CYBERPORN
(Studi Tentang Aspek Hukum Pidana Pornografi Di
Internet, Pencegahan dan Penanggulangannya)
Teknologi informasi
menimbulkan tindak pidana berupa pornografi di internet (cyberporn). Hampir 80 % gambar di internet adalah gambar
porno. Dengan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologi
diperoleh hasil bahwa bagi hukum pidana Indonesia yang bersumberkan pada KUHP,
persoalan cyberporn secara teoritis
merupakan persoalan yang berkaitan dengan penafsiran dari Pasal 282 dan Pasal
283 yang harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Persoalan
praktis berkaitan dengan kemampuan aparat penegak hukum berupa kemampuan
penguasaan materi hukum dan teknis komputer/ internet. Pencegahan dan
penanggulangan cyberporn ini secara integral harus
dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait, yaitu anggota masyarakat,
pengakses, pemilik atau pengusaha warung internet dan aparat penegak hukum.
A.
Latar Belakang
Perkembangan Internet yang pesat dimungkinkan
karena adanya kemajuan yang dicapai dalam bidang teknologi telekomunikasi dan
teknologi komputer. Kedua teknologi itu berkembang karena didorong oleh
teknologi mikro elektronika, material dan perangkat lunak. Kimia, fisika,
biologi dan matematika mendasari ini semua.
Internet merupakan sebuah
ruang informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus batas-batas antar
negara dan mempercepat penyebaran dan pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan
ilmuwan dan cendekiawan di seluruh dunia. Internet membawa kita kepada ruang atau dunia
baru yang tercipta yang dinamakan Cyberspace. Istilah ini
yang pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fiksi
ilmiahnya “Neuromancer” ini menampilkan realitas virtual (virtual
reality), dunia maya, dunia yang tanpa batas, di mana penghuninya dapat
berhubungan dengan siapa saja dan di mana saja.
Cyberspace menawarkan manusia untuk "hidup"
dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat
dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya,
yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping,
teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual
museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm.
Proses cybernation yang menimbulkan
harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya
demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu
kita perhatikan sebagaimana yang dikatakan oleh Neill Barrett dan
Mark D. Rasch bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang
mendukung kejahatan, dimana 80% gambar di internet adalah gambar porno.
Cyberporn atau pornografi di
internet itu merupakan salah satu dari sisi gelap itu. Sebagaimana ditentukan
dalam pasal 282 dan pasal 283 KUHP, Hukum pidana Indonesia melarang pornografi
dalam bentuk apapun. Makalah ini akan berusaha mengungkapkan tentang relevansi
hukum pidana yang ada sekarang dengan cyberporn dan bagaimana pencegahan
dan penanggulangannya baik bagi pengakses maupun pengelola warung internet
maupun pengusaha jasa layanan internet lain.
B.
Pandangan Hukum
Pidana Terhadap Persoalan Cyberporn
Perkembangan teknologi
informasi membawa perubahan besar dan men-dasar pada tatanan sosial dan budaya
dalam skala global. Dengan menggunakan internet, pengguna dimanjakan
untuk berkelana menembus batas kedaulatan suatu negara, batas budaya, agama,
politik, ras, hirarki, birokrasi dan sebagainya. Hal ini oleh Jessica Lipnack dan Jeffrey
Stamps merupakan smash
the boundaries, tear down the hierarchy and dismantle the bureaucracy.
Internet juga menjadi sarana yang baik bagi masyarakat dalam pekerjaan, di
rumah maupun di tempat-tempat pelayanan publik lainnya.
Pengertian cyberspace tidak terbatas
pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet.
Setidak-tidaknya dengan memperhatikan definisi tentang cyberspace dari John
Perry Barlow, cyberspace lebih luas dari sekedar hubungan melalui
internet. Ketika kita sedang menelpon atau membaca buku, ada ruang yang
muncul (yang juga dinamakan cyberspace oleh Barlow), tetapi ruang
yang tercipta itu tidak mungkin untuk berinteraksi secara real-time.
John Suler menganggap bahwa cyberspace adalah ruang psikologis,
dan sebagai ruang psikologis, keberadaannya tidaklah tergantung pada
batas-batas konvensional mengenai keberadaan benda berwujud.
Ruang psikologis itu ternyata membuka peluang
bagi para penjahat, tak terkecuali para penyaji dan para netter yang
bertukar koleksi gambar atau tulisan yang bersifat porno. Tidaklah
dipungkiri bahwa para pengguna internet saat ini kebanyakan adalah kaum muda,
sehingga kehadiran cyberporn merupakan hiburan tersendiri, apalagi
gambar-gambar yang disajikan adalah gambar orang-orang yang telah dikenal di
masyarakat.
Pornografi berasal dari
kata Yunani yaitu porne yang berarti pelacur dan grafi yang berasal
dari kata graphien yang artinya ungkapan. Ada tiga definisi dari pornografi menurut Marra
Lanot, yaitu:
a. Definisi pornografi dari
sudut pandang konservatif yang menganggap semua penggambaran telanjang adalah
pornografi.
b. Definisi pornografi
berdasarkan pendekatan liberal yang menganggap pornografi adalah sesuatu yang
baik-baik saja karena merupakan aspek seksualitas kita.
c. Definisi yang muncul dari
pendekatan feminis yang muncul di tahun 1970-an dan 80-an yang menganggap
pornografi adalah presentasi baik secara verbal maupun gambar dari perilaku
seksual yang merendahkan atau kasar dari satu atau lebih pelaku.
Pornografi bersifat
relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta
kebudayaan suatu bangsa. Bahkan dalam lingkungang suatu bangsa sendiri,
terjadi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali,
Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali.
Pornografi tradisional
biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape.
Kehadiran Internet dan cyberspace memberi warna dalam persoalan
pornografi. Pornografi di
internet berkaitan dengan possessing, creating, importing, displaying,
publishing and/or distributing pornography. Pornografi di internet
berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada
pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa
mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences
yang terdapat dalam Title 3, article 9.
Setidak-tidaknya ada empat pendapat yang
berkaitan dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen yaitu:
a. Pornography is bad because it is violence and
oppression (Catharine
Mackinnon)
b. Pornography must be tolerated for free speech
reasons (Nadine
Strossen)
c. Pornography is good, liberating, allows us to
grow as sexual beings
(Wendy McElroy)
d. Pornography is absolutely bad by religious
commandement or other rule arising from a morality of prohition.
Jaringan komunikasi global interaktif melalui
fasilitas internet relay chat (chattiny) dapat digunakan untuk
menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk
sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cybersex.
Ada dua bentuk dari cybersex dalam ruang chatting, yaitu Computer
mediated interactive masturbation in real time dan Computer mediated
telling of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal.
Pornografi dapat merangsang timbulnya tindak
pidana lain. Penelitian dari Ninuk Widyantoro membuktikan hal tersebut. Penayangan pornografi
"pada saat yang tepat" dapat membangkitkan gairah seksual yang
meningkat dan menuntut penyaluran segera, tetapi sering sulit
dilaksanakan. Apabila mekanisme sensor lemah, penyaluran dilaksanakan
tanpa memikirkan resiko bagi dirinya maupun bagi orang lain. Violent
pornografi merupakan perangsang yang kuat bagi penerimanya, yang apabila
dilaksanakan akan dapat mengakibatkan pelecehan seksual yang berdampak berat.
Internet pada dasarnya diciptakan untuk
kebaikan, seiring berjalannya waktu internet juga menjadi alat yang mempermudah
kejahatan. Setidak-tidaknya hal itu tercermin dari apa yang dikatakan Jonathan
Blumen bahwa “The Internet is “dangerous” because it is a medium for the
instantaneous and uncontrolled transmission of ideas.”
Hukum pidana kita yang
bersumber pada KUHP sebenarnya telah mengatur persoalan pornografi dalam Pasal
282 dan 283. Dari segi historis, terlihat bahwa KUHP kita dirancang bukan untuk
mengantisipasi perkembangan internet seperti sekarang ini. KUHP dibuat
pada tahun 1881 sedangkan Internet mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950-an
dan awal 1960-an. Perbedaan jarak yang panjang dan landasan berfikir dari
pembentuknya dengan keadaan yang berkembang pada saat ini menimbulkan
kesulitan-kesulitan dalam penerapan KUHP terhadap persoalan cyberporn.
Penulis dalam hal ini hanya akan membatasi pada persoalan teoritis berupa
peninjauan terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan pornografi dan
perkembangannya melalui internet serta penafsiran terhadap isi pasal tersebut.
Untuk permasalahan yang
berkaitan dengan hal di mana sebenarnya peraturannya sudah ada tetapi
penafsirannya belum sampai pada atau tidak ditujukan kepada permasalahan yang
muncul kemudian, maka persoalan sebenarnya terletak pada masalah penafsiran dari
isi undang-undang itu. Hal ini menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum
pidana untuk memberikan penafsiran di antara peraturan dan peristiwa konkrit
yang terjadi di masyarakat. Permasalahan ini muncul atau terjadi pada
kasus cyberporn.
Dalam KUHP, pornografi
merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid)
yang termuat dalam Pasal 282-283. Tindak pidana pornografi berkaitan
dengan adat kebiasaan yang berhubungan dengan kelamin (seks) seseorang.
Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282 KUHP baik yang terdapat
dalam ayat (1), (2) maupun (3) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan
dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;
b. membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung,
membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan,
dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;
c. dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan
suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan
dan sebagainya itu boleh di dapat.
Berdasarkan pasal tersebut dan penafsiran
mengenai makna pornografi dalam masyarakat, terjadi perubahan-perubahan yang
menggeser makna kata tersebut. Pergeseran makna yang disebabkan oleh
perkembangan teknologi informasi seharusnya mengubah penafsiran terhadap unsur
delik pornografi. Jika menggunakan penafsira lama, maka layar komputer
yang dimiliki oleh rental komputer, perkantoran maupun pribadi tidak dapat
dikategorikan sebagai makna di muka umum sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 282 KUHP. Sebenarnya apa yang dikatakan sebagai di muka umum dalam
hal ini harus ditafsirkan secara lebih luas dengan pendekatan teknologi
informasi itu sendiri.
Gambar, tulisan ataupun cerita-cerita jorok
yang telah ditulis atau dibuat oleh pembuatnya telah disebarluaskan dalam dunia
informasi global yang bernama internet. Dalam dunia maya di mana lalu
lintas informasi bergerak dengan sangat cepat (information superhighway),
gambar, tulisan dan cerita-cerita jorok terbang ke segala penjuru mencari
pengakses yang ingin melihat atau membaca informasi tersebut. Dalam hal
ini gambar atau tulisan atau cerita jorok itu sebenarnya ada di sekitar kita
dalam gelombang bit-bit yang tidak terlihat oleh mata, sepertinya jauh
tetapi sebenarnya dekat.
Sebenarnya apa yang terlihat atau terpampang di
layar monitor teleh memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam delik pornografi,
tetapi peraturan hukum pidana kita tidak dapat menjangkau ke sana yang
disebabkan karena penafsiran yang ada terhadap pasal tersebut masih terkungkung
dengan makna lama tentang pornografi. Persoalan ini merupakan persoalan
yang muncul pada tahap teoritis yang berimplikasi pada tahap praktis di mana
aparat penegak hukum belum atau tidak dapat bergerak jika tidak ada legitimasi
dari para akademisi di samping kemampuan yang bersifat teknis dari teknologi
informasi.
Melihat maraknya cyberporn ini maka
pandangan hukum pidana yang daad-daderstrafrecht, yang berusaha
melindungi masyarakat menjadi tidak bermakna karena nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dibiarkan rusak oleh perbuatan-perbuatan para pemilik situs
porno. Nilai-nilai religius, adat istiadat ketimuran yang memandang tabu
hal-hal yang berkaitan dengan tubuh perempuan menjadi terlepas dari jari tangan
masyarakat.
C.
Peran Warung Internet
(Jasa Layanan Internet) Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Cyberporn
Instruksi Presiden No. 6
Tahun 2001 menetapkan Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan
Teknologi Telematika (ICT). di Indonesia yang tertuang dalam INPRES No. 6 Tahun
2001. Dalam INPRES tersebut terlihat bahwa warung internet (warnet)
merupakan ujung tombak untuk mencapai tujuan yang diinginkan di samping warung
telekomunikasi (wartel). Teknologi warung internet memungkinkan masuk ke
desa-desa terpencil di pegunungan maupun di pantai asal ada infrastruktur
telekomunikasi meskipun mungkin tidak sebaik di perkotaan.
Kemudahan membuka warung
internet menyebabkan orang berlomba-lomba menekuni usaha ini. Keuntungan
yang ditawarkan dari bisnis warung internet memang menjanjikan karena dengan
membuka beberapa line saja, sudah dapat dihitung berapa keuntungan yang akan
masuk. Mereka yang melihat peluang bisnis di bidang warung internet ini
kebanyakan adalah orang-orang kota atau mereka yang berada di perkotaan.
Konsumen terbanyak dari
pengguna warnet adalah mahasiswa, siswa SMP, SMU/SMK, pegawai/karyawan dan
masyarakat umum. Kebanyakan dari mereka menggunakan internet kebanyakan
untuk chatting, membaca surat kabar, melihat gambar porno, dan sedikit
yang memanfaatkannya untuk penelitian. Keinginan untuk melihat gambar porno
dari internet merupakan daya tarik bagi pengguna untuk mengakses internet.
Sedemikian mudahnya untuk mengakses situs porno sehingga bagi warnet ini
merupakan daya tarik tersendiri, tetapi bagi masyarakat yang masih memegang
nilai-nilai ketimuran dan religius tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan.
Nilai-nilai budaya dan religi yang sebenarnya dapat menjadi sarana kontrol,
tidak lagi menjadi sarana yang ampuh untuk itu.
Untuk mencegah dan menanggulangi
maraknya pengakses situs porno, maka hukum pidana dapat digunakan untuk sebagai
alat meskipun hanya bersifat pengobatan simptomatik. Kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah
“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
Upaya penanggulangan
kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya
keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial
dan keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non
penal. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula
bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai bagian dari
politik kriminal.
Dalam persoalan pornografi
di internet, penggunaan sarana penal tidak dapat berjalan dengan baik karena
adanya kemandegan dalam penafsiran unsur-unsur dalam pasal tentang
pornografi. Di samping itu adalah kesulitan dari aparat keamanan untuk
melacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar atau
tulisan porno. Selain
itu adalah keengganan hakim-hakim kita untuk mendobrak tradisi lama yang legism
oriented dengan pendekatan baru yang mengedepankan searching for turth
and justice.
Melihat sarana penal yang tidak lagi efektif
dalam pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, maka langkah yang
harus ditempuh adalah dengan menggunakan sarana non penal yaitu dengan
melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa
layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Koordinasi ini sulit
dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat
tersebut. Pada satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet
(pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari
keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan
kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan
bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi
di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat
ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai
kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota
masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet
dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak
hukum.
Selain menjadi ujung
tombak dari kerangka pemberdayaan teknologi telematika, warung internet juga
merupakan ujung tombak dari para para penikmat situs-situs porno. Dalam
konteks pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, pengusaha
atau pemilik warnet menghadapi dilema. Dilema-dilema tersebut adalah:
a. situs porno merupakan daya tarik yang luar
biasa dan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan
bagi pengusaha ini merupakan icon keuntungan;
b. adanya larangan atau himbauan bagi penunjung
untuk tidak mengakses situs porno akan menurunkan jumlah pengunjung;
c. untuk mengontrol pengguna internet agar tidak
memasuki situs porno agak susah karena pemakai internet di warnet juga banyak
dan langkah ini memerlukan tenaga yang berarti lebih jauh adalah tambahnya
pengeluaran;
d. pembatasan usia pengunjung juga akan semakin
memperparah dan mem-persulit pemasaran yang akibat lebih jauh adalah
bangkrutnya warnetnya;
e. tidak semua pengusaha atau pemilik warnet
mempunyai kemampuan untuk memasang software yang mampu menyaring
situs-situs mana yang boleh dibuka.
Meskipun dalam situs porno itu selalu ada
klausul yang menyebutkan “jika anda belum berusia 18 tahun maka anda dilarang
membuka lembar berikutnya”, tetapi larangan itu tidak berlaku karena
pengaksesnya dapat saja mengaku berusia lebih dari 18 tahun meskipun sebenarnya
ia berusia 15 tahun. Jadi persoalannya tidak hanya terletak pada anggota
masyarakat yang merasa nilai-nilai kemasyarakatan dan religiusnya terganggu,
pengusaha atau pemilik warung internet yang merasa terancam keuntungannya,
tetapi juga kontrol diri dari si pengakses atau pengguna itu sendiri juga perlu
dilibatkan.
Bagi para pemilik personal computer yang
terhubung ke internet (dan juga para warnet yang mampu untuk itu) ada beberapa software
yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh
dibuka oleh mereka yang belum cukup umur. Software yang dimaksud
bernama W-Blokcer. Selain software tersebut masih
ada software lain yang juga bisa digunakan yaitu Surf Watch, NetNanny dan Cyberpatrol.
Dari hal tersebut di atas dapat terlihat bahwa
usaha untuk pencegahan dan penanggulangan cyberporn secara non penal
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosial budaya (berupa ikut
campurnya mereka-mereka yang terlibat dalam bisnis layanan jasa internet) dan
secara teknis atau techno prevention berupa penambahan software-software
tertentu pada perangkat komputer yang digunakan untuk akses ke internet.
D.
Penutup
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Hukum pidana Indonesia
berorientasi pada daad-dader strafrecht. Orientasi ini membawa akibat
bahwa dalam persoalan cyberporn, yang terutama untuk dilindungi adalah
nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan. Perlindungan terhadap
nilai-nilai itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karena adanya
berbagai kendala yang dihadapi.
b. Warung internet merupakan
ujung tombak dalam kerangka pemberdayaan pengembangan teknologi telematika dan
para pengakses untuk melihat situs-situs porno. Dalam kerangka pencegahan
dan penanggulangan cyberporn ternyata bukan hanya warnet yang perlu
berperan karena masing-masing pihak perlu turut campur sehingga keinginan
bersama di antara pemilik atau pengusaha warnet, masyarakat dan pengguna
internet dapat tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar