Orang sering bertanya, apa perbedaan istilah keputusan dan peraturan? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti keputusan adalah perihal yang berkaitan dengan putusan; atau segala putusan yang telah ditetapkan setelah hal tersebut dipertimbangkan dan dipikirkan. Di dalam ilmu perundang- undangan, keputusan adalah perihal putusan sebagai hasil tindakan pejabat yang berwenang dalam rangka menentukan atau menetapkan kebijakan tertentu yang diinginkan, termasuk mengangkat atau memberhentikan pejabat di lingkungannya. Keputusan untuk mengangkat atau memberhentikan pejabat tertentu sering orang menyebut sebagai penetapan (beschikking). Istilah putusan juga telah dikenal dalam dunia peradilan yang dikenal dengan vonis yakni pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk menentukan terdakwa atau tergugat bersalah atau tidak. Yang terakhir ini bukan lingkup pembahasan dalam ilmu perundang-undangan.
Keputusan pejabat yang selama ini kita pahami terdiri dari 2 keluaran yakni keputusan yang berupa pengaturan dan keputusan yang berupa penetapan. Pemahaman ini dicetuskan oleh Prof. Dr. A. Hamid S Attamimi untuk menghindari istilah "peraturan" (sebagai nomenklatur tersendiri) yang dalam perjalanan sejarah pernah disalahgunakan sebagai produk kebijakan yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan di atasnya (baca beberapa Peraturan Presiden tahun 1959-an yang sebagian telah dinyatakan tidak berlaku).
Keputusan yang berupa pengaturan dan penetapan, dilihat dari format dan isi atau substansi keduanya memang berbeda (contoh terlampir). Penetapan pada dasarnya tidak termasuk dalam lingkup peraturan perundang-undangan dalam arti bahwa isi atau substansi keputusan yang dikeluarkan pejabat tidak mengikat umum, tetapi mengikat individu atau kelompok tertentu di lingkungan pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut (itu pun berlaku hanya sekali dan hanya pada saat itu saja). Sekali lagi, pengikatan individu dan kelompok tertentu tersebut menunjukkan bahwa keputusan tersebut tidak mengikat umum. Dengan demikian, pengertian kata "umum" sudah jelas dari gambaran tersebut yakni siapa saja di luar lingkungan kelompok tertentu.
Keputusan yang berupa pengaturan dan penetapan, dilihat dari format dan isi atau substansi keduanya memang berbeda (contoh terlampir). Penetapan pada dasarnya tidak termasuk dalam lingkup peraturan perundang-undangan dalam arti bahwa isi atau substansi keputusan yang dikeluarkan pejabat tidak mengikat umum, tetapi mengikat individu atau kelompok tertentu di lingkungan pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut (itu pun berlaku hanya sekali dan hanya pada saat itu saja). Sekali lagi, pengikatan individu dan kelompok tertentu tersebut menunjukkan bahwa keputusan tersebut tidak mengikat umum. Dengan demikian, pengertian kata "umum" sudah jelas dari gambaran tersebut yakni siapa saja di luar lingkungan kelompok tertentu.
Pembahasan selanjutnya dibatasi pada keputusan yang berupa pengaturan yang dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) telah diputuskan bahwa keputusan yang berupa pengaturan disebut "peraturan" sebagai nomenklatur untuk membedakan "keputusan" (sayang sekali UU P3 belum diundangkan padahal Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 mewajibkan kepada Pemerintah untuk mengundangkan, walaupun UU P3 tersebut tidak disahkan oleh Presiden. Apakah dalam hal ini Presiden dapat dikatakan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Atau mungkin Presiden memberikan kesempatan kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan untuk mengundangkan UU P3 tersebut yang memang diperintahkan sendiri oleh UU P 3 ?). Dengan demikian, yang kita kenal selama ini dengan Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota berubah menjadi Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota.
Peraturan Menteri
Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan peraturan menteri masih sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang- undangan di atasnya yang secara jelas mendelegasikan. Bagaimana jika pendelegasian tersebut tidak jelas atau sama sekali tidak ada delegasian dari peraturan di atasnya, tetapi menteri memerlukan pengaturan? Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini diperbolehkan. Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya.
Jenis Peraturan Menteri telah disebut secara jelas dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
Penjelasan (Pasal 7)
Ayat (1)
Materi muatan Peraturan Menteri adalah materi yang diperintahkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden.
RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Tap MPR). Pasal 4 angka 4 Tap MPR tersebut menentukan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Secara tersirat Tap MPR tersebut mengamanatkan dibentuknya suatu undang-undang untuk menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan, termasuk pula pengaturan mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prinsip dan Asas Pembentukan Peraturan Menteri
Jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan.
Prinsip tersebut di atas dapat dijadikan asas atau patokan dalam menyusun Peraturan Menteri, di samping juga asas-asas lain yang secara umum telah dianut oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, misalnya (diambil sebagian dari buku Van der Vlies):
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas organ atau lembaga yang tepat;
3. asas perlunya peraturan;
4. asas dapat dilaksanakan;
5. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
6. asas kepastian hukum; dan
7. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.
Di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 5 sebagai berikut:
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Di samping asas-asas di atas, dalam membentuk peraturan perundang- undangan harus diperhatikan mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Di dalam Pasal 6 Undang- Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
Selain prinsip dan asas di atas, dalam membentuk Peraturan Menteri perlu diperhatikan landasan yuridis yang jelas karena tanpa landasan atau dasar yuridis yang jelas, Peraturan Menteri tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dengan demikian, Peraturan Menteri yang dibentuk harus dapat menunjukkan dasar hukum apa yang dijadikan landasanpembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundang-undangan terkait dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri. Di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan disebutkan mengenai tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya sesuai dengan hierarki urutannya. (lihat Pasal 7 di atas):
Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan peraturan menteri masih sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang- undangan di atasnya yang secara jelas mendelegasikan. Bagaimana jika pendelegasian tersebut tidak jelas atau sama sekali tidak ada delegasian dari peraturan di atasnya, tetapi menteri memerlukan pengaturan? Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini diperbolehkan. Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya.
Jenis Peraturan Menteri telah disebut secara jelas dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penjelasan (Pasal 7)
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ayat (3)
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atasperintah undang-undang, dewan perwakilan rakyat daerah provinsi, gubernur, dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Ayat (5)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Menteri adalah materi yang diperintahkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden.
RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Tap MPR). Pasal 4 angka 4 Tap MPR tersebut menentukan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Secara tersirat Tap MPR tersebut mengamanatkan dibentuknya suatu undang-undang untuk menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan, termasuk pula pengaturan mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prinsip dan Asas Pembentukan Peraturan Menteri
Jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan.
Prinsip tersebut di atas dapat dijadikan asas atau patokan dalam menyusun Peraturan Menteri, di samping juga asas-asas lain yang secara umum telah dianut oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, misalnya (diambil sebagian dari buku Van der Vlies):
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas organ atau lembaga yang tepat;
3. asas perlunya peraturan;
4. asas dapat dilaksanakan;
5. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
6. asas kepastian hukum; dan
7. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.
Di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 5 sebagai berikut:
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Di samping asas-asas di atas, dalam membentuk peraturan perundang- undangan harus diperhatikan mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Di dalam Pasal 6 Undang- Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Selain prinsip dan asas di atas, dalam membentuk Peraturan Menteri perlu diperhatikan landasan yuridis yang jelas karena tanpa landasan atau dasar yuridis yang jelas, Peraturan Menteri tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dengan demikian, Peraturan Menteri yang dibentuk harus dapat menunjukkan dasar hukum apa yang dijadikan landasanpembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundang-undangan terkait dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri. Di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan disebutkan mengenai tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya sesuai dengan hierarki urutannya. (lihat Pasal 7 di atas):
Dalam pembentukan Peraturan Menteri, berlaku prinsip bahwa peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dapat menghapuskan atau mencabut peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah. Dalam hal peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (dalam arti sejenis), maka berlaku peraturan yang terbaru dan peraturan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori). Dalam hal peraturan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika peraturan yang mengatur hal yang merupakan kekhususan dari hal yang umum (dalam arti sejenis) yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan yang mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Pembentuk peraturan perlu bersepakat bahwa lex posterior derogat priori dan lex specialis derogat lex generalis didasarkan pada hal yang sejenis, dalam arti bahwa bidang hukum yang mengatur sumber daya alam, misalnya, tidak boleh mengesampingkan bidang hukum perpajakan. Yang dapat mengesampingkan bidang hukum perpajakan tersebut adalah bidang hukum perpajakan lainnya yang ditentukan kemudian dalam peraturan. Dengan demikian, pembentuk peraturan (perancang) dituntutuntuk selalu melakukan tugas pengharmonisan dan sinkronisasi dengan peraturan yang ada dan/atau terkait pada waktu menyusun peraturan.
Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan adalah mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma Peraturan Menteri harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas Menteri atau departemennya yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetap pula memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya.
Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan adalah mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma Peraturan Menteri harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas Menteri atau departemennya yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetap pula memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam merancang suatu peraturan, khususnya Peraturan Menteri, tidak terlepas dari bagaimana menyusun suatu norma yang akan dituangkan dalam Peraturan Menteri tersebut. Membuat suatu norma, pada dasarnya merupakan pekerjaan berkomposisi, namun berkomposisi dengan memfokuskan pada kalimat yang mengandung suatu suruhan, kebolehan, diskresi, dan pengecualian bertindak bagi masyarakat, golongan tertentu, atau perorangan, atau menciptakan suatu kewenangan baru atau menghapuskan kewenangan yang sudah ada.
Di dalam tipologi norma, kita mengenai adanya tiga macam norma, yaitu:
1) Norma Tingkah Laku (yang lingkupnya terbatas), yang terdiri atas:
Di dalam tipologi norma, kita mengenai adanya tiga macam norma, yaitu:
1) Norma Tingkah Laku (yang lingkupnya terbatas), yang terdiri atas:
a. perintah;
b. larangan;
c. kebolehan; dan
d. pembebasan;
b. larangan;
c. kebolehan; dan
d. pembebasan;
2) Norma Kewenangan/Kompetensi; dan
3) Norma yang Mengubah Norma.
Norma kewenangan/kompetensi, yaitu, norma yang memberi status, misalnya, norma kewenangan yang menentukan kecakapan atau kemampuan bertindak dan norma kewenangan untuk mewakili subyek hukum (biasanya dalam hukum keperdataan). Di samping itu, ada pula norma kelembagaan atau organisasi, misalnya, mengenai pendirian suatu organisasi tertentu, dan kewenangan mewakili organ pemerintah.
Norma kewenangan/kompetensi meliputi pula norma yang memberi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hubungan hukum oleh subyek hukum, misalnya, norma kewenangan yang menentukan hubungan hukum yang dapat dilakukan oleh subyek hukum (dalam hukum keperdataa), atau norma atribusi dan delegasi kewenangan di bidang hukum publik.Norma yang mengubah norma, dalam peraturan perundang-undangan telah kita kenal, misalnya, adanya undang-undang perubahan (baik sebagian atau keseluruhan) atau undang-undang pencabutan.
Contoh : Norma Tingkah Laku
Pasal 10
Setiap pegawai Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia wajib mengenakan pakaian dinas dan seragam pada setiap hari kerja dan masuk kantor.
Frasa bergaris bawah = subjek norma
Kata bercetak miring = operator norma
Frasa bergaris ganda = objek norma
Frasa bercetak biasa = kondisi norma
Penyusunan norma yang baik terkait erat dengan kemudahan pelaksanaan peraturan karena jika norma yang dibuat tidak dimengerti oleh masyarakat, apalagi tidak dimengerti oleh pembentuknya, maka yang terjadi adalah terjadinya hambatan bagaimana melakukan penegakan hukumnya atau pengimplementasiannya.
Dalam menyusun suatu norma harus diketahui terlebih dahulu norma tersebut untuk siapa (subjek norma) dan jenis perintahnya apa (operator norma) serta perbuatan apa yang diperintahkan tersebut (objek norma). Jika diperlukan, dalam membuat suatu norma agar tidak ditafsirkan lain, ditambahkan suatu persyaratan tertentu kaitannya dengan waktu, tempat, situasi, atau kondisi tertentu lainnya (kondisi norma).
Dalam menyusun suatu norma harus diketahui terlebih dahulu norma tersebut untuk siapa (subjek norma) dan jenis perintahnya apa (operator norma) serta perbuatan apa yang diperintahkan tersebut (objek norma). Jika diperlukan, dalam membuat suatu norma agar tidak ditafsirkan lain, ditambahkan suatu persyaratan tertentu kaitannya dengan waktu, tempat, situasi, atau kondisi tertentu lainnya (kondisi norma).
Dalam merancang suatu Peraturan Menteri, perlu diperhatikan pula mengenai bentuk atau format dan teknik penyusunan suatu Peraturan Menteri yang akan dibentuk tersebut. Format dan teknik penyusunanPeraturan Menteri ini penting untuk diperhatikan dan dipatuhi, bukan sekadar keseragaman Peraturan Menteri, melainkan juga untuk kepastian hukum. Dalam pembukaan Peraturan Menteri, misalnya, yang patut dicermati adalah bagaimana menyusun pertimbangan atau konsiderans yang baik sehingga Peraturan Menteri yang dibentuk tersebut sudah mencerminkan adanya keinginan atau keharusan bahwa perlu dibentuk suatu Peraturan Menteri sebagai dasar yuridis. Ketiga hal di atas yang disusun dalam bentuk alinea harus dibuat secara runtut dan mengalir berdasarkan kemampuan berkomposisi dari perancang peraturan perundang-undangan itu sendiri. Ketajaman mengemukakan fakta dan alasan dibentuknya peraturan serta tujuan yang hendak dicapai, adalah hal yang diperlukan dalam berkomposisi.
Selain format dan teknik penyusunan, hal yang perlu mendapat perhatian adalah pemahaman mengenai bahasa perundang-undangan yang selalu melekat pada pembentukan Peraturan Menteri. Bahasa perundang-undangan adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Namun perlu disepakati bahwa bahasa perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya yang khas yang bercirikan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan, dan keserasian.
Implementasi Peraturan Menteri
Orang jangan diberikan kesan oleh pembentuk Peraturan Menteri bahwa pembentuknya senang dengan kuantitas Peraturan Menteri yang dihasilkan, namun Peraturan Menteri tersebut sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Asas dapat dilaksanakannya Peraturan Menteri (lihat asas di atas) terkait dengan kesiapan departemen secara nyata untuk melaksanakan Peraturan Menteri yang dibentuknya. Jangan sampai terjadi bahwa keinginan membentuk Peraturan Menteri hanya didasarkan pada nilai kuantitas yang dihasilkan sebagai keinginan untuk selalu melakukan tertib perkantoran dan tertib administrasi serta tertib lainnya yang sebetulnya tidak perlu, melainkan bagaimana Peraturan Menteri tersebut dilaksanakan dan sekaligus ditegakkan.
Pada saat Menteri mempunyai keinginan untuk mengatur sesuatu ke dalam Peraturan Menteri, maka hal pokok yang diperhatikan adalah sumberdaya manusia (aparatur) (SDM) dan sumber dana yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Menteri tersebut harus tersedia atau yakin akan disediakan. Jika belum, maka pembentukan Peraturan Menteri ditunda dulu atau jika Rancangan Peraturan Menteri telah dipersiapkan, maka pembahasannya yang ditunda. Kebutuhan dana biasanya terkait dengan pengaturan mengenai pengadaan teknologi canggih dalam mempermudah penyelenggaraan administrasi sebagai suatu kebijakan menteri. Kebutuhan pengaturan tidak bisa ditunda dalam hal pengaturan tersebut memang secara nyata diperintahkan langsung oleh peraturan di atasnya.
Pada saat Menteri mempunyai keinginan untuk mengatur sesuatu ke dalam Peraturan Menteri, maka hal pokok yang diperhatikan adalah sumberdaya manusia (aparatur) (SDM) dan sumber dana yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Menteri tersebut harus tersedia atau yakin akan disediakan. Jika belum, maka pembentukan Peraturan Menteri ditunda dulu atau jika Rancangan Peraturan Menteri telah dipersiapkan, maka pembahasannya yang ditunda. Kebutuhan dana biasanya terkait dengan pengaturan mengenai pengadaan teknologi canggih dalam mempermudah penyelenggaraan administrasi sebagai suatu kebijakan menteri. Kebutuhan pengaturan tidak bisa ditunda dalam hal pengaturan tersebut memang secara nyata diperintahkan langsung oleh peraturan di atasnya.
Pelaksana Peraturan Menteri adalah Menteri dan jajarannya dalam rangka menegakkan Peraturan Menteri tersebut. Hal ini terkait pula dengan SDM yang disediakan Departemen, baik kuantitas maupun kualitasnya. Keinginan menegakkan Peraturan Menteri terkait dengan prinsip good governance yang pada saat ini selalu diharapkan oleh masyarakat untuk segera diwujudkan, terutama dalam memberantas KKN. Dengan demikian, asas organ yang tepat dalam melaksanakan Peraturan Menteri perlu mendapat perhatian pembentuk Peraturan Menteri.
Di samping tersedianya SDM, pengaturan yang adil dan pengaturan yang nondiskriminasi merupakan salah satu kemudahan dilaksanakannya suatu Peraturan Menteri. Jadi setiap membentuk Peraturan Menteri, hak asasi manusia yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus selalu menjadi acuan Peraturan Menteri. Pembedaan perlakuan terhadap pegawai yang didasarkan pada suku, ras, status, gender, dan agama misalnya, justru akan menimbulkan kontra aksi terhadap Peraturan Menteri yang dibentuk. Peraturan Menteri yang dibentuk harus dapat mengayomi semua pegawai dan masyarakat yang memerlukan pelayanan yang heterogen sifatnya dengan cara mengadakan suatu norma-norma pengecualian yang baik tanpa merugikan semua pihak, baik yang mayoritas maupun yang minoritas.
DOWNLOAD KUMPULAN PERATURAN MENTERI DIBAWAH INI :
1. PERATURAN MENTERI AGRARIA
2. PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN
3. PERATURAN MENTERI PAN
4. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN
5. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
6. PERATURAN MENTERI ESDM
7. PERATURAN MENTERI KEUANGAN
8. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
9. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN
1. PERATURAN MENTERI AGRARIA
2. PERATURAN MENTERI PERTAMBANGAN
3. PERATURAN MENTERI PAN
4. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN
5. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
6. PERATURAN MENTERI ESDM
7. PERATURAN MENTERI KEUANGAN
8. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
9. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN
INDAHNYA SALING BERBAGI...!!! ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar