Minggu, 25 September 2011

ANALISIS TERHADAP DAMPAK PENERAPAN HUKUM ISLAM


DUALISME HUKUM PIDANA DI NANGROE ACEH DARUSSALAM :

 ANALISIS TERHADAP DAMPAK

PENERAPAN HUKUM ISLAM



I.                        PENDAHULUAN
Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama. Dengan demikian pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen bangsa di mana pun mereka berada dengan tanpa kecuali.
Secara historis terlihat adanya upaya simultan kelompok Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia untuk berkeinginan mewarnai dasar negara dengan nuansa keisalaman. Hal ini telah dimulai sejak awal kemerdekaan diperoleh dan berkesinambungan sampai era reformasi sekarang ini, misalnya; a). Perbincangan Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berakhir dengan kesepakatan penghapusan tujuh kata “… dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”, dan penghapusan ini diganti dengan klausa “Ketuhanan Yang Mahaesa”, sebagai prinsip monotheisme yang sama-sama dimiliki seluruh anak bangsa sebagai penganut agama. Dengan hal ini, kelompok Islam juga turut merasa memiliki di dalamnya., b). Perdebatan sengit Majelis Konsituante (1956-1959).
Partai-partai Islam yang dimotori oleh Masyumi, NU, dan PSII berupaya untuk menghidupkan kembali ide islamisme ini, tetapi karena kelompok ini tidak cukup kuat dibanding dengan kelompok Nasionalis, mereka hanya memperoleh 43 persen suara (114 kursi dari 257 kursi yang ada) lalu ide ini pun kandas juga., c) Terakhir, ide menghidupkan kembali Piagam Jakarta lewat amandemen ke IV pasal 29 UUD 1945 tentang agama yang muncul di era reformasi ini oleh beberapa partai, juga tetap gagal. Dengan demikian, sampai saat ini bangsa Indonesia tetap konsisten dengan dasar negara yang netral agama tersebut.


  Nuansa baru dinamika bangsa saat ini ditandai dengan menguatnya posisi Daerah untuk mengatur dirinya sendiri, istimewa sekali Nangroe Aceh Darussalam (NAD) karena telah diberi kesempatan untuk menerapkan syari`at Islam. Era reformasi ternyata telah secara serta merta menggebrak pintu Otonomi Daerah di seluruh Indonesia, bahkan otonomi yang seluas-luasnya bagi NAD untuk dapat melaksanakan sayari`at Islam, hal ini sejalan dengan maksud kelahiran UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi  Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara  Nomor 3839).
Kemudian lebih dipertegas lagi dengan lahirnya UU No.18 Tahun 2001 tentang  Otonomi Khusus  bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134). Terakhir, lebih dioperasionalkan lagi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Dengan hal ini dimungkinkan lahirnya hukum pidana Islam di NAD meskipun berbeda dengan hukum pidana Indonesia yang berlaku secara umum di Nusantara ini.

II.                     NANGROE ACEH DARUSSALAM
A.                     LETAK GEOGRAFIS
Nangroe Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah propinsi di Indonesia dari 33 propinsi yang ada, ibu kotanya Banda Aceh (dahulu dikenal dengan nama Kuta Raja). Secara territorial daerah ini terletak pada posisi sebelah Barat paling ujung Indonesia, dia berada persis di ujung pulau Sumatera  yang secara langsung berbatasan dengan dunia luar pada Selat Malaka di bagian Utara dan Timur, dan Samudra Indonesia di bagian Barat, selanjutnya sebelah selatan secara langsung berbatasan dengan Daerah Sumatera Utara, karenanya, pinggiran (perbatasan) daerah ini lebih banyak dikelilingi lautan dari pada daratan.
Sampai pada bulan Juli 2005, posisi geagrafis daerah ini dalam bentuk tabel, adalah sebagai berikut :

LETAK GEOGRAFIS PROPINSI NAD
1
Nama Daerah
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
2
Status
Otonomi Khusus
3
Letak
02-06 derajat Lintang Utara
95-98 derajat Lintang Selatan
4
Luas Daerah
5.736.557,- Km
5
Tinggi Rata-rata
125 m di atas permukaan laut
6
Batas daerah :
-          Sebelah Utara
-          Sebelah Selatan
-          Sebelah Timur
-          Sebelah Barat
Berbatas dengan :
Selat Malaka
Propinsi Sumatera Utara
Selat Malaka
Samudera indonesia
7
Daerah melingkupi
-          119 Pulau
-          35 Gunung
-          73 Sungai Penting
8
Banyaknya Daerah Tingkat II
-          17 Kabupaten
-          04 Kota
9
Banyaknya Kecamatan
228
10
Banyaknya Mukim
642
11
Banyaknya Kelurahan
112
12
Banyaknya Desa
5.947

Lahan yang tersedia di NAD berjumlah 5.736.557,00 Ha. Dengan penggunaan sebagai berikut :

LUAS PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM
MENURUT PENGGUNAAN LAHAN

NO
PENGGUNAAN LAHAN
LUAS (HA)
PERSENTASE
1
Perkampungan
    112.657,43
1,96
2
Industri
        3.868,92
0,07
3
Pertambangan
           443,00
0,01
4
Persawahan
    314.140,68
5,48
5
Pertanian tanah kering
    117.161,12
2,04
6
Kebun
    294.934,01
5,14
7
Perkebunan :
- Perkebunan besar
-  Perkebunan Kecil

    205.550,75
    367.501,78

3,58
6,41
8
Padang rumput, alang-alang, semak
    223.985,00
3,91
9
Hutan (lebat, belukar, sejenis)
 3.929.420,05
68,50
10
Perairan Darat  (kolam air tawar, tambak, penggaraman, waduk, danau, rawa)
    132.168,41
2,30
11
Tanah Terbuka
(tandus, rusak, land clearing)
     18.574,35
0,32
12
Lain-lain
     16.151,50
0,28

J U M L A H
5.736.557,00
100,00

Daerah ini juga merupakan pusat gempa bumi yang senantiasa menggetarkan NAD, di antaranya gempa bumi dan sunami dahsyat yang telah menyentakkan dunia karena telah merenggut ratusan ribu jiwa manusia, yang terjadi 26 Desember 2004. Karenanya NAD merupakan daerah yang rawan gempa, dengan penampakan sbb.

BANYAKNYA GEMPA BUMI SETIAP BULAN
NO
B  U  L  A  N
JUMLAH GEMPA TERCATAT
Pusat di Prop. NAD
Pusat di luar Prop. NAD
Jumlah
1
Januari
164
7
171
2
Pebruari
126
1
127
3
Maret
102
15
117
4
April
136
3
139
5
Mei
100
21
121
6
Juni
140
5
145
7
Juli
121
12
133
8
Agustus
117
7
124
9
September
111
111
122
10
Oktober
116
20
136
11
November
119
13
132
12
Desember
115
24
139

J  U  M  L  A  H
1.467
139
1.606

Dapat ditambahkan bahwa sejak tanggal 26 Desember 2004 (pasca gempa dan sunami dahsyat yang terjadi di NAD) sampai sekarang tanggal 8 Maret 2006 ( selama 14 bulan) ternyata kuantitas gempa itu meningkat tajam lagi, yaitu tercatat telah terjadi gempa sebanyak 10.709 kali. Secara kuantitas hal ini meningkat kira-kira 6 kali lipat jumlah gempa yang terjadi  pada tahun 2003 seperti terlihat pada penjelasan di atas. Peningkatan ini dimungkan sebagai rentetan dari gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut.

B.                     KEADAAN PENDUDUK
Berdasarkan data Sensus Penduduk Aceh & Nias (SPAN) pasca gempa bumi dan sunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Statistik Sosial (BPS) bekerjasama dengan Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan BAPPENAS, serta Lembaga Donor Internasional UNFPA pada tanggal 26 Desember 2005 dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk NAD secara keseluruhan setelah peristiwa gempa bumi dan sunami tersebut adalah 4.031.589,- orang, dengan klasifikasi 3.970.853,- orang yang memiliki tempat tinggal atau tersedia tempat tinggalnya, dan 60.736,- orang yang tidak tersedia tempat tinggalnya. Inilah data terakhir tentang jumlah penduduk NAD yang dapat dipedomani sampai saat ini.


Dari jumlah penduduk seperti dikemukakan di atas, secara keseluruhan tersebar pada 21 Kabupaten/ Kota  yang ada di NAD sebagai berikut:
SEBARAN PENDUDUK BERDASARKAN
KABUPATEN/ KOTA DAN JENIS KELAMIN
NO
KABUPATEN/
KOTA
LAKI-
LAKI
PEREM-
PUAN
JUMLAH
PER-
SEN
1
Simeulue
40.519,-
37.870,-
78.389,-
01,9
2
Aceh Singkil
75.177
73.100,-
148.277,-
03,7
3
Aceh Selatan
93.684
97.855,-
191.539,-
04,8
4
Aceh Tenggara
84.143,-
84.910,-
169.053,-
04,2
5
Aceh Timur
150.785,-
153.858,-
304.643,-
07,6
6
Aceh Tengah
81.016,-
79.533,-
160.549,-
04,0
7
Aceh Barat
76.932,-
73.518,-
150.450,-
03,7
8
Aceh Besar
152.377,-
144.164,-
296.541,-
07,4
9
Pidie
228.404,-
245.955,-
474.359,-
11,8
10
Bireuen
169.767,-
182.068,-
351.835,-
08,7
11
Aceh Utara
241.942,-
251.728,-
493.670,-
12,2
12
Aceh Barat Daya
58.809,-
58.867,-
117.676,-
02,9
13
Gayo Lues
35.488,-
36.557,-
72.045,-
01,8
14
Aceh Tamiang
118.581,-
116.733,-
235.314,-
05,8
15
Nagan raya
61.609
62.134,-
123.743,-
03,1
16
Aceh Jaya
31.495,-
29.145,-
60.640,-
01,5
17
Bener Meriah
53.166,-
52.980,-
106.146,-
02,6
18
Banda Aceh
93.074,-
83.829,-
176.903,-
04,4
19
Sabang
14.663,-
13.934,-
28.597,-
00,7
20
Langsa
68.518,-
69.068,-
137.586,-
03,4
21
Lhokseumawe
75.614,-
78.020,-
153.634,-
03,8
T O T A L
2.005.763,-
2.025.826,-
4.031.589,-
100,0


C.                     KEHIDUPAN BERAGAMA
Kehidupan beragama di NAD cukup kondusif. Secara umum konsep trilogi kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. Perseteruan masyarakat atas dasar perbedaan agama hampir tidak pernah terjadi, demikian juga dengan perseteruan atas dasar internal umat beragama tersebut, hanya saja perseteruan masyarakat beragama, terutama Islam dengan Pemerintah sedikit mengalami kendala, dalam hal ini dicontohkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu adanya segelintir masyarakat yang mengatasnamakan demi terselenggaranya penegakan syari`at Islam yang kaffah harus memisahkan diri dari NKRI, lalu memicu terjadinya disharmonisasi hubungannya dengan Pemerintah. 


Berikut ini dikemukakan data penduduk NAD berdasarkan kelompok agama sebagai berikut

JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA
DI KABUPATEN KOTA SE NAD
NO
O
KABUPATEN/
KOTA
A  G  A  M  A
JUMLAH
Islam
Kristen
Katol.
Hindu
Budha
1
Kota B. Aceh
247.976
1.319
1.748
34
3.094
254.171
2
Kota Sabang
24.285
486
184
-
307
25.262
3
Kab. Aceh Besar
277.996
224
194
42
64
278.524
4
Kab. Pidie
519.181
16
17
-
203
519.417
5
Kab. Aceh Utara
487.503
42
6
14
526
488.091
6
Kab. Aceh Timur
334.133
13
-
-
33
334.179
7
Kab. A. Tengah
149.478
191
-
11
244
149.924
8
Kab. A. Tenggara
138.158
28.105
1.030
-
-
167.293
9
Kab. Aceh Barat
173.899
94
71
592
6
174.662
10
Kab. Aceh Selatan
107.065
39
-
76
-
107.180
11
Kab. Simeulu
70.689
47
6
4
4
70.750
12
Kab. Aceh Singkil
133.971
5.614
3
-
3
139.591
13
Kab. Bireuen
376.952
189
-
32
237
377.410
14
Kota Langsa
117.477
165
8
13
105
117.768
15
Kota Lhoksemawe
162.025
475
250
42
742
163.534
16
Kab.A. Barat Daya
272.615
1
2
-
94
272.712
17
Kab. Gayo Lues
76.818
-
-
-
-
76.818
18
Kab.A. Tamiang
250.975
482
285
67
986
252.777
19
Kab. Aceh Jaya
-
-
-
-
-
-
20
Kab. Nagan Raya
143.964
11
2
2
16
143.995
21
Kab. Bener Meriah
117.749
8
-
-
-
117.757
J U M L A H
4.182.891
37.521
3.810
929
6.664
4.231.815
PERSENTASE
98,84 %
0,89 %
0,09%
0,02 %
0,16 %
100 %

Data tersebut memperlihatkan bahwa penduduk NAD pada umumnya beragama Islam, yaitu sebesar 98,84 %, sedang non muslim secara keseluruhan adalah penduduk minoritas yang sangat kecil jumlahnya, yaitu 1, 16 %, dan ini diklasifikasi kepada 4 (empat) penganut agama, yaitu Kristen Protestan sebanyak 0,89 %, Katolok 0,09 %, Hindu 0,02 %, dan Budha sebanyak 0,16 %.
Meskipun di NAD dijumpai non muslim sebesar 1,16 % namun tidak dijumpai anggota DPRD yang tidak beragama Islam. Semua DPRD TK.I Propinsi, demikian juga dengan TK.II Kabupaten Kota adalah beragama Islam. Terlepas dari aspek keterwakilan mereka untuk menampung aspirasi yang mereka emban, mungkin karena sedikitnya jumlah mereka ini maka untuk memenangkan anggota DPR yang non muslim pada saat pemilu tidak dapat diupayakan.
Berikut ini dikemukakan data tentang rumah ibadah, dan kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi dan sunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, sebagai berikut :

TEMPAT IBADAH DAN KERUSAKAN BERAT DAN RINGAN
AKIBAT GEMPA DAN SUNAMI 26 DESEMBER 2004
SERTA PRAKIRAAN KERUGIAN
NO
TEMPAT IBADAH
BUAH
%
RUSAK BERAT/
RINGAN
%
JLH Keru-
gian Dalam Juta Rp
1
Mesjid/Mushalla
/Meunasah
11.056
97,3 %
1.059
9,6 %
423.600,-
2
Gereja
177
1,6 %
8
4,5 %
3.200,-
3
Wihara dan Kuil
123
1,1 %
21
1,6 %

800,-
J  U  M  L  A  H
11.365
100 %
1069
15,5 %
427.600,-

 
D.                    HUKUM PIDANA ISLAM DI NANGROE ACEH DARUSSALAM
Sampai sekarang ini belum ada qanun khusus yang mengatur tentang hukum pidana Islam di NAD, tetapi hukum pidana Islam itu masih tersebar pada qanun-qanun yang ada. Setelah diteliti ternyata baru ada 5 qanun yang memuat hukum pidana Islam tersebut sebagai berikut;
1.             Qanun Nomor 11 Tahun 2002, tentang Pelaksanaan syari`at Islam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar Islam,
2.             Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang Minuman khamar dan sejenisnya,
3.              Qanun Nomor 13 Tahun 2003, tentang Maisir (perjudian),
4.             Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang Khalwat (Mesum),
5.             Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat.
            


Keseluruhan hukum pidana Islam yang dimuat pada kelima macam qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua macam, yaitu;
a.         Hudud (Hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya)
 Mengingat hudud ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan hukum lain, dalam kesempatan ini hakim hanya memiliki kesempatan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu benar telah dilakukan, atau pun tidak,” bila ini telah jelas dilakukan maka hakim tinggal mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu.
Sejalan dengan ketentuan hudud seperti dikemukakan di atas, ternyata Daerah NAD baru menetapkan satu kasus hudud saja, yaitu tentang “mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya, dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran Pemerintah NAD dalam menetapkan  hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan hukuman  seperti ini telah tegas tercantum di dalam nas syari`at. Dengan demikian Pemerintah NAD tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja.
Direncanakan bahwa kasus kedua menyangkut hudud ini adalah tindak pidana pencurian dengan sanksi hukuman potong tangan.  Sampai sekarang, hal ini belum diterapkan, karena untuk tindak pidana pencurian ini belum ada aturannya. Diperkirakan dalam masa dekat (tahun 2006) ini Perda/ Qanun tentang pencurian akan lahir, sekarang masih bersifat Ranperda, naskah akademiknya telah selesai, namun belum sampai ke tangan MPU dan Dinas Syari`at, dan jelas belum disidangkan oleh DPRD NAD. Dengan demikian kasus pencurian ini belum termasuk kasus yang sudah diterapkan sekarang ini di NAD.

b.        Ta`zir (Hukuman yang diberi kebebasan bagi hakim untuk menentukannya)
Mengingat adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman dalam kasus ta`zir ini maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan.
Sejalan dengan hal ini, DPRD NAD telah mencoba mengkonkritkan hukum ta`zir pada kelima kasus seperti dikemukakan di atas sehingga pada saat hakim hendak memutuskan perkara, hakim tersebut telah memiliki aturan yang jelas untuk diberlakukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bahwa hukum ta`zir tersebut telah dijabarkan ke dalam lima bentuk, sebagai berikut :
1)             Hukum Cambuk;
      Contoh, Hukuman cambuk maksimal 12 kali, minimal 6 kali bagi pelaku judi (maisir)
2)             Hukum Denda;
Contoh, Hukuman denda maksimal membayar Rp 35.000.000,- minimal Rp 15.000.000,- bagi orang yang a). Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perjudian (maisir)., b). Menjadi pelindung perbuatan perjudian., c). Memberi izin usaha penyelenggaraan perjudian.
3)             Hukum Penjara;
Contoh, Hukuman kurungan maksimal 6 bulan, minimal 2 bulan bagi yang memberikan fasilitas dan atau melindungi orang melakukan  perbuatan khalwat (mesum).
4)             Hukuman Administratif;
Contoh, Dicabut izin usahanya bagi perusahaan pengangkutan yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk shalat fardhu.
5)             Hukuman Kumulasi dari hal tersebut di atas;
Contoh, Menggabung hukuman cambuk dengan hukuman denda
6)             Hukuman Berpilih dari hal tersebut di atas;
Contoh, Memilih hukuman denda dengan meninggalkan hukuman cambuk.



E.                      DUALISME HUKUM PIDANA DI NAD
Terjadinya kekhawatiran dualisme hukum pidana di NAD adalah antara hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana NAD yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di sisi yang lain. NAD sebagai sebuah propinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wawasan kebangsaan dan wawasan bhinneka tunggal ika yang sama dengan Daerah lain di Nusantara, dia harus berada dalam bingkai falsafah dan konstitusi Negara Pancasila dan UUD 1945, jelas tidak ada tawar menawar akan hal ini karena terkait dengan keutuhan NKRI itu sendiri.
Dengan tidak mengabaikan akan hal itu, ternyata realitas telah menampakkan nuansa baru dalam memaknai dan menjabarkan arti dari NKRI itu sendiri khusus untuk NAD, jika seluruh Daerah di Indonesia telah diberikan status Otonomi Khusus, maka  NAD telah diberikan Otonomi yang seluas-luasnya untuk menjalankan syari`at Islam. Dengan hal ini terlihat adanya kesempatan yang besar bagi NAD untuk mempola pembangunan NAD ke arah yang lebih islami dibanding dengan Daerah lain di Nusantara.
Adanya peran yang besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun NAD menjadi sebuah  propinsi yang berbeda dengan Daerah lain di Nusantara jelas melahirkan eksklusifisme NAD dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia. Eksklusifinsme ini sangat rentan dengan asas equality before the law (mempersamakan semua orang di bawah hukum), dan sangat subur dengan pemberian hak-hak istimewa di luar yang berlaku secara umum. Dengan kenyataan seperti ini otomatis akan melahirkan adanya dualisme hukum yang berwawasan Nasional dan bhinneka Tunggal Ika di satu sisi, serta hukum yang berwawasan lokal dan ke-Acehan pada sisi yang lain.
Dengan mengkaji latarbelakang serta sumber kedua hukum ini tentu pikiran kita akan dapat mengklasifikasi bahwa di sana ada dua macam hukum yang berbeda, dan tidak saling melingkupi, karenanya dengan menaati salah satunya kita tidak dapat dinyatakan telah melaksanakan keduanya, dan dengan melaksanakan keduanya di sana ada kemuskilan karena akan mengamalkan dua hal yang berbeda oleh seorang subjek hukum pada satu kesempatan. Dengan mempertajam pandangan ini akan lebih mengkontraskan kehadiran dualisme hukum seperti dikemukakan di NAD sekarang ini. Untuk hal ini akan diberikan penjelasan lebih rinci sebagai berikut;
Di satu sisi terpahami adanya dualisme hukum pidana di NAD, yaitu Hukum Pidana Indonesia sebagai sesuatu yang bersifat umum seperti yang tertuang di dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) karena NAD adalah bagian integral dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, Qonun (Perda) yang berdasarkan syari`at Islam dan dibuat oleh masyarakat NAD sendiri sebagai sesuatu ketentuan yang lebih khusus karena NAD telah diberi otonomi yang seluas-luasnya untuk menerapkan syari`at Islam berdasar UU No.18 Tahun 2001.
Penempatan kedua ini sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu akan mempertajam pemaknaan terhadap dualisme hukum pidana di NAD tersebut, bahkan dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, dan keadilan hukum. Jelas bahwa dualisme hukum seperti dipersepsikan ini akan menimbulkan kajian tersendiri dalam rangka mencari titik temu kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk menepis berbagai kekhawatiran dampak negatif yang muncul akibat penerapan syari`at Islam bagi NAD tersebut, terutama adanya dualisme hukum pidana yang dapat berakibat terhadap rontoknya asas kepastian hukum, dan asas equality before the law, dan yang lainnya maka disajikan uraian berikut ini.
Sejak awal perbincangan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam telah disadari betul tentang akan munculnya kajian dualisme hukum di NAD ini. Untuk tidak terjerembabnya NAD dalam ketidakpastian yang ditimbulkan akibat dari dualisme hukum seperti dikemukakan maka para pemerakarsa hukum kita telah mengantisipasinya dengan berbagai hal, sebagai berikut :
1.                       Penegasan hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
a.             Bidang pertahanan negara
Dalam Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2004 dinyatakan; … Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.”
Mengingat pertahanan negara Republik Indonesia adalah menjadi kewenangan  Pemerintah pusat, maka masyarakat NAD tidak boleh melahirkan qanun yang berkenaan dengan hal ini, apalagi qanun yang sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, pengabaian terhadap hal ini dipahami sebagai melampaui kewenangan, dan tidak dapat dilaksanakan, bahkan tidak dapat diberlakukan. Selanjutnya mengenai pengaturan tata ruang pertahanan di wilayah NAD yang tidak bersifat rahasia maka masyarakat NAD memiliki sedikit hak untuk berbicara dengan Pemerintah, karenanya masyarakat NAD bisa merencanakan sesuatu untuk hal ini. Dengan demikian menyangkut bidang pertahanan ini didominasi oleh Pemerintah Pusat.

b.            Bidang keuangan
Bidang keuangan NAD diatur secara berimbang. Di samping mengacu kepada UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah, juga diatur di dalam pasal 4 – 7 UU No.18 Tahun 2001. Secara tekhnis, sampai sekarang, penetuan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ini belum dipertegas secara tuntas, meskipun UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh) telah lahir  dan mengamanatkan hal itu, namun masih ada saja orang yang berkeinginan mempertanyakannya, sehingga hal ini dipahami belum dapat diselesaikan secara tuntas dalam koridor asas keadilan dan keseimbangan yang transparan.

2.                       Qanun dapat mengenyampingkan peraturan yang berlaku umum
Qanun (Perda) yang digali dan lahir dari masyarakat NAD sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat NAD yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku secara umum di Nusantara mendapat tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di NAD. Untuk persoalan masyarakat Aceh yang telah diatur oleh qanun maka qanunlah yang akan diberlakukan.
Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum Undang Undang No. 18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah satu alineanya dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.” Dengan penjelasan ini maka dipahami bahwa qanun sebagai suatu tatanan Peraturan Daerah akan dapat mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum.
Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan, kita tetap mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat lex infiriore (secara hirarkis peraturan perundang undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sepanjang kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem Negara yang masih tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku secara Nasional, misalnya bidang pertahanan kemanan, dan aspek tertentu dari keuangan seperti dikemukakan.
Selain dari hal tersebut, maka Daerah ditentukan sebagai ujung tombak Pembangunan Nasional, dan Daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam melahirkan Perda/ Qonun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah tersebut, karenanya sangat tepat memberlakukan prinsip hukum  lex specialis derogat lex generalis (peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum), Daerah dapat saja memberlakukan Perda yang dibuatnya sendiri sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan, meskipun dengan mengesampingkan hukum yang bersifat umum dengan status hirarkisnya yang lebih tuinggi.
Dengan demikian, NAD misalnya boleh saja memberlakukan hukum cambuk dalam rangka mengamalkan qanun, meskipun mengabaikan hukum penjara dalam rangka mengenyampingkan KUH Pidana. Hal ini bukan dalam rangka mengadakan perlawanan hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh UU No.18 Tahun 2001.
Sekarang ini memang ada suara anak bangsa yang mencoba memberikan pendapat yang cukup tajam, dan mendasar meskipun sifatnya kecil, mereka memahami tentang lahirnya Perda-perda yang berisi syari`at (dalam hal ini dipahami NAD sebagai Daerah yang memperoleh kesempatan istimewa) telah mengaburkan tujuan pendirian Bangsa ini sebagai bangsa yang nasionalis. Sejak semula kita telah menghindari exklusivisme agama (terutama Islam); dalam Dasar negara, dalam Piagam Jakarta, dalam sidang konstituante yang berakhir dengan Dekrit 5 Juli 1959, dalam sikap ORBA tentang pengasastunggalam Pancasila bagi seluruh kegiatan sosial dan politik di Indonesia, bahkan dalam amandemen UUD 1945 pada masa reformasi.
Justru sekarang ini penerapan syari`at itu telah lahir secara terselubung di berbagai daerah lewat Perda-perda sebagai dampak dari otonomi Daerah yang diberikan sekarang ini. Pandangan ini jelas menaruh kecurigaan yang berlebihan tentang adanya penafsiran yang terlalu jauh terhadap Dasar negara yang nasionalis itu, sehingga kelompok tertentu dari komponen bangsa ini meraup keistimewaan.

3.                       Hukum Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat muslim saja
Dengan memperhatikan kandungan keseluruhan qanun yang ada di NAD itu maka qanun-qanun tersebut ada dua macam, yaitu qanun sayari`at, dan qanun non syari`at (yang berkenaan dengan aspek keduniaan semata). Khusus menyangkut qanun syari`at hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang untuk qanun yang non syari`at akan berlaku secara umum untuk masyarakat NAD secara keseluruhan. Polarisasi ini tetap dalam kerangka mempertahankan asas kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing oleh masyarakat NAD.
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa pemberlakuan  hukum pidana Isalam yang ada di  NAD itu menganut asas personalitas keislaman. Artinya, qanun-qanun sayari`at seperti dikemukakan di atas hanya berlaku bagi umat Islam saja, sedang non muslim secara umum (Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, bahkan penganut aliran Kepercayaan) tidak termasuk di dalamnya, apalagi dipaksa untuk melaksanakannya, jelas tidak mungkin sama sekali. Dengan demikian, bagi penduduk non muslim di NAD tidak ada kesulitan untuk tetap tingal di NAD, karena mereka tetap tunduk kepada KUH Pidana sebagai ketentuan hukum yang berlaku secara Nasional, di samping tetap menaati qanun yang bersifat non sayari`at.
Kesimpulan seperti ini secara jelas dapat dipahami dari:
a)                      Pasal 25, ayat (3) Undang Undang No.18 Tahun 2001 mengatakan;
“Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.”           
b)                      b). Perda No.5 Tahun 2000, pada pasal 2 ayat (2) berbunyi;
“Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, dan pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing.”

Sejalan dengan ini, Al Yasa` Abubakar mengatakan bahwa penekanan utama pemberlakuan syari`at Islam di NAD adalah dengan memperhatikan asas personalitas keislaman. Pemaknaan memberlakukan asas personalitas keislaman di sini adalah, syari`at Islam itu hanya diberlakukan bagi masyarakat dengan memperhatikan agama pelaku tindak pidana itu sendiri harus benar-benar beragama Islam, lebih konkrit untuk hal ini bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya, pengamalannya, dan pengakuannya. Ketegasan ini membuat pengetahuan tentang apa agama pelaku tindak  pidana itu di NAD menjadi sangat penting dalam hal penentuan penundukan hukum mereka.
Muslim Ibrahim mengatakan bahwa hukum Islam yang diterapkan di NAD adalah murni berdasarkan syari`at Islam, karenanya hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang non muslim tidak termasuk di dalamnya, soal urusan agama mereka biarlah mereka yang mengaturnya sendiri. Dengan demikian qanun sebagai bagian dari hukum Islam yang berlaku di NAD hanya diberlakukan bagi umat Islam semata.
Sekedar mengapresaiasi hal ini, terlihat bagi kita bahwa pemberlakuan hukum Islam di NAD yang ada sekarang ini jelas masih berada dalam koridor trilogi   kerukunan umat beragama, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah, juga sejalan dengan pedoman dasar dalam beragama bagi bangsa Indonesaia yang diatur pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam bentuk realitas, peristiwa seperti dikemukakan di atas telah terjadi di NAD dan telah disikapi dengan tegas, dengan kesimpulan bahwa bagi mereka yang nota bene non muslim itu tidak dapat diberlakukan hukum Islam seperti apa yang ada di dalam qanun. Demikian tegasnya aturan hukum secara normatif ini ditampilkan secara tertulis, dan dipraktekkan, namun berbeda dengan keinginan masyarakat secara umum. Secara teoritis, dan praktis dinyatakan bahwa hukum Islam hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang masyarakat pada umumnya menginginkan lain, yaitu memberlakukan hukum Islam itu bukan hanya untuk umat Islam tetapi termasuk bagi masyarakat Aceh secara umum, baik muslim maupun non muslim. Keinginan ini tentu mengenyampingkan asas keislaman, dan  mengedepankan asas territorial semata.
           
4.                       Pemberlakuan asas territorial
Suatu kajian yang mendasar dalam menetapkan peristiwa hukum adalah menyangkut di mana hal itu dilakukan. Pertanyaan ini berkaitan dengan lokasi atau tempat peristiwa hukum terjadi, hal ini sangat penting sejalan dengan adanya perbedaan hukum masing-masing tempat. Indonesia sebagai sauatu NKRI saja paling tidak sudah terpola kepada tiga macam, yaitu; 1). NAD sebagai daerah yang telah diberi keleluasaan yang besar untuk menerapkan syari`at Islam, 2). Daerah-daerah di Nusantara sebagai pemegang hak otonom memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dalam aspek-aspek khusus ayang telah diberi kebebasan untuk itu, 3). Hukum yang berlaku yang berlaku umum untuk seluruh daerah Indonesaia. Adanya perbedaan hukum yang berlaku berangkat dari pendekatan di mana peristiwa hukum ini dilakukan disebut dengan asas territorial.
Di samping memperhatikan objek pelaku tindak pidana itu di satu sisi juga diperhatikan tempat di mana tindak pidana itu dilakukan, maka penentuan daerah NAD sebagai teritori yang dipedomani untuk dapat dinyatakan berlakunya qanun adalah merupakan kemutlakan. Artinya, hanya tindak pidana yang dilakukan di NAD sajalah yang menjadi perbincangan qanun-qanun itu, asalkan tempatnya di NAD meskipun orangnya bukan masyarakat NAD tidak menjadi persoalan lagi, yang penting mereka sedang berada di NAD. Dengan mencermati hal ini terlihat bahwa asas territorial ini diberlakukan di NAD.
Dengan pemberlakuan asas personalitas keislaman, dan asas territorial seperti dikemukakan di atas maka ada empat macam pedoman, sebagai berikut :
a.             Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD secara otomatis hukum Islam (qanun) diberlakukan bagi mereka.
b.             Untuk masayarakat muslim lainnya (masyarakat muslim bukan Aceh) yang melakukan tindak pidana di NAD tetap diberlakukan hukum Islam.
c.              Untuk masyarakat NAD non muslim yang  melakukan tindak pidana di NAD atau pun di luar NAD tidak diberlakukan hukum Isalam sama sekali.
d.            Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di luar NAD juga tidak diberlakukan hukum Islam.

5.                       Putusan Kasasi dan Peninjauan kembali tidak dalam rangka menentang pemberlakuan hukum Islam
Meskipun Mahkamah Agung memiliki hak menguji dan membatalkan keputusan Pengadilan di bawahnya, dan Mahkamah Agung hanya memiliki acuan yang nasionalis, tetapi dia harus mendukung penerapan syari`at Islam di NAD. Mahkamah Agung akan dipahami keliru bila lewat kasasi dan Peninjauan kembali, dia berani membatalkan penerapan hukum Islam di NAD dengan mencari alternatif hukum lain. Logika yang dikembangkan adalah, sikap mengukuhkan putusan Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah Syari`ah Pripinsi di NAD adalah yang paling bijak, berarti Mahkamah Agung telah mempedomani pesan yang diemban oleh UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi NAD. Dengan demikian Mahkamah Agung harus memutus dalam sidang Kasasi atau Peninjauan Kembali untuk perkara Hukum Pidana Islam dengan berpedoman kepada qanun yang sudah dibuat oleh DPRD NAD.
Pemahaman seperti di atas dikemukakan sejalan dengan Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2001 yang berbunyi;
“Hal mendasar dari Undang Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.”
Lebih tegas lagi hal ini dijumpai dari Penjelasan Umum Undang Undang tersebut pada alinea berikutnya. Di sana dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.” Ini mengisyaratkan bahwa Mahkamah Agung harus tidak mempergunakan hukum yang bersifat umum itu sebagai pedoman dalam memutus pada sidang kasasi untuk perkara yang bersumber dari daerah NAD, tetapi dia mesti berpedoman kepada qanun, dalam rangka menopang berlakunya hukum Islam yang khusus berlakunya di NAD. Lewat otonomi Daerah yang digelar di era reformasi ini maka Mahkamah Agung harus menopang setiap produk hukum Daerah dalam rangka memperkokoh makna dari otonomi Daerah tersebut.
Bila Mahkamah Agung, misalnya berkeinginan untuk membatalkan hukum Islam yang diberlakukan di NAD itu maka akan sama artinya dengan membatalkan Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya bagi NAD itu. Hilangnya kemandirian dan keleluasaan masyarakat NAD untuk memberlakukan syari`at Islam, jelas merupakan sikap pengebirian terhadap perjuangan panjang masyarakat Aceh yang sudah berhasil diraih di era reformasi ini. Bila hal ini yang terjadi berarti Indonesia mundur kembali kepada era sebelum reformasi.

F.                      KESIMPULAN
Berlakunya syari`at Isalam di NAD tidak berimplikasi kepada munculnya dualisme hukum pidana di NAD. Di satu sisi, hukum pidana di NAD telah jelas, yaitu sepanjang telah diatur oleh qanun maka berlakulah qanun tersebut, dan untuk hal yang belum diatur oleh qanun maka tetap berlaku KUH Pidana sebagai kitab ketentuan hukum yang berlaku secara umum di Nusantara, dan ini harus didukung oleh Mahkamah Agung sebagai pihak yudikatif tertinggi, Di sisi lain menyangkut orang sebagai objek hukum yang mesti tunduk dan patuh terhadapnya juga telah jelas,  aturan tentang siapa orang yang harus tunduk kepada qanun dan yang harus tunduk kepada KUH Pidana telah dipahami lewat asas personalitas keislaman dan asas territorial. Dengan ketegasan ini, maka adanya kemungkinan munculnya dualisme hukum pidana yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum seperti yang dikhawatirkan segelintir orang tidak akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar