DUALISME HUKUM PIDANA DI NANGROE ACEH DARUSSALAM :
ANALISIS TERHADAP DAMPAK
PENERAPAN HUKUM ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini,
para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar
dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama
Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan salah satu pasal dari UUD
1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan
ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam
dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk
melaksanakan ajaran agama. Dengan
demikian pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh
terhadap Hukum Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen
bangsa di mana pun mereka berada dengan tanpa kecuali.
Secara historis terlihat adanya upaya simultan kelompok
Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia untuk berkeinginan mewarnai dasar
negara dengan nuansa keisalaman. Hal ini telah dimulai sejak awal kemerdekaan
diperoleh dan berkesinambungan sampai era reformasi sekarang ini, misalnya; a).
Perbincangan Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berakhir dengan
kesepakatan penghapusan tujuh kata “… dengan kewajiban menjalankan syari`at
Islam bagi pemeluknya”, dan penghapusan ini diganti dengan klausa
“Ketuhanan Yang Mahaesa”, sebagai prinsip monotheisme yang sama-sama dimiliki
seluruh anak bangsa sebagai penganut agama. Dengan
hal ini, kelompok Islam juga turut merasa memiliki di dalamnya., b). Perdebatan
sengit Majelis Konsituante (1956-1959).
Partai-partai Islam yang dimotori oleh Masyumi, NU, dan
PSII berupaya untuk menghidupkan kembali ide islamisme ini, tetapi karena
kelompok ini tidak cukup kuat dibanding dengan kelompok Nasionalis, mereka
hanya memperoleh 43 persen suara (114 kursi dari 257 kursi yang ada) lalu ide
ini pun kandas juga., c) Terakhir, ide
menghidupkan kembali Piagam Jakarta lewat amandemen ke IV pasal 29 UUD 1945
tentang agama yang muncul di era reformasi ini oleh beberapa partai, juga tetap
gagal. Dengan demikian, sampai saat ini
bangsa Indonesia tetap konsisten dengan dasar negara yang netral agama
tersebut.
Nuansa baru dinamika bangsa saat ini ditandai dengan
menguatnya posisi Daerah untuk mengatur dirinya sendiri, istimewa sekali
Nangroe Aceh Darussalam (NAD) karena telah diberi kesempatan untuk menerapkan
syari`at Islam. Era reformasi ternyata telah secara serta merta menggebrak
pintu Otonomi Daerah di seluruh Indonesia, bahkan otonomi yang seluas-luasnya
bagi NAD untuk dapat melaksanakan sayari`at Islam, hal ini sejalan dengan
maksud kelahiran UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
Kemudian lebih dipertegas lagi dengan lahirnya UU No.18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134). Terakhir, lebih
dioperasionalkan lagi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) 11
Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah
Propinsi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dengan
hal ini dimungkinkan lahirnya hukum pidana Islam di NAD meskipun berbeda dengan
hukum pidana Indonesia yang berlaku secara umum di Nusantara ini.
II.
NANGROE
ACEH DARUSSALAM
A.
LETAK GEOGRAFIS
Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah propinsi di Indonesia dari 33 propinsi yang
ada, ibu kotanya Banda Aceh (dahulu dikenal dengan nama Kuta Raja). Secara
territorial daerah ini terletak pada posisi sebelah Barat paling ujung
Indonesia, dia berada persis di ujung pulau Sumatera yang secara langsung berbatasan dengan dunia
luar pada Selat Malaka di bagian Utara dan Timur, dan Samudra Indonesia di
bagian Barat, selanjutnya sebelah selatan secara langsung berbatasan dengan
Daerah Sumatera Utara, karenanya, pinggiran (perbatasan) daerah ini lebih
banyak dikelilingi lautan dari pada daratan.
Sampai
pada bulan Juli 2005, posisi geagrafis daerah ini dalam bentuk tabel, adalah
sebagai berikut :
LETAK GEOGRAFIS PROPINSI NAD
1
|
Nama Daerah
|
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
|
2
|
Status
|
Otonomi Khusus
|
3
|
Letak
|
02-06 derajat Lintang Utara
95-98 derajat Lintang Selatan
|
4
|
Luas Daerah
|
5.736.557,- Km
|
5
|
Tinggi Rata-rata
|
125 m di atas permukaan laut
|
6
|
Batas daerah :
-
Sebelah
Utara
-
Sebelah
Selatan
-
Sebelah
Timur
-
Sebelah
Barat
|
Berbatas dengan :
Selat Malaka
Propinsi Sumatera Utara
Selat Malaka
Samudera indonesia
|
7
|
Daerah melingkupi
|
-
119
Pulau
-
35
Gunung
-
73
Sungai Penting
|
8
|
Banyaknya Daerah Tingkat II
|
-
17
Kabupaten
-
04
Kota
|
9
|
Banyaknya Kecamatan
|
228
|
10
|
Banyaknya Mukim
|
642
|
11
|
Banyaknya Kelurahan
|
112
|
12
|
Banyaknya Desa
|
5.947
|
Lahan
yang tersedia di NAD berjumlah 5.736.557,00 Ha. Dengan penggunaan sebagai
berikut :
LUAS PROPINSI
NANGROE ACEH DARUSSALAM
MENURUT
PENGGUNAAN LAHAN
NO
|
PENGGUNAAN
LAHAN
|
LUAS (HA)
|
PERSENTASE
|
1
|
Perkampungan
|
112.657,43
|
1,96
|
2
|
Industri
|
3.868,92
|
0,07
|
3
|
Pertambangan
|
443,00
|
0,01
|
4
|
Persawahan
|
314.140,68
|
5,48
|
5
|
Pertanian
tanah kering
|
117.161,12
|
2,04
|
6
|
Kebun
|
294.934,01
|
5,14
|
7
|
Perkebunan
:
-
Perkebunan besar
- Perkebunan Kecil
|
205.550,75
367.501,78
|
3,58
6,41
|
8
|
Padang
rumput, alang-alang, semak
|
223.985,00
|
3,91
|
9
|
Hutan
(lebat, belukar, sejenis)
|
3.929.420,05
|
68,50
|
10
|
Perairan
Darat (kolam air tawar, tambak,
penggaraman, waduk, danau, rawa)
|
132.168,41
|
2,30
|
11
|
Tanah
Terbuka
(tandus,
rusak, land clearing)
|
18.574,35
|
0,32
|
12
|
Lain-lain
|
16.151,50
|
0,28
|
J U M L A H
|
5.736.557,00
|
100,00
|
Daerah
ini juga merupakan pusat gempa bumi yang senantiasa menggetarkan NAD, di
antaranya gempa bumi dan sunami dahsyat yang telah menyentakkan dunia karena
telah merenggut ratusan ribu jiwa manusia, yang terjadi 26 Desember 2004.
Karenanya NAD merupakan daerah yang rawan gempa, dengan penampakan sbb.
BANYAKNYA GEMPA BUMI SETIAP BULAN
NO
|
B U
L A N
|
JUMLAH GEMPA TERCATAT
|
||
Pusat di
Prop. NAD
|
Pusat di luar
Prop. NAD
|
Jumlah
|
||
1
|
Januari
|
164
|
7
|
171
|
2
|
Pebruari
|
126
|
1
|
127
|
3
|
Maret
|
102
|
15
|
117
|
4
|
April
|
136
|
3
|
139
|
5
|
Mei
|
100
|
21
|
121
|
6
|
Juni
|
140
|
5
|
145
|
7
|
Juli
|
121
|
12
|
133
|
8
|
Agustus
|
117
|
7
|
124
|
9
|
September
|
111
|
111
|
122
|
10
|
Oktober
|
116
|
20
|
136
|
11
|
November
|
119
|
13
|
132
|
12
|
Desember
|
115
|
24
|
139
|
J U
M L A H
|
1.467
|
139
|
1.606
|
Dapat
ditambahkan bahwa sejak tanggal 26 Desember 2004 (pasca gempa dan sunami
dahsyat yang terjadi di NAD) sampai sekarang tanggal 8 Maret 2006 ( selama 14
bulan) ternyata kuantitas gempa itu meningkat tajam lagi, yaitu tercatat telah
terjadi gempa sebanyak 10.709 kali. Secara
kuantitas hal ini meningkat kira-kira 6 kali lipat jumlah gempa yang
terjadi pada tahun 2003 seperti terlihat
pada penjelasan di atas. Peningkatan ini dimungkan sebagai rentetan dari gempa bumi
yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut.
B.
KEADAAN PENDUDUK
Berdasarkan data
Sensus Penduduk Aceh & Nias (SPAN) pasca gempa bumi dan sunami yang terjadi
pada tanggal 26 Desember 2004 yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Statistik
Sosial (BPS) bekerjasama dengan Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan BAPPENAS,
serta Lembaga Donor Internasional UNFPA pada tanggal 26 Desember 2005 dapat
disimpulkan bahwa jumlah penduduk NAD secara keseluruhan setelah peristiwa
gempa bumi dan sunami tersebut adalah 4.031.589,- orang, dengan klasifikasi
3.970.853,- orang yang memiliki tempat tinggal atau tersedia tempat tinggalnya,
dan 60.736,- orang yang tidak tersedia tempat tinggalnya. Inilah data terakhir tentang jumlah penduduk
NAD yang dapat dipedomani sampai saat ini.
Dari jumlah penduduk
seperti dikemukakan di atas, secara keseluruhan tersebar pada 21 Kabupaten/
Kota yang ada di NAD sebagai berikut:
SEBARAN
PENDUDUK BERDASARKAN
KABUPATEN/ KOTA DAN JENIS KELAMIN
NO
|
KABUPATEN/
KOTA
|
LAKI-
LAKI
|
PEREM-
PUAN
|
JUMLAH
|
PER-
SEN
|
1
|
Simeulue
|
40.519,-
|
37.870,-
|
78.389,-
|
01,9
|
2
|
Aceh Singkil
|
75.177
|
73.100,-
|
148.277,-
|
03,7
|
3
|
Aceh Selatan
|
93.684
|
97.855,-
|
191.539,-
|
04,8
|
4
|
Aceh Tenggara
|
84.143,-
|
84.910,-
|
169.053,-
|
04,2
|
5
|
Aceh Timur
|
150.785,-
|
153.858,-
|
304.643,-
|
07,6
|
6
|
Aceh Tengah
|
81.016,-
|
79.533,-
|
160.549,-
|
04,0
|
7
|
Aceh Barat
|
76.932,-
|
73.518,-
|
150.450,-
|
03,7
|
8
|
Aceh Besar
|
152.377,-
|
144.164,-
|
296.541,-
|
07,4
|
9
|
Pidie
|
228.404,-
|
245.955,-
|
474.359,-
|
11,8
|
10
|
Bireuen
|
169.767,-
|
182.068,-
|
351.835,-
|
08,7
|
11
|
Aceh Utara
|
241.942,-
|
251.728,-
|
493.670,-
|
12,2
|
12
|
Aceh Barat Daya
|
58.809,-
|
58.867,-
|
117.676,-
|
02,9
|
13
|
Gayo Lues
|
35.488,-
|
36.557,-
|
72.045,-
|
01,8
|
14
|
Aceh Tamiang
|
118.581,-
|
116.733,-
|
235.314,-
|
05,8
|
15
|
Nagan raya
|
61.609
|
62.134,-
|
123.743,-
|
03,1
|
16
|
Aceh Jaya
|
31.495,-
|
29.145,-
|
60.640,-
|
01,5
|
17
|
Bener Meriah
|
53.166,-
|
52.980,-
|
106.146,-
|
02,6
|
18
|
Banda Aceh
|
93.074,-
|
83.829,-
|
176.903,-
|
04,4
|
19
|
Sabang
|
14.663,-
|
13.934,-
|
28.597,-
|
00,7
|
20
|
Langsa
|
68.518,-
|
69.068,-
|
137.586,-
|
03,4
|
21
|
Lhokseumawe
|
75.614,-
|
78.020,-
|
153.634,-
|
03,8
|
T O T A L
|
2.005.763,-
|
2.025.826,-
|
4.031.589,-
|
100,0
|
C.
KEHIDUPAN BERAGAMA
Kehidupan
beragama di NAD cukup kondusif. Secara umum konsep trilogi kerukunan umat
beragama berjalan dengan baik. Perseteruan masyarakat atas dasar perbedaan
agama hampir tidak pernah terjadi, demikian juga dengan perseteruan atas dasar
internal umat beragama tersebut, hanya saja perseteruan masyarakat beragama,
terutama Islam dengan Pemerintah sedikit mengalami kendala, dalam hal ini
dicontohkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu adanya segelintir
masyarakat yang mengatasnamakan demi terselenggaranya penegakan syari`at Islam
yang kaffah harus memisahkan diri dari NKRI, lalu memicu terjadinya
disharmonisasi hubungannya dengan Pemerintah.
Berikut ini dikemukakan data penduduk
NAD berdasarkan kelompok agama sebagai berikut
JUMLAH PENDUDUK
BERDASARKAN AGAMA
DI KABUPATEN KOTA SE NAD
NO
O
|
KABUPATEN/
KOTA
|
A G
A M A
|
JUMLAH
|
||||
Islam
|
Kristen
|
Katol.
|
Hindu
|
Budha
|
|||
1
|
Kota B. Aceh
|
247.976
|
1.319
|
1.748
|
34
|
3.094
|
254.171
|
2
|
Kota Sabang
|
24.285
|
486
|
184
|
-
|
307
|
25.262
|
3
|
Kab. Aceh Besar
|
277.996
|
224
|
194
|
42
|
64
|
278.524
|
4
|
Kab. Pidie
|
519.181
|
16
|
17
|
-
|
203
|
519.417
|
5
|
Kab. Aceh Utara
|
487.503
|
42
|
6
|
14
|
526
|
488.091
|
6
|
Kab. Aceh Timur
|
334.133
|
13
|
-
|
-
|
33
|
334.179
|
7
|
Kab. A. Tengah
|
149.478
|
191
|
-
|
11
|
244
|
149.924
|
8
|
Kab. A. Tenggara
|
138.158
|
28.105
|
1.030
|
-
|
-
|
167.293
|
9
|
Kab. Aceh Barat
|
173.899
|
94
|
71
|
592
|
6
|
174.662
|
10
|
Kab. Aceh Selatan
|
107.065
|
39
|
-
|
76
|
-
|
107.180
|
11
|
Kab. Simeulu
|
70.689
|
47
|
6
|
4
|
4
|
70.750
|
12
|
Kab. Aceh Singkil
|
133.971
|
5.614
|
3
|
-
|
3
|
139.591
|
13
|
Kab. Bireuen
|
376.952
|
189
|
-
|
32
|
237
|
377.410
|
14
|
Kota Langsa
|
117.477
|
165
|
8
|
13
|
105
|
117.768
|
15
|
Kota Lhoksemawe
|
162.025
|
475
|
250
|
42
|
742
|
163.534
|
16
|
Kab.A. Barat Daya
|
272.615
|
1
|
2
|
-
|
94
|
272.712
|
17
|
Kab. Gayo Lues
|
76.818
|
-
|
-
|
-
|
-
|
76.818
|
18
|
Kab.A. Tamiang
|
250.975
|
482
|
285
|
67
|
986
|
252.777
|
19
|
Kab. Aceh Jaya
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
20
|
Kab. Nagan Raya
|
143.964
|
11
|
2
|
2
|
16
|
143.995
|
21
|
Kab. Bener Meriah
|
117.749
|
8
|
-
|
-
|
-
|
117.757
|
J U M L A H
|
4.182.891
|
37.521
|
3.810
|
929
|
6.664
|
4.231.815
|
|
PERSENTASE
|
98,84 %
|
0,89 %
|
0,09%
|
0,02 %
|
0,16 %
|
100 %
|
Data
tersebut memperlihatkan bahwa penduduk NAD pada umumnya beragama Islam, yaitu
sebesar 98,84 %, sedang non muslim secara keseluruhan adalah penduduk minoritas
yang sangat kecil jumlahnya, yaitu 1, 16 %, dan ini diklasifikasi kepada 4
(empat) penganut agama, yaitu Kristen Protestan sebanyak 0,89 %, Katolok 0,09
%, Hindu 0,02 %, dan Budha sebanyak 0,16 %.
Meskipun
di NAD dijumpai non muslim sebesar 1,16 % namun tidak dijumpai anggota DPRD
yang tidak beragama Islam. Semua DPRD TK.I Propinsi, demikian juga dengan TK.II
Kabupaten Kota adalah beragama Islam. Terlepas
dari aspek keterwakilan mereka untuk menampung aspirasi yang mereka emban,
mungkin karena sedikitnya jumlah mereka ini maka untuk memenangkan anggota DPR
yang non muslim pada saat pemilu tidak dapat diupayakan.
Berikut
ini dikemukakan data tentang rumah ibadah, dan kerusakan yang terjadi akibat
gempa bumi dan sunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, sebagai
berikut :
TEMPAT IBADAH
DAN KERUSAKAN BERAT DAN RINGAN
AKIBAT GEMPA
DAN SUNAMI 26 DESEMBER 2004
SERTA PRAKIRAAN KERUGIAN
NO
|
TEMPAT IBADAH
|
BUAH
|
%
|
RUSAK BERAT/
RINGAN
|
%
|
JLH Keru-
gian Dalam
Juta Rp
|
1
|
Mesjid/Mushalla
/Meunasah
|
11.056
|
97,3 %
|
1.059
|
9,6 %
|
423.600,-
|
2
|
Gereja
|
177
|
1,6 %
|
8
|
4,5 %
|
3.200,-
|
3
|
Wihara dan Kuil
|
123
|
1,1 %
|
21
|
1,6 %
|
800,-
|
J U
M L A H
|
11.365
|
100 %
|
1069
|
15,5 %
|
427.600,-
|
D.
HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGROE ACEH DARUSSALAM
Sampai sekarang ini belum ada qanun khusus yang mengatur
tentang hukum pidana Islam di NAD, tetapi hukum pidana Islam itu masih tersebar
pada qanun-qanun yang ada. Setelah diteliti ternyata baru ada 5 qanun yang
memuat hukum pidana Islam tersebut sebagai berikut;
1.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, tentang Pelaksanaan syari`at
Islam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar Islam,
2.
Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang Minuman khamar dan
sejenisnya,
3.
Qanun Nomor 13
Tahun 2003, tentang Maisir (perjudian),
4.
Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang Khalwat (Mesum),
5.
Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat.
Keseluruhan hukum pidana Islam yang dimuat pada kelima
macam qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu;
a.
Hudud (Hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan
ukurannya)
Mengingat hudud
ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka maka hakim tidak
punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam kesempatan ini hakim
hanya memiliki kesempatan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu
benar telah dilakukan, atau pun tidak,” bila ini telah jelas dilakukan maka
hakim tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu.
Sejalan dengan ketentuan hudud seperti dikemukakan di
atas, ternyata Daerah NAD baru menetapkan satu kasus hudud saja, yaitu tentang
“mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman
cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini
bukanlah atas dasar hasil pemikiran Pemerintah NAD dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat
puluh kali, tetapi berupa ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan
hukuman seperti ini telah tegas
tercantum di dalam nas syari`at. Dengan demikian Pemerintah NAD tinggal
mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja.
Direncanakan bahwa kasus kedua menyangkut hudud ini
adalah tindak pidana pencurian dengan sanksi hukuman potong tangan. Sampai
sekarang, hal ini belum diterapkan, karena untuk tindak pidana pencurian ini belum
ada aturannya. Diperkirakan dalam masa dekat (tahun 2006) ini Perda/ Qanun
tentang pencurian akan lahir, sekarang masih bersifat Ranperda, naskah
akademiknya telah selesai, namun belum sampai ke tangan MPU dan Dinas Syari`at,
dan jelas belum disidangkan oleh DPRD NAD. Dengan demikian kasus pencurian ini
belum termasuk kasus yang sudah diterapkan sekarang ini di NAD.
b.
Ta`zir (Hukuman yang diberi kebebasan bagi hakim
untuk menentukannya)
Mengingat adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman
dalam kasus ta`zir ini maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa
hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya
sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang
akurat dalam hal ini sangat diperlukan.
Sejalan dengan hal ini, DPRD NAD telah mencoba
mengkonkritkan hukum ta`zir pada kelima kasus seperti dikemukakan di atas
sehingga pada saat hakim hendak memutuskan perkara, hakim tersebut telah
memiliki aturan yang jelas untuk diberlakukan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat bahwa hukum ta`zir tersebut telah dijabarkan ke dalam lima bentuk,
sebagai berikut :
1)
Hukum Cambuk;
Contoh,
Hukuman cambuk maksimal 12 kali, minimal 6 kali bagi pelaku judi (maisir)
2)
Hukum Denda;
Contoh,
Hukuman denda maksimal membayar Rp 35.000.000,- minimal Rp 15.000.000,- bagi
orang yang a). Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang
akan melakukan perjudian (maisir)., b). Menjadi pelindung perbuatan perjudian.,
c). Memberi izin usaha penyelenggaraan perjudian.
3)
Hukum Penjara;
Contoh, Hukuman
kurungan maksimal 6 bulan, minimal 2 bulan bagi yang memberikan fasilitas dan
atau melindungi orang melakukan
perbuatan khalwat (mesum).
4)
Hukuman Administratif;
Contoh, Dicabut
izin usahanya bagi perusahaan pengangkutan yang tidak memberi kesempatan dan
fasilitas kepada pengguna jasa untuk shalat fardhu.
5)
Hukuman Kumulasi dari hal tersebut di atas;
Contoh,
Menggabung hukuman cambuk dengan hukuman denda
6)
Hukuman Berpilih dari hal tersebut di atas;
Contoh, Memilih
hukuman denda dengan meninggalkan hukuman cambuk.
E.
DUALISME HUKUM PIDANA DI NAD
Terjadinya kekhawatiran dualisme hukum pidana di NAD
adalah antara hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana
NAD yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan
syari`at Islam di sisi yang lain. NAD sebagai sebuah propinsi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wawasan kebangsaan dan wawasan
bhinneka tunggal ika yang sama dengan Daerah lain di Nusantara, dia harus
berada dalam bingkai falsafah dan konstitusi Negara Pancasila dan UUD 1945,
jelas tidak ada tawar menawar akan hal ini karena terkait dengan keutuhan NKRI
itu sendiri.
Dengan tidak mengabaikan akan hal itu, ternyata realitas
telah menampakkan nuansa baru dalam memaknai dan menjabarkan arti dari NKRI itu
sendiri khusus untuk NAD, jika seluruh Daerah di Indonesia telah diberikan
status Otonomi Khusus, maka NAD telah
diberikan Otonomi yang seluas-luasnya untuk menjalankan syari`at Islam. Dengan
hal ini terlihat adanya kesempatan yang besar bagi NAD untuk mempola
pembangunan NAD ke arah yang lebih islami dibanding dengan Daerah lain di
Nusantara.
Adanya peran yang besar bagi masyarakat untuk
berpartisipasi membangun NAD menjadi sebuah
propinsi yang berbeda dengan Daerah lain di Nusantara jelas melahirkan
eksklusifisme NAD dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eksklusifinsme ini sangat rentan dengan asas equality before the law
(mempersamakan semua orang di bawah hukum), dan sangat subur dengan pemberian
hak-hak istimewa di luar yang berlaku secara umum. Dengan kenyataan seperti ini
otomatis akan melahirkan adanya dualisme hukum yang berwawasan Nasional dan
bhinneka Tunggal Ika di satu sisi, serta hukum yang berwawasan lokal dan
ke-Acehan pada sisi yang lain.
Dengan mengkaji latarbelakang serta sumber kedua hukum
ini tentu pikiran kita akan dapat mengklasifikasi bahwa di sana ada dua macam
hukum yang berbeda, dan tidak saling melingkupi, karenanya dengan menaati salah
satunya kita tidak dapat dinyatakan telah melaksanakan keduanya, dan dengan
melaksanakan keduanya di sana ada kemuskilan karena akan mengamalkan dua hal
yang berbeda oleh seorang subjek hukum pada satu kesempatan. Dengan mempertajam
pandangan ini akan lebih mengkontraskan kehadiran dualisme hukum seperti
dikemukakan di NAD sekarang ini. Untuk hal ini akan diberikan penjelasan lebih
rinci sebagai berikut;
Di satu sisi terpahami adanya dualisme hukum pidana di
NAD, yaitu Hukum Pidana Indonesia sebagai sesuatu yang bersifat umum seperti
yang tertuang di dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) karena NAD
adalah bagian integral dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, Qonun
(Perda) yang berdasarkan syari`at Islam dan dibuat oleh masyarakat NAD sendiri
sebagai sesuatu ketentuan yang lebih khusus karena NAD telah diberi otonomi
yang seluas-luasnya untuk menerapkan syari`at Islam berdasar UU No.18 Tahun
2001.
Penempatan kedua ini sebagai sesuatu yang
berhadap-hadapan tentu akan mempertajam pemaknaan terhadap dualisme hukum
pidana di NAD tersebut, bahkan dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian
hukum, dan keadilan hukum. Jelas bahwa dualisme hukum seperti dipersepsikan ini
akan menimbulkan kajian tersendiri dalam rangka mencari titik temu kebersamaan
seluruh komponen bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk menepis berbagai kekhawatiran dampak negatif yang
muncul akibat penerapan syari`at Islam bagi NAD tersebut, terutama adanya
dualisme hukum pidana yang dapat berakibat terhadap rontoknya asas kepastian
hukum, dan asas equality before the law, dan yang lainnya maka disajikan
uraian berikut ini.
Sejak awal perbincangan UU No.18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam telah disadari betul tentang akan munculnya kajian dualisme hukum di
NAD ini. Untuk tidak terjerembabnya NAD dalam ketidakpastian yang ditimbulkan
akibat dari dualisme hukum seperti dikemukakan maka para pemerakarsa hukum kita
telah mengantisipasinya dengan berbagai hal, sebagai berikut :
1.
Penegasan
hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
a.
Bidang
pertahanan negara
Dalam Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2004 dinyatakan; … Kewenangan
yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah.
Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam yang tidak bersifat rahasia Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.”
Mengingat pertahanan negara Republik Indonesia adalah
menjadi kewenangan Pemerintah pusat,
maka masyarakat NAD tidak boleh melahirkan qanun yang berkenaan dengan hal ini,
apalagi qanun yang sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat,
pengabaian terhadap hal ini dipahami sebagai melampaui kewenangan, dan tidak
dapat dilaksanakan, bahkan tidak dapat diberlakukan. Selanjutnya mengenai
pengaturan tata ruang pertahanan di wilayah NAD yang tidak bersifat rahasia
maka masyarakat NAD memiliki sedikit hak untuk berbicara dengan Pemerintah,
karenanya masyarakat NAD bisa merencanakan sesuatu untuk hal ini. Dengan
demikian menyangkut bidang pertahanan ini didominasi oleh Pemerintah Pusat.
b.
Bidang
keuangan
Bidang keuangan NAD diatur secara berimbang. Di samping
mengacu kepada UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah,
juga diatur di dalam pasal 4 – 7 UU No.18 Tahun 2001. Secara tekhnis, sampai
sekarang, penetuan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ini
belum dipertegas secara tuntas, meskipun UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh)
telah lahir dan mengamanatkan hal itu,
namun masih ada saja orang yang berkeinginan mempertanyakannya, sehingga hal
ini dipahami belum dapat diselesaikan secara tuntas dalam koridor asas keadilan
dan keseimbangan yang transparan.
2.
Qanun
dapat mengenyampingkan peraturan yang berlaku umum
Qanun (Perda) yang digali dan lahir dari masyarakat NAD
sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat NAD yang dipahami
sebagian besar memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku secara umum di
Nusantara mendapat tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di NAD.
Untuk persoalan masyarakat Aceh yang telah diatur oleh qanun maka qanunlah yang
akan diberlakukan.
Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang Undang No.
18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun
Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan
peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis
derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil
terhadap Qonun.” Dengan penjelasan
ini maka dipahami bahwa qanun sebagai suatu tatanan Peraturan Daerah akan dapat
mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum.
Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan,
kita tetap mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat lex infiriore
(secara hirarkis peraturan perundang undangan yang tingkatannya di bawah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sepanjang
kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem Negara yang masih
tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku secara
Nasional, misalnya bidang pertahanan kemanan, dan aspek tertentu dari keuangan
seperti dikemukakan.
Selain dari hal tersebut, maka Daerah ditentukan sebagai
ujung tombak Pembangunan Nasional, dan Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur
dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam melahirkan Perda/
Qonun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah tersebut, karenanya sangat
tepat memberlakukan prinsip hukum lex
specialis derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan
berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum), Daerah dapat saja memberlakukan
Perda yang dibuatnya sendiri sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan,
meskipun dengan mengesampingkan hukum yang bersifat umum dengan status
hirarkisnya yang lebih tuinggi.
Dengan demikian, NAD misalnya boleh saja memberlakukan
hukum cambuk dalam rangka mengamalkan qanun, meskipun mengabaikan hukum penjara
dalam rangka mengenyampingkan KUH Pidana. Hal ini bukan dalam rangka mengadakan
perlawanan hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh
UU No.18 Tahun 2001.
Sekarang ini memang ada suara anak bangsa yang mencoba
memberikan pendapat yang cukup tajam, dan mendasar meskipun sifatnya kecil,
mereka memahami tentang lahirnya Perda-perda yang berisi syari`at (dalam hal
ini dipahami NAD sebagai Daerah yang memperoleh kesempatan istimewa) telah
mengaburkan tujuan pendirian Bangsa ini sebagai bangsa yang nasionalis. Sejak
semula kita telah menghindari exklusivisme agama (terutama Islam); dalam Dasar
negara, dalam Piagam Jakarta, dalam sidang konstituante yang berakhir dengan
Dekrit 5 Juli 1959, dalam sikap ORBA tentang pengasastunggalam Pancasila bagi
seluruh kegiatan sosial dan politik di Indonesia, bahkan dalam amandemen UUD
1945 pada masa reformasi.
Justru sekarang ini penerapan syari`at itu telah lahir
secara terselubung di berbagai daerah lewat Perda-perda sebagai dampak dari
otonomi Daerah yang diberikan sekarang ini. Pandangan ini jelas menaruh
kecurigaan yang berlebihan tentang adanya penafsiran yang terlalu jauh terhadap
Dasar negara yang nasionalis itu, sehingga kelompok tertentu dari komponen
bangsa ini meraup keistimewaan.
3.
Hukum
Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat muslim saja
Dengan memperhatikan kandungan keseluruhan qanun yang ada
di NAD itu maka qanun-qanun tersebut ada dua macam, yaitu qanun sayari`at, dan
qanun non syari`at (yang berkenaan dengan aspek keduniaan semata). Khusus
menyangkut qanun syari`at hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang untuk
qanun yang non syari`at akan berlaku secara umum untuk masyarakat NAD secara
keseluruhan. Polarisasi ini tetap dalam kerangka mempertahankan asas kebebasan
menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing oleh masyarakat NAD.
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa
pemberlakuan hukum pidana Isalam yang
ada di NAD itu menganut asas
personalitas keislaman. Artinya, qanun-qanun sayari`at seperti dikemukakan di
atas hanya berlaku bagi umat Islam saja, sedang non muslim secara umum
(Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, bahkan penganut aliran Kepercayaan) tidak
termasuk di dalamnya, apalagi dipaksa untuk melaksanakannya, jelas tidak
mungkin sama sekali. Dengan demikian, bagi penduduk non muslim di NAD tidak ada
kesulitan untuk tetap tingal di NAD, karena mereka tetap tunduk kepada KUH
Pidana sebagai ketentuan hukum yang berlaku secara Nasional, di samping tetap
menaati qanun yang bersifat non sayari`at.
Kesimpulan seperti ini secara jelas dapat dipahami dari:
a)
Pasal 25, ayat (3) Undang Undang No.18 Tahun 2001
mengatakan;
“Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.”
b)
b). Perda No.5 Tahun 2000, pada pasal 2 ayat (2)
berbunyi;
“Keberadaan agama lain di luar agama Islam
tetap diakui di daerah ini, dan pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya
masing-masing.”
Sejalan dengan ini, Al Yasa` Abubakar
mengatakan bahwa penekanan utama pemberlakuan syari`at Islam di NAD adalah
dengan memperhatikan asas personalitas keislaman. Pemaknaan memberlakukan asas
personalitas keislaman di sini adalah, syari`at Islam itu hanya diberlakukan
bagi masyarakat dengan memperhatikan agama pelaku tindak pidana itu sendiri
harus benar-benar beragama Islam, lebih konkrit untuk hal ini bisa dilihat dari
Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya, pengamalannya, dan pengakuannya. Ketegasan ini membuat pengetahuan tentang
apa agama pelaku tindak pidana itu di
NAD menjadi sangat penting dalam hal penentuan penundukan hukum mereka.
Muslim Ibrahim mengatakan bahwa hukum Islam yang
diterapkan di NAD adalah murni berdasarkan syari`at Islam, karenanya hanya
diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang non muslim tidak termasuk di
dalamnya, soal urusan agama mereka biarlah mereka yang mengaturnya sendiri.
Dengan demikian qanun sebagai bagian dari hukum Islam yang berlaku di NAD hanya
diberlakukan bagi umat Islam semata.
Sekedar mengapresaiasi hal ini, terlihat bagi kita bahwa
pemberlakuan hukum Islam di NAD yang ada sekarang ini jelas masih berada dalam
koridor trilogi kerukunan umat
beragama, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama,
dan kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah, juga sejalan dengan
pedoman dasar dalam beragama bagi bangsa Indonesaia yang diatur pada pasal 29
UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan
masing-masing.
Dalam bentuk realitas, peristiwa seperti dikemukakan di
atas telah terjadi di NAD dan telah disikapi dengan tegas, dengan kesimpulan
bahwa bagi mereka yang nota bene non muslim itu tidak dapat diberlakukan hukum
Islam seperti apa yang ada di dalam qanun. Demikian tegasnya aturan hukum
secara normatif ini ditampilkan secara tertulis, dan dipraktekkan, namun
berbeda dengan keinginan masyarakat secara umum. Secara teoritis, dan praktis
dinyatakan bahwa hukum Islam hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang
masyarakat pada umumnya menginginkan lain, yaitu memberlakukan hukum Islam itu
bukan hanya untuk umat Islam tetapi termasuk bagi masyarakat Aceh secara umum,
baik muslim maupun non muslim. Keinginan ini tentu mengenyampingkan asas
keislaman, dan mengedepankan asas
territorial semata.
4.
Pemberlakuan
asas territorial
Suatu kajian yang mendasar dalam menetapkan peristiwa
hukum adalah menyangkut di mana hal itu dilakukan. Pertanyaan ini berkaitan
dengan lokasi atau tempat peristiwa hukum terjadi, hal ini sangat penting
sejalan dengan adanya perbedaan hukum masing-masing tempat. Indonesia sebagai
sauatu NKRI saja paling tidak sudah terpola kepada tiga macam, yaitu; 1). NAD
sebagai daerah yang telah diberi keleluasaan yang besar untuk menerapkan
syari`at Islam, 2). Daerah-daerah di Nusantara sebagai pemegang hak otonom
memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dalam aspek-aspek khusus
ayang telah diberi kebebasan untuk itu, 3). Hukum yang berlaku yang berlaku
umum untuk seluruh daerah Indonesaia. Adanya perbedaan hukum yang berlaku
berangkat dari pendekatan di mana peristiwa hukum ini dilakukan disebut dengan
asas territorial.
Di samping memperhatikan objek pelaku tindak pidana itu
di satu sisi juga diperhatikan tempat di mana tindak pidana itu dilakukan, maka
penentuan daerah NAD sebagai teritori yang dipedomani untuk dapat dinyatakan
berlakunya qanun adalah merupakan kemutlakan. Artinya, hanya tindak pidana yang
dilakukan di NAD sajalah yang menjadi perbincangan qanun-qanun itu, asalkan
tempatnya di NAD meskipun orangnya bukan masyarakat NAD tidak menjadi persoalan
lagi, yang penting mereka sedang berada di NAD. Dengan mencermati hal ini
terlihat bahwa asas territorial ini diberlakukan di NAD.
Dengan pemberlakuan asas personalitas keislaman, dan asas
territorial seperti dikemukakan di atas maka ada empat macam pedoman, sebagai
berikut :
a.
Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana
di NAD secara otomatis hukum Islam (qanun) diberlakukan bagi mereka.
b.
Untuk masayarakat muslim lainnya (masyarakat muslim bukan
Aceh) yang melakukan tindak pidana di NAD tetap diberlakukan hukum Islam.
c.
Untuk masyarakat NAD non muslim yang melakukan tindak pidana di NAD atau pun di
luar NAD tidak diberlakukan hukum Isalam sama sekali.
d.
Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana
di luar NAD juga tidak diberlakukan hukum Islam.
5.
Putusan
Kasasi dan Peninjauan kembali tidak dalam rangka menentang pemberlakuan
hukum Islam
Meskipun
Mahkamah Agung memiliki hak menguji dan membatalkan keputusan Pengadilan di
bawahnya, dan Mahkamah Agung hanya memiliki acuan yang nasionalis, tetapi dia
harus mendukung penerapan syari`at Islam di NAD. Mahkamah Agung akan dipahami
keliru bila lewat kasasi dan Peninjauan kembali, dia berani membatalkan
penerapan hukum Islam di NAD dengan mencari alternatif hukum lain. Logika yang
dikembangkan adalah, sikap mengukuhkan putusan Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah
Syari`ah Pripinsi di NAD adalah yang paling bijak, berarti Mahkamah Agung telah
mempedomani pesan yang diemban oleh UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No.18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi NAD. Dengan
demikian Mahkamah Agung harus memutus dalam sidang Kasasi atau Peninjauan
Kembali untuk perkara Hukum Pidana Islam dengan berpedoman kepada qanun yang
sudah dibuat oleh DPRD NAD.
Pemahaman
seperti di atas dikemukakan sejalan dengan Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2001
yang berbunyi;
“Hal
mendasar dari Undang Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber
ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia,
menumbuh kembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran
serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang
sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara
optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi NAD dalam memajukan
penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat
Islam dalam kehidupan bermasyarakat.”
Lebih
tegas lagi hal ini dijumpai dari Penjelasan Umum Undang Undang tersebut pada
alinea berikutnya. Di sana dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan
Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan
yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis,
dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.” Ini
mengisyaratkan bahwa Mahkamah Agung harus tidak mempergunakan hukum yang
bersifat umum itu sebagai pedoman dalam memutus pada sidang kasasi untuk
perkara yang bersumber dari daerah NAD, tetapi dia mesti berpedoman kepada
qanun, dalam rangka menopang berlakunya hukum Islam yang khusus berlakunya di
NAD. Lewat otonomi Daerah yang digelar di era reformasi ini maka Mahkamah Agung
harus menopang setiap produk hukum Daerah dalam rangka memperkokoh makna dari
otonomi Daerah tersebut.
Bila
Mahkamah Agung, misalnya berkeinginan untuk membatalkan hukum Islam yang
diberlakukan di NAD itu maka akan sama artinya dengan membatalkan Otonomi
Daerah yang Seluas-luasnya bagi NAD itu. Hilangnya kemandirian dan keleluasaan
masyarakat NAD untuk memberlakukan syari`at Islam, jelas merupakan sikap
pengebirian terhadap perjuangan panjang masyarakat Aceh yang sudah berhasil
diraih di era reformasi ini. Bila hal ini yang terjadi berarti Indonesia mundur
kembali kepada era sebelum reformasi.
F.
KESIMPULAN
Berlakunya syari`at Isalam di NAD tidak berimplikasi
kepada munculnya dualisme hukum pidana di NAD. Di satu sisi, hukum pidana di
NAD telah jelas, yaitu sepanjang telah diatur oleh qanun maka berlakulah qanun
tersebut, dan untuk hal yang belum diatur oleh qanun maka tetap berlaku KUH
Pidana sebagai kitab ketentuan hukum yang berlaku secara umum di Nusantara, dan
ini harus didukung oleh Mahkamah Agung sebagai pihak yudikatif tertinggi, Di
sisi lain menyangkut orang sebagai objek hukum yang mesti tunduk dan patuh
terhadapnya juga telah jelas, aturan
tentang siapa orang yang harus tunduk kepada qanun dan yang harus tunduk kepada
KUH Pidana telah dipahami lewat asas personalitas keislaman dan asas
territorial. Dengan ketegasan ini, maka adanya kemungkinan munculnya dualisme
hukum pidana yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum seperti yang
dikhawatirkan segelintir orang tidak akan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar