REFORMASI BIROKRASI PELAYANAN
Pendahuluan
Reformasi birokrasi bertujuan memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada
masyarakat banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan
fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga
bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan.
Proses reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah
karena harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur
dan konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional
dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi (ambtenaar) ke arah birokrasi dengan
konfigurasi otoritas yang rasional, yang dalam tataran empirik dari budaya
minta dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (public service). Menurut konsep birokrasi Weberian bahwa kekuasaan ada
pada setiap hirarki jabatan.
Semakin tinggi hirarki tersebut semakin
tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin rendah hirarkinya akan semakin
rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendah hirarkinya sehingga ia
tidak mempunyai kekuasaan apapun. Disiplin birokrasi model Weber menyatakan
bahwa hirarki bawah tidak boleh berani atau tidak boleh melawan kekuasaan hirarki
atas. Tugas utama pemerintah terhadap rakyatnya adalah
memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh
masyarakat. Demikan pentingnya pelayanan publik oleh pemerintah ini sehingga sering
dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu rezim pemerintah, terlebih sekarang
ketika paradigma Good Governance (kepemerintahan yang baik) dikedepankan dimana akuntabilitas, efektivitas
dan efesiensi dijadikan tolok ukur dalam pelayanan sektor publik.
Permasalahan
Sebagaimana telah dinyatakan dalam
pendahuluan bahwa tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan dalam
rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Sementara itu dari
banyak hasil kajian, masih dijumpai keengganan pemerintah untuk melakukan
pelayanan dengan baik. Aparatur birokrasi melakukan pembiaran atas tuntutan
publik; digunakannya birokrasi sebagai alat untuk mengonsentrasikan
sumber-sumber produksi. Dengan demikian masalah utamanya adalah bagaimana usaha
yang dilakukan agar birokrasi dapat memberikan pelayanan secara efektif dan
efesien kepada masyarakat?.
Pembahasan
Reformasi birokrasi di Indonesia diarahkan
pada perubahan dalam pelayanan kepada masyarakat, termasuk didalamnya aparat
yang dalam struktur organisasi birokrasi. Perubahan masyarakat diarahkan pada development. Karl Mannheim sebagaimana
disitir oleh Susanto bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan
norma-normanya. Development adalah
perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana
kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian
maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia,
sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan
masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah
keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan
antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam
masyarakat.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan
konsep engineering yang diadaptasi
dari sektor privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor
publik yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka
harus dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan
tersebut. Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka
efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Akan tetapi walaupun pelayanan
publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis
konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur
efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan
bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai
kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam
pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan
dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program
pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang
biasanya disebut pegawai Sipil. Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan
istilah Aparatur Pemerintah. Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang
dipercaya dan diberi mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola
pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka
efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah
seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan,
pendidikan dan lainnya.
Segala bentuk upaya pemerintah dalam
mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari
fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik
kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi
tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi
sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang
bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan
birokrasi tidaklah bisa menjelaskan orientasi birokrasi.
Pola patron-client
yang kental menjadikan ciri birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif
masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek
birokrasi yang terlalu hirarkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas.
Hal ini akan berakibat juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian
birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai
oleh masyarakat menjadi lamban dan berbelit-belit.
Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi,
2006). Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan
kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat
nyaris dalam situasi yang tidak berdaya (powerless)
dan tidak memiliki pilihan.
Dengan kondisi yang demikian itulah maka
penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi pada kemanusiaan akan
sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos
feodalisme. Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi
mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan
efisien kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau
reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan
perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku/etika (the ethics being).
Upaya reformasi yang berkaitan dengan
proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar
berkait dengan proses administrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah
bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being), sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik
menuju ke tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan
hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan skill based issues yang selama ini
kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di Indonesia dimana
masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak bergantung pada
dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam melakukan tugas
penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini etika merupakan nilai-nilai moral
yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku tindakan
dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya. Suatu profesi
selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk bertindak anggotanya
sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga.
Pernyataan moral merupakan sesuatu yang
normatif, pernyataan normatif berarti mengandung penilaian apa yang baik dan
apa yang buruk. Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono, makna etika
mengandung moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan semakin makmur
dan hidup tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan negara. Oleh
karenanya maka setiap penyelenggara negara harus berakhlak mulia, tepat janji,
jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan cermat, sopan santun, dan
kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan cara berfikir birokrasi
harus dilakukan. Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan budaya
organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku individu
dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas
pekerjannya setiap hari.
Pelaksanaan budaya kerja ini seharusnya
dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Birokrasi
sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada
fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service). Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik, sehingga ia bebas
untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s
oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk
masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi pelayan publik yang bebas dari
intervensi kekuatan politik.
Untuk melaksanakan konsep etika sebagaimana
tersebut diatas maka Denhardt sebagaimana dikutip oleh Sugiyanto (2004)
melakukan strategi sebagai berikut:
1. Membangun iklim etika dalam
organisasi publik, strategi ini mengisyaratkan pentingnya
membangun perilaku etis aparat publik melalui kekuatan kepemimpinan (strong leadership) dalam menciptakan
iklim beretika, sehingga etika dijadikan sesuatu yang bernilai dan mendorong
upaya ke arah penciptaan komunikasi yang terbuka. Karena bagaimanapun terlebih
di Indonesia pemimpin adalah model bawahannya. Mengelola etika bukan sekedar
membuat standar-standar berperilaku dan merekrut pegawai yang berkarakter moral
tetapi juga termasuk menganalisis budaya organisasi, kerja sama untuk membangun
budaya yang menjadikan nilai yang tinggi akan integritas etika, mengembangkan
kebijakan, prosedur serta sistem yang memungkinkan anggotanya mempunyai
integritas etika.
2. Mengembangkan Ethics Audit,
yakni suatu metode untuk menilai standar moral yang dijadikan pedoman perilaku
dalam organisasi dan termasuk penilaian untuk mereview aktivitas orang-orang dalam organisasi.
3. Mengembangkan program pelatihan
etika pemerintahan, dengan harapan dapat menjamin
sosialisasi dan internalisasi etika bagi pegawai. Termasuk didalamnya adalah
membangkitkan semangat moral para aparat untuk menjadikan etika sebagai acuan
berperilaku melalui komunikasi.
4. Mengembangkan standar
berperilaku yang membatasi tindakan aparat publik, dengan cara
meregulasi standar-standar perilaku yang telah menjadi prioritas dalam mengelaborasi
nilai-nilai dasar moral.
5. Menjamin integritas etika
dalam pekerjaan sehari-hari dengan cara menciptakan lingkungan
kerja yang menjamin transparansi dan integritas etika, rekrutmen dan promosi
berdasarkan meryt system dan
pertimbangan etika, membuat regulasi, kontrol, dan rotasi jabatan yang ketat,
dan membuat kebijakan-kebijakan yang transparan yang dapat meminimalisir
konflik.
6. Mengambil tindakan tegas
terhadap bentuk-bentuk penyelewengan. Dengan demikian maka
dimensi etika dalam pemerintahan harus dipahami secara jelas dan benar bahwa etika
adalah disiplin ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip moral dan bagaimana prinsip-prinsip
moral tersebut dapat diterapkan. Oleh karenanya dalam etika bukan sekedar
formulasi norma-norma yang akan disepakati bersama akan tetapi juga berbicara
mengenai strategi aplikasi dan pentingnya aspek manajerial yang akan menjadikan
etika sesuatu yang dinamis dan realistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar