
pengidentifikasian dan mengeksploitasi kelemahan berbagai struktur lembaga
perbankan.
Upaya ini dilakukan tidak
hanya untuk melaksanakan berbagai teknik pencucian yang rumit, tetapi juga
untuk mengalihkan kegiatan dari negara yang memiliki sektor-sektor ekonomi
dengan aturan yang sudah mapan ke yang kurang mapan. Pada banyak negara, pemerintah berkonsentrasi
mencegah pencucian melalui proses identifikasi penempatan dana, tetapi gagal
dalam menyusun program pencegahan secara komprehensif yang dapat mengantisipasi
cara-cara pencucian tradisional dan non-tradisional dengan memanfaatkan seluruh
sumberdaya untuk merubah uang haramnya. Para pelaku saat ini sudah sangat
memahami prosedur kerja lembaga perbankan yang secara tradisional ingin
mengidentifikasi nasabahnya, sehingga mereka berusaha menerapkan
strategi-strategi baru dan mutakhir.
Pada kurun waktu beberapa
tahun ini para pelaku telah membuktikan bahwa mereka dapat melakukan pencucian
melalui sistem dan mekanisme yang ada pada lembaga keuangan non-bank. Lembaga
keuangan non-bank digunakan sebagai sarana/media pencucian karena lembaga ini
dapat memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh bank, tetapi dari sisi
pengawasan tidak ketat dan dianggap masih sangat lemah. Jenis usaha yang
diklasifikasikan dalamgolongan ini antara lain meliputi; money changers
(bureaux de change), perusahaan asuransi, pialang saham dan bursa berjangka
lainnya, serta pemberi jasa keuangan yang beroperasi layaknya sebuah bank (underground
banking).
Berbagai kegiatan yang
dilakukan (misalnya oleh money changers) memiliki tujuan khusus dan
sangat penting misalnya pada tahap penempatan dari suatu proses pencucian.
Contoh lain; perusahaan asuransi jiwa misalnya, cenderung akan digunakan pada
tahap pelapisan dan penggabungan. Kepemilikan polis perusahaan asuransi jiwa
hanyalah merupakan langkah awal untuk mengalihkan menjadi bentuk investasi
lain. Pertimbangan yang sama akan dilakukan oleh pelaku apabila mereka ingin
mengembangkan strategi pencucian melalui investasi saham dan obligasi.
Pada era globalisasi yang
ditandai dengan semakin terintegrasinya pasar uang dan perdagangan saham global
telah menarik para pelaku untuk memanfaatkan sarana ini. Bursa saham dan bursa
berjangka merupakan target antara yang sangat menarik untuk dijadikan media
pencucian dikarenakan:
Pertama, perusahaan pialang
umumnya memiliki jaringan berupa kantor-kantor cabang diseluruh dunia.
Transaksi yang mereka lakukan selalu menggunakan media transfer elektronik,
dari satu atau melalui beberapa wilayah hokum (jurisdiksi).
Kedua, bursa saham merupakan
pasar yang memperdagangkan instrumen-instrumen keuangan yang sangat likuid.
Ketiga, perusahaan pialang
bekerja berdasarkan fee, sehingga mereka beroperasi secara kompetitif,
dan mereka cenderung tidak pernah mempedulikan asal-usul kepemilikan dana client-nya
yang dipergunakan untuk bertransaksi.
Keempat, pada beberapa negara
perusahaan pialang diberihak untuk menyimpan, mengelola, dan mentransaksikan
surat-surat berharga yang dimiliki oleh client-nya atas dasar
kepercayaan, tanpa harus menjelaskan siapa pemilik yang sesungguhnya.
Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas bursa saham dan bursa berjangka telah “meminjamkan tangannya”
untuk digunakan dalam tahap penempatan pada proses pencucian. Dengan kata lain
digunakannya media lembaga keuangan non bank adalah untuk menghindari
penggunaan transaksi secara cash melalui lembaga perbankan yang memiliki
resiko terdeteksi lebih besar.
Dalam tahap pelapisan dan
penggabungan pemanfaatan media lembaga keuangan non bank hanya dilakukan oleh
pelaku yang memahami seluk beluk sistem secara menyeluruh. Perlu ditegaskan
sekali lagi apapun sarana/media yang digunakan dalam pencucian para pelaku
selalu memegang teguh prinsipnya bahwa mereka tidak boleh meninggalkan “document
or audit trail”.
c.
Non
Lembaga Keuangan
Pencucian uang bukanlah
problem sederhana yang hanya dihadapi oleh lembaga keuangan perbankan dan
lembaga lain yang aktivitas usahanya di bidang keuangan. Kegiatan usaha
non-lembaga keuangan dengan segala bentuknya, telah didentifikasi dimanfaatkan
pula sebagai media/sarana pencucian. Banyak perusahaan yang dibentuk sebagai “vechicles”
untuk menuntaskan tahap-tahap dalam proses pencucian, sehingga para pelaku
dapat mengubah uang haramnya menjadi asset, dan membangun image bahwa
sumber-sumber dana yang dimiliki berasal dari aktivitas usaha yang legitimate.
Jenis-jenis perusahaan yang biasa dipergunakan oleh para pelaku umumnya
perusahaan yang sangat cash-intensive, seperti; supermarket, restoran,
bar, dan perusahaan pengelola tempat perjudian atau hiburan malam. Melalui
perusahaan jenis ini uang haram akan menjadi sangat mudah digabung dengan uang
yang diperoleh dari aktivitas bisnis normal. Hasil penggabungan kedua sumber
dana kemudian dilaporkan kepada instansi perpajakan secara resmi, dan pelaku
dengan sendirinya telah mendapatkan legitimasi sumber penghasilannya.
Bentuk lain perusahaan
yang dapat dimanfaatkan adalah melalui perusahaan yang lazim disebut “shell
company” atau “paper company”. Perusahaan ini secara legal formal
didaftarkan oleh pelaku sebagai sebuah badan hukum, namun sama sekali tidak
melaksanakan aktivitas bisnis. Biasanya perusahaan ini berlokasi di luar negeri
(offshore) dan dinegara yang dikenal sebagai “tax havens”. Cara-cara
yang dilakukan untuk melaksanakan tujuannya adalah; uang haram yang diperoleh
diinvestasikan kedalam negeri asal sipelaku. Untuk melaksanakan investasi di
dalam negeri, pelaku akan memberikan sejumlah “down payment” dari sumber
dana yang syah. Untuk memenuhi kekurangannya mereka akan membuka dua jenis
rekening pinjaman, satu dari sumber yang syah dan yang lainnya dari sumber dana
uang haramnya.
Pembayaran kembali hutang
ditambah bunganya akan diperlakukan sebagai pembayaran hutang yang sah.
Penghasilan dari investasi di dalam negeri yang telah didukung dengan dokumen
yang memadai telah menjadi suatu transaksi keuangan yang memenuhi persyaratan
legal formal. Dengan demikian pelaku dapat secara bebas menggunakan dananya,
dan dapat “meminjam” kembali uang haram berikutnya, sehingga siklusnya akan
berjalan secara otomatis. Banyak contoh-contoh lain yang bisa dikemukakan
seperti, pemanfaatan transaksi-tansaksi fiktif melalui “shell company” maupun
“paper company”, pemanfaat sarana perjudian yang oleh beberapa negara
dianggap sebagai bisnis yang legal, penggunaan galeri-galeri seni dan lembaga
pelelangan benda dan barang antik yang sangat sulit ditentukan nilai
kewajarannya.
IV.
TINJAUAN DARI BEBERAPA ASPEK
a.
Aspek Filosofis
Landasan filosofis
merupakan landasan yang memuat falsafah mengenai nilai keadilan sebagai hasil
perenungan tentang nilai-nilai, perumusan nilai-nilai dan penyerasian
nilai-nilai untuk mewujudkan nilai keadilan yang terkandung di dalam sila-sila
dari Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Landasan filosofis dari
pembentukan UUTPPU ini adalah:
a. Melindungi/menjaga
perekonomian nasional dan keamanan negaraPerbuatan pencucian uang disamping
sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat
mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan
negara.
Landasan filosofis ini dirumuskan dalam konsiderans menimbang
pada huruf c dari UU-TPPU, yang berbunyi:
“bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas
agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang
jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional
dan keamanan Negara terjaga”.Dikaitkan dengan falsafah bangsa Indonesia
yaitu Pancasila, rumusan konsiderans tersebut terkait dengan sila Keadilaan
Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia.
b. Penegakan
hukum, yaitu untuk turut melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan
pencucian uang yang melampaui batas wilayah Negara, yang dirumuskan dalam
konsiderans menimbang huruf d dari UU-TPPU yang berbunyi:
“bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional
tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara
lain dengan cara melakukan kerjasama regional atau international melalui forum
bilateral atau multilateral”.
Dikaitkan
dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila, rumusan konsiderans tersebut
ingin mewujudkan keadilan berlandaskan pada sila Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, yang menunjukkan hubungan serasi antar manusia perseorangan, antar
kelompok ataupun antara orang dengan kelompok sebagai suatu peradaban yang merupakan
kodrat khusus manusia.
Peradaban
ini menunjukkan sifat yang positif dari kalbu manusia, yaitu mampu “mulat
sarira” dan selalu harus “tepa salira” terhadap orang lain yang
dilandasi dua asas, yaitu:
1)
asas “neminem laedere” atau jangan merugikan orang lain,
sebagai sendi equality bagi pergaulan hidup yang merupakan satu kutub dalam
citra keadilan;
2)
asas “suum cuique tribuere” atau bertindaklah sebanding,
sebagai sendi yang mengarahkan agar disamakan apa yang tidak beda, dan
dibedakan apa yang tidak sama.
b.
Aspek Yuridis
Analisis
UU-TPPU dari segi landasan yuridis adalah untuk mengetahui dasar kewenangan
membentuk produk hukum dari segi bentuk dan pembentuknya. Secara yuridis
pembentukan UU-TPPU yang dilakukan oleh Presiden dan DPR merupakan proses
pembentukan undangundang melalui suatu prosedur pembentukan peraturan
perundang-undangan untuk menjaga/menjamin keabsahannya.
Mengingat
kejahatan pencucian uang adalah suatu kejahatan dimana bentuk, materi dan
substansinya merupakan kejahatan transnasional, maka produk hukum pemberantasan
tindak pidana pencucian uang harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, yang
dibentuk oleh lembaga tinggi negara yang berwenang membentuk undang-undang,
yaitu Presiden dan DPR. UU-TPPU ini merupakan suatu produk hukum yang sah
(valid) secara yuridis, karena pembentukannya dilakukan melalui prosedur dan memenuhi
syarat-syarat pembentukan undangundang, yaitu:
a. Dibentuk
oleh lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR,
berdasarkan UUD-1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi.
b. Adanya
kesesuaian bentuk dan pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Presiden
dan DPR sebagai pembentuk produk hukum yang berbentuk undangundang.
c. Tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pelaksanaan
UU-TPPU. Hal ini dapat dilihat dari rumusan yang terdapat di dalam klausula
mengenai:
1)
Hukum Acara
Pasal 30 UU-TPPU menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di persidangan dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Hukum Acara Pidana.
2)
Sistim pembuktian
Pasal 38 huruf a UU-TPPU menyatakan alat bukti pemeriksaan
tindak pidana pencucian uang berupa alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana.
3)
Kerjasama internasional. Pasal 44 menyatakan, bahwa dalam rangka
pelaksanaan UU-TPPU dapat dilakukan kerjasama regional dan internasional sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.
Aspek Sosiologis
Analisis
suatu perundang-undangan dari landasan sosiologis menyangkut dua aspek yaitu
aspek efektivitas dari keberadaan suatu peraturan perundang-undangan, dan aspek
keterkaitannya dengan pihak-pihak lain yang mempunyai kehendak terhadap pembentukan
suatu produk hukum.
v Efektivitas
Agar
pembentukan UU-TPPU dapat terlaksana secara efektif, di dalam ketentuan
peratuan perundang-undangan ini dimuat klausuklausul yang mendukung efektivitas
tersebut, yaitu:
1) Pasal 33
ayat (2) mengatur pengecualian dari ketentuan undang-undang yang mengatur tentang
kerahasiaan bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
2) Pasal 35
mengatur masalah pembuktian terbalik, guna kelancaran persidangan.
3) Pasal 36
mengatur mengenai ketentuan in absentia, dengan tujuan agar proses
persidangan dapat tetap dilaksanakan.
Namun demikian, efektifitas dari UU-TPPU ini masih perlu diuji dan dikaji
lebih lanjut mengingat undang-undang ini masih relatip baru, serta masih
lemahnya penegakan hukum di Indonesia sebagaimana terlihat dari penanganan
kasus-kasus tindak pidana korupsi yang tidak jelas penyelesaiannya (lihat
kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI). Ketidakjelasan penyelesaian
kasus-kasus ini sudah barang tentu akan mempengaruhi efektifitas dari keberadaan
UU-TPPU.
v Keterkaitan
dengan pihak lain
Secara
empiris dapat dikatakan, bahwa pembentukan UU-TPPU dilatarbelakangi oleh kehendak
dan tekanan negara asing yaitu kelompok negara-negara pemberantas pencucian
uang (Financial Action Task Force - FATF). Sebagaimana diketahui FATF
telah memasukkan Indonesia sebagai negara yang banyak terdapat praktek korupsi.
dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup (most
corrupt country).
Dapat
dikatakan disini, bahwa pihak yang turut mempengaruhi pembentukan UU-TPPU yang
ditetapkan pada tanggal 17 April 2002 adalah kelompok negara-negara FATF. Hal
ini dapat dilihat dari masih adanya keberatan (tekanan) FATF yang mengancam
akan mengenakan counter measure (perbankan Indonesia akan mengalami
kesulitan melakukan transaksi dengan bank-bank lain di semua negara anggota
FATF) terhadap Indonesia apabila Indonesia tidak memperbaiki (amandemen) kelemahan
UU-TPPU, bahkan Amerika mengancam akan menerapkan Patriot Act 311 (undang-undang
yang mewajibkan semua perusahaan Amerika Serikat mengambil tindakan terhadap negara
yang dianggap merugikan ekonomi Amerika Serikat) jika Indonesia tidak melakukan
amandemen UU-TPPU. Oleh karena itu dari analisis tersebut dapat dikatakan,
bahwa secara sosiologis pembentukan UU-TPPU mencerminkan kehendak dan tekanan dari
negara-negara anggota FATF dan AS.
d.
Aspek Politis
v Hukum
sebagai produk politik
Landasan
politis suatu perundang-undang adalah landasan untuk melihat suatu konfigurasi politik
yang bagaimana dan karakter produk hukum macam apa yang dihasilkan dalam
pembentukan suatu perundang-undangan. Dari konfigurasi ini akan dapat diketahui
bahwa politik dan hukum merupakan variable yang menunjukkan keterpengaruhan
satu terhadap yang lainnya. Secara empiris, politik merupakan variabel berpengaruh
(variabel independen) dan hukum merupakan variabel terpengaruh (variable
dependen). Dengan demikian maka hukum merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
v Undang-undang
Nomor 15 tahun 2002 sebagai produk politik
Undang-undang
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diundangkan pada 17
April 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,
dibentuk dengan tujuan untuk memberantas tindak pidana pencucian uang atau
harta kekayaan yang diperoleh dari berbagai tindak kejahatan melalui sistem
keuangan (financial system), terutama sistem perbankan (banking
system).
Latar
belakang pembentukan UU-TPPU ini, yaitu meningkatnya berbagai kejahatan yang dilakukan
melintasi batas wilayah negara lain, secara politis akan mempengaruhi
kebijaksanaan hukum (legal policy) pemerintah Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dengan adanya tekanan secara politis oleh negara-negara anggota FATF terhadap
Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sehingga pemerintah
Indonesia mengambil kebijaksanaan hukum dengan membentuk UU-TPPU.
Tekanan eksternal ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, diantaranya pada Bab VIIIA
mengenai Ketentuan Lain dan dirumuskan dalam pasal 44B, yang berbunyi: “Dalam
hal ada perkembangan konvcensi internasional atau rekomendasi internasional di
bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat
melaksanakan ketentuan tersebut menurut undang-undang ini sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”
Apa yang
dialami Indonesia dalam hal tersebut menunjukkan proses interaksi dari kehendak
dan peranan dari negara-negara anggota FATF dan Amerika Serikat dalam susunan
sistem politik yang mengkristal dalam suatu produk hukum Indonesia berupa
UU-TPPU dan amandemennya.
v Kelemahan
UU-TPPU
Walaupun
telah dilakukan amandemen, UUTPPU masih mengandung kelemahan, yaitu mengenai
jangka waktu pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dinyatakan bahwa, Penyedia Jasa Keuangan
wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan paling lambat 14 (empatbelas)
hari kerja. Dalam amandemen, jangka waktu tersebut diubah menjadi 3 (tiga)
hari.
Tentu kita
semua tahu jangka waktu 3 hari masih tergolong jangka waktu cukup lama, karena
jangka waktu 3 (tiga) hari kerja merupakan tempo yang dapat memberi keleluasaan
kepada pelaku tindak pidana pencucian uang untuk melakukan antisipasi terhadap
hasil kejahatannya, yaitu dengan menggunakan perkembangan teknologi saat ini
yang memungkinkan orang melakukan transaksi keuangan dalam waktu yang singkat.
V.
SIMPULAN
Dari uraian
analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa UU-TPPU, merupakan produk hukum yang :
1.
Dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang, yaitu Presiden dan
DPR, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (konstitusi).
2.
Pembentukannya berlandaskan pada dan tidak bertentangan dengan
norma hukum yang lebih tinggi dan peraturan perundangundangan lainnya.
3.
Mengandung muatan politis, karena adanya pengaruh eksternal.
4.
Masih mengandung kelemahan dalam salah satu pasalnya.
......SEKIAN......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar